Potensi, Tantangan, dan Regulasi Energi Terbarukan

Selasa 27-04-2021,05:50 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Indonesia memiliki sumber ‘harta karun’ energi terbesar kedua di dunia. Yakni panas bumi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia: mencapai 23.965,5 Megawatt (MW). Di bawah Amerika Serikat (AS) yang memiliki sumber daya sebesar 30 ribu MW.

Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim. Baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9 persen dari total sumber daya yang ada. Lalu, apa yang menyebabkan pemanfaatan panas bumi di Tanah Air masih belum optimal? Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati pun angkat suara mengenai hal ini. Nicke mengatakan, belum optimalnya pengembangan panas bumi terutama untuk pembangkit listrik atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) karena masih adanya masalah tarif listrik panas bumi. Dia berpendapat, tarif yang ada saat ini tidak masuk ke dalam keekonomian proyek. Apalagi, imbuhnya, tarif listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) ini juga dikaitkan dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik per wilayah. Sehingga menyulitkan bagi pengembang untuk menyesuaikan dengan BPP tersebut. Selain itu, sama halnya dengan sektor minyak dan gas bumi (migas), PLTP juga memerlukan kegiatan pengeboran di awal pengembangannya. Sehingga membutuhkan investasi yang besar. “Dalam 1-2 tahun ini tidak ada pembangunan baru (PLTP) karena masalah tarif. Tarif EBT dikaitkan BPP per wilayah. Ini jadi stop. Perlu ada regulasi agar geotermal (panas bumi) masuk keekonomiannya dulu,” ungkapnya dalam acara CNBC Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/4). Di industri migas telah terdapat skema pengembalian biaya produksi oleh pemerintah kepada kontraktor atau produsen migas atau dikenal dengan istilah cost recovery. Untuk itu, skema yang sama perlu diterapkan di industri panas bumi. Tak mesti sama. Namun bisa juga melalui keikutsertaan pemerintah dalam membiayai atau ikut mengebor panas bumi. “Ini perlu terobosan seperti itu. Pemerintah ada government drilling. Sehingga potensi geotermal bisa dioptimalkan,” ujarnya. Menurutnya, PLTP merupakan salah satu sumber pembangkit listrik berbasis EBT yang bisa digunakan untuk menopang beban dasar (base load) seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ke depan, bila pemerintah ada rencana mengurangi PLTU, maka PLTU bisa cocok untuk menggantikannya. Isu belum optimalnya pengembangan panas bumi ini juga menjadi pertanyaan salah satu anggota Komisi VII DPR RI, Maman Abdurrahman. Dia mempertanyakan mengapa pengembangan PLTP saat ini agak sunset. Padahal beberapa tahun lalu pengembangan PLTP masih berjalan. “Dulu geotermal oke. Kok sekarang turun? Misal Pertamina produksi geotermal. Siapa yang beli? Kan PLN. Seperti apa sih kondisi geotermal kita? Kok sekarang agak sunset?” tanyanya di dalam forum yang sama. Berdasarkan data Pertamina, Perseroan kini mengoperasikan 672 MW PLTP dan Joint Operation Contract (JOC) PLTP 1.205 MW, dan dalam eksplorasi dan pengembangan sebesar 495 MW. BELUM OPTIMAL Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia berkomitmen mengurangi 29 persen gas emisi rumah kaca dari business as usual dan 1 persen dari business as usual dari bantuan internasional pada 2030. Kesepakatan ini sudah diratifikasi dengan UU Nomor 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement. “Kontribusi sektor energi dibutuhkan untuk mengurangi emisi rumah kaca dan perkembangan pembangunan berkelanjutan, konservasi energi akan signifikan pada penurunan gas rumah kaca dan akses energi bersih,” jelas Airlangga. Dia menjelaskan, pemanfaatan energi bersih dalam bauran energi primer minimal khususnya EBT ditargetkan 23 persen. Sementara tenaga gas 22 persen, dan konservasi energi sebesar 11 persen di 2026 “Indonesia memiliki sumber energi yang banyak (dalam bentuk) air, surya, bio energi, angin, arus laut, geotermal. Tapi pemanfaatannya belum optimal,” jelasnya. Sampai 2020, listrik berbasis EBT mencapai 10,5 GW dengan kapasitas dari tenaga air 6,1 GW dan sisanya dari angin. Dari sisi bauran energi primer, realisasi 11,2 persen. Meski masih jauh dari 23 persen, sudah meningkat 2,05 persen dari 2019. “Saat ini EBT bukan cuma masalah lingkungan. Tapi juga ekonomi. Biaya teknologi EBT semakin murah dan membuatnya semakin kompetitif dan meningkatnya pasar global yang mensyaratkan sumber listriknya dari hasil sebuah produk, dan sumber energi fosil jadi enggak menjanjikan dibandingkan EBT dan akan berdampak pada ekspor industri,” jelasnya. Sementara itu, untuk B30, Indonesia jadi negara terbesar dengan jumlah 137 ribu barel per hari. Dibandingkan dengan AS 112 ribu barel pe hari, Brasil 99 ribu barel per hari dan Jerman 62 ribu barel per hari. “Sumber dan akses pembiayaan global semakin sulit buat fosil. Karena mengutamakan EBT. Perjuangan memanfaatkan EBT untuk ekonomi yang berkelanjutan pusat dan daerah butuh kerja sama dan dukungan stakeholder. Sinergi akan mempercepat transisi dari energi baru terbarukan,” jelas Airlangga. Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar. Namun sayangnya masih sedikit yang dioptimalkan. Dengan adanya pandemi COVID-19, maka ini menjadi momen yang tepat untuk mempercepat transisi EBT. Untuk mempercepat transisi EBT tersebut, maka Nicke berpendapat, egosentris dari setiap lembaga dan pemangku kepentingan harus disingkirkan. “Kalau memandang green energy harus dicapai bersama, maka egosentris dari masing-masing fungsi harus disingkirkan agar target EBT bisa tercapai,” ungkapnya. Dia mengatakan, untuk mendukung percepatan transisi EBT ini, maka dukungan dari perbankan juga diperlukan, khususnya untuk pembiayaan proyek EBT. “Semua badan usaha, baik pemerintah, perbankan, maupun masyarakat harus bekerja sama untuk capai target EBT. Karena bicara potensi, potensi EBT kita sangat besar. Tapi baru sedikit sekali yang dioptimalkan,” tuturnya. Dia pun menilai harmonisasi regulasi dari semua sektor juga perlu dilakukan. “Ini perlu harmonisasi regulasi,” ujarnya. TREN ENERGI DUNIA Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, adanya RUU EBT tersebut bisa mempercepat dan meningkatkan pengembangan EBT di Tanah Air. “RUU EBT ini sifatnya percepatan. Karena harus melipatgandakan realisasinya dan magnitudenya besar. Misalnya untuk listrik. Kalau kita mau naik dua kali lipat, berarti harus menaikkan sampai 12 ribu giga watt (EBT),” kata Dadan. EBT bukan hanya memiliki dampak positif terhadap lingkungan. Melainkan juga mengikuti tren perekonomian. Di mana negara-negara maju kini ramai-ramai menuju transisi energi. Terutama dengan negara-negara tujuan ekspor yang mulai fokus pada sumber jejak karbon pada sebuah produk. Dia mengungkapkan, pemanfaatan EBT bukan hanya di listrik. Melainkan juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar transportasi seperti biodiesel. Konsumsi biodiesel di dalam negeri telah meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Penerapan biodisel pun jauh lebih cepat dibandingkan penerapan EBT pada sektor kelistrikan yang baru di kisaran 11 persen. Meski demikian, Dadan optimistis bauran energi terbarukan pada listrik bisa mencapai 23 persen pada 2025. Terutama bila pembahasan RUU EBT ini tuntas. Sehingga diharapkan bisa segera disepakati menjadi UU EBT. “Dari sisi regulasi, krusial buat kami. Jadi, kalau ada UU EBT, ini bisa jadi terobosan yang baik dan tepat. Presiden sendiri menyampaikan transisi energi, saya kira tidak ada yang lain selain mensukseskan penerapan ini,” kata Dadan. TITIK EKUILIBRIUM Anggota DPR RI komisi VII, Maman Abdurrahman mengatakan DPR masih membahas RUU EBT. “Sampai saat ini kita lakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan memanggil pihak lainnya,” katanya. Dia menjelaskan, EBT sudah diatur dalam UU Energi Nomor 30 Tahun 2007. Walaupun implementasinya masih banyak terkendala. Juga belum maksimal. Makanya DPR saat ini tengah mendorong pembuatan UU baru atau merevisi UU 37 Tahun 2007. “Kalau buat undang-undang baru, UU 37 mau diapain? Yang jelas substansi prinsipnya ada dua hal. Prinsipnya mengejar target angka bauran energi di 23 persen. Sekarang di 11 persen. Kedua, mandatori isu international menekan emisi karbon,” jelasnya. Maman menjelaskan, saat ini Indonesia sudah semangat menurunkan emisi karbon. Tapi jangan sampai penurunan emisi karbon ini menjadi tidak ekonomis terkait penggunaan energi fosil. “Jangan nanti sumber energi yang sudah bagus kita singkirkan. Perangkat RUU ini diharapkan bisa menggapai semua sektor hingga ketemu titik ekuilibrium dengan urusan keekonomian. Juga pemangkasan birokrasi. Ini yang jadi concern kami di DPR,” kata Maman. “Selain itu, posisi kita dari batu bara dan gas melimpah. Itu jadi concern DPR. Gimana menaikkan devisa negara dari batu bara dan gas. Jangan sampai kita menelantarkan SDA dari dua ini. Semangat kita EBT ditunjukkan dan dipersiapkan. Tapi tanpa meninggalkan yang sudah ada,” tambahnya. KEPASTIAN HUKUM Saat ini DPR bersama pemerintah tengah merancang Undang-Undang EBT. Bahkan, Rancangan UU EBT ini ditargetkan bisa tuntas tahun ini. Karena masuknya RUU EBT sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 DPR. Rancangan UU EBT ini dinantikan berbagai pemangku kepentingan. Terutama pelaku usaha. PT Pertamina (Persero) pun mengungkapkan tengah menunggu tuntasnya RUU EBT ini. Sehingga pengembangan EBT di Tanah Air akan ada kepastian hukum dan bisa berjalan. Nicke mengatakan, kepastian hukum ini diperlukan agar transisi energi dan pengembangan EBT di Tanah Air bisa berjalan. Pada akhirnya, target EBT bisa tercapai. “Kalau belum ada kepastian hukum, tidak akan beranjak ke mana-mana ini EBT,” ungkapnya. Dia menilai, adanya kepastian regulasi terkait EBT bisa membuat pelaku usaha mengembangkan aset dan sumber daya yang ada saat ini. Apalagi untuk transisi energi memerlukan waktu. Tidak bisa secepat membalikkan telapak tangan. “Kuncinya di regulasi. Kesempatan inovasi kunci dekarbonisasi,” ujarnya. Selain itu, dia pun menilai bahwa pemerintah daerah juga harus dilibatkan dalam proses perencanaan pengembangan EBT. Sehingga semua aset yang ada di setiap daerah juga bisa dioptimalkan untuk menciptakan kemandirian energi. “Lalu juga perlu ada digitalisasi dan teknologi,” imbuhnya. (cnbc/qn) Sumber: Saat Bos Pertamina Bongkar Harta Karun Energi RI Top 2 Dunia
Tags :
Kategori :

Terkait