Samarinda, nomorsatukaltim.com - Dari sisi bisnis, sinetron masih jadi program dengan nilai jual tertinggi di Indonesia. Makanya, televisi berbasis hiburan masih mengandalkan betul sinetron sebagai tayangan andalan mereka. Sayangnya, kualitas sinetron Indonesia hingga tahun 2021 ini. Disebut Silviana Purwanti masih memprihatinkan.
Menurut dosen program studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Mulawarman Silviana Purwanti. Sah-sah saja televisi Indonesia menayangkan sinteron di jam-jam prime time. Karena itu bisa mengatrol pundi-pundi pendapatan televisi untuk tetap bertahan. Apalagi di era serba digital saat ini.
Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan kualitas sinetron. Terutama dari alur cerita yang menurutnya banyak menghadirkan kehaluan. Alias jauh dari realita kehidupan sehari-hari.
“Miris!” Ketus Silvi saat ditanya pendapatnya tentang sinetron Indonesia.
Demi meningkatkan rating, produsen sinetron selalu menampilkan pemeran-pemeran yang wajahnya good looking. Bahkan di beberapa kondisi seperti bangun tidur pun, pemain sinetron digambarkan dengan makeup super tebal agar selalu dampak glowing.
Selain itu, kata Silviana. Alur ceritanya terlalu fantasi. Tidak masuk di akal sehat.
“Tidak realistis. Pemeran utama wanita dan pria ketemunya dengan cara yang konyol,” keluhnya.
“Ceritanya monoton, anak miskin yang dibuang keluarga kaya. Adegan penculikan yang tidak masuk akal. Anak-anak yang diekspose dengan cara disiksa dan menangis. Menurut saya, sorry to say, tidak berkelas,” ujar Silviana saat diwawancarai secara khusus usai mengisi program Ngopi Sore Episode 7. Sebuah program siaran langsung garapan Diskominfo Kaltim dan nomorsatukaltim.com.
Silviana sendiri masih acap memperhatikan beberapa judul sinetron yang tengah hits. Tapi ya itu, sekadar melihat dan skip. Padahal dia berharap betul ada perbaikan kualitas dari tayangan kegemaran kaum emak-emak itu.
Lebih lanjut, Silviana kemudian membandingkan kualitas sinetron Indonesia dengan sinetro Korea. Atau yang lazim disebut drama Korea (drakor).
“Padahal series-nya mirip. Energinya sama. Tapi saya lebih suka drakor. Kenapa? Karena yang mereka tampilkan tidak melulu hal yan berbau hedon. Lebih realistis,” jelas Silviana.
“Dan ada nilai yang bisa dipelajari. Isu-isu yang diangkat juga sensitif. Misalnya terkait elit politik, kriminal, persaingan keluarga kaya, pendidikan, dan lain-lain.”
“Ada series di Indonesia yang nyawanya mirip drakor. Itu My Lecture My Husband. Itu cukup bagus. Ceritanya tidak konyol dan berantai sampai ratusan episode,” lanjutnya.
Terkadang, sinetron Indonesia, walau alur ceritanya sudah bisa ditebak karena itu-itu saja. Diawali dengan suguhan cerita yang menarik. Dan bikin penasaran. Tapi dengan tingginya animo penonton. Production House pembuat sinetron memaksakan tambahan episode. Ini kemudian yang bikin sinetron Indonesia jadi njelimet dan tidak enak ditonton lagi.
“Tidak apa-apa sih. Cuma mbok ya jangan sekonyol itu (jalan ceritanya). Itu yang jadi tontonan di masyarakat. Sampai ada yang selamatan ibu-ibu komplek cuma karena karakter tokohnya di senetron tidak jadi cerai. Itu kan konyol,” ucapnya miris.
Mengejar Keuntungan
SILVIANA memahami betul. Penyebab sinetron Indonesia belum juga maju karena orientasinya masih keuntungan saja. Tanpa memikirkan kepentingan lain seperti pendidikan.