Perjalanan Kubar-Mahulu melalui Jalur Darat (3): Lintasi Dua Sungai, Berkejaran dengan Hujan

Rabu 21-04-2021,12:30 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Perjalanan dari Kubar ke Mahulu via darat di tempuh dengan waktu 8 jam. Itu dalam kondisi santai. Banyak singgah dan mengambil gambar. Pun itu kondisi jalanannya baik. Kalau cuaca hujan dan becek, ya bisa lebih dari itu.

nomorsatukaltim.com - Pukul 11.11 Wita, kami tiba di pos pemeriksaan pertama dan terakhir. Karena memang hanya satu-satunya. Para petugas sudah tidak asing dengan Hanyeq Gat—sopir travel yang kami charter itu. Kami pun turun dan melapor kepada petugas. Menunjukkan hasil tes swab PCR dan surat kunjungan dari Gugus Tugas Pemkab Mahakam Ulu (Mahulu). Prosesnya cukup cepat. Hanya ditanya kelengkapan dokumen saja. Pun karena berkas tim sudah lengkap. Pos jaganya sederhana sekali. Berukuran sekitar 3 x 4 meter yang terbuat dari kayu. Jalanan di depan pos juga diportal kayu. Ketika kami datang, ada satu kendaraan mobil dan motor yang juga mau masuk Mahulu. Kami antre sekitar lima menit. Baca juga: Perjalanan Kubar-Mahulu melalui Jalur Darat (2): Hanyeq Gat dan Tower tanpa Sinyal Selagi kami antre, Hanyeq menyerahkan titipan rokok para pertugas itu. Tampak pula di belakang pos tersebut ada dua ekor ayam jantan yang diikat. Pastinya bukan peliharaan. Banyak warga yang hilir mudik perbatasan itu memberikan macam-macam barang dan bahan makanan. Termasuk hewan seperti ayam tadi. Karena memang lokasi pos jauh dari mana-mana. Tomi, Humas Pemkab Mahulu cerita, jika melintasi pos perbatasan itu terkadang ia membawa daging ayam yang sudah dipotong-potong untuk diberikan kepada penjaga pos. Jadi, mereka tinggal memasak saja. Kadang petugas jaga itu juga membeli bahan makanan dari pedagang yang melintas. Para petugas itu terdiri dari personel TNI dan tim gugus tugas Pemkab Mahulu. Di belakang pos ada rumah panggung, tempat mereka beristirahat. Setelah selesai pemeriksaan, kami pun kembali ke mobil. Di depan tampak ada kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Hanyeq membuka kaca, menyapa pengendara itu. Akrab sekali. “Itu mobil saya. Tadinya kita mau pakai mobil itu. Tapi sudah penuh barang. Yang nyopir itu adek saya,” kata Hanyeq. Hanyeq Gat adalah anak pertama dari 8 bersaudara. Kini ia punya tiga mobil jenis double cabin. Semua kendaraan itu dipakai untuk angkutan transportasi Kubar-Mahulu. Dalam sebulan, ia bisa empat kali bolak-balik melintasi rute tersebut. Apakah Hanyeq ikut diperiksa berkas swab-nya?. “Itulah kenapa saya bawa rokok. Saling paham saja. Kalau saya harus swab setiap kali keluar masuk, anak istri mau makan apa,” jelasnya. Dan bukan hanya Hanyeq. Semua sopir angkutan transportasi tidak melakukan tes swab PCR setiap kali masuk Mahulu. Tapi mereka tetap menerapkan protokol kesehatan. Misalnya selama dalam perjalanan tetap mengenakan masker. Seperti Hanyeq, yang tak lepas masker ketika sedang menyopir. Pos jaga tersebut sudah tiga kali pindah. Hanyeq menunjukkan bekas pos jaga sebelumnya. Bangunan kayu yang tampak sudah tidak terawat lagi. Baca juga: Perjalanan Kubar-Mahulu melalui Jalur Darat (1): Kemunculan PU Swasta hingga Wacana Tol Kubar-IKN Kenapa harus pindah-pindah? “Ya karena banyak yang lolos. Melalui jalur alternatif melintasi jalanan sawit,” ujarnya. Pukul 12.30 Wita, kita sampai di Sungai Ratah. Masuk Kecamatan Laham. Dari perbatasan itu memang ada tiga kecamatan di Mahulu yang dilintasi. Yakni Long Hubung, Laham dan Long Bagun. Sungai Ratah cukup lebar. Dan belum ada jembatan penghubung. Seperti jembatan bailey itu. Mungkin karena sungainya lebar dan arusnya deras. Tidak cukup kuat jika mengandalkan jembatan portable seperti itu. Kabarnya, pemerintah pusat dan provinsi sudah menganggarkan sejumlah dana untuk pembangunan jembatan Sungai Ratah ini. Hanya saja, hingga kemarin kabar progres pembangunan jembatan itu juga belum ada kabarnya. Untuk menyeberangi Sungai Ratah, kami harus naik kapal feri milik warga setempat. Kapal tersebut hanya berkapasitas satu mobil dan sekitar 5 motor. Untuk mobil biaya penyeberangannya Rp 100 ribu. Sementara motor hanya Rp 10 ribu saja. Lebar sungai itu tak sampai 100 meter. Jadi, kapal feri tadi hanya perlu memutar saja untuk sampai di seberang sungai. Sebelum menyeberang, kami pun istirahat sejenak. Sambil menunggu antrean kendaraan. Tak banyak sih, hanya ada dua kendaraan mobil di depan kami. Kebetulan ada warung makan di pinggir sungai itu. Hanyeq kenal betul dengan pemiliknya yang perempuan. Masih sepupuan, katanya. [embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=OBlimpbvQXE[/embedyt] Dari arah seberang, ada pula kendaraan yang mampir sejenak sebelum bertolak ke Samarinda. Sempat ngobrol-ngobrol, katanya meraka berasal dari Malinau, Kalimantan Utara. Dan sudah 14 jam perjalanan hingga ke Sungai Ratah itu. Rencananya, mereka akan menuju Samarinda hanya untuk servis kendaraan. Kalau dihitung, dari Sungai Ratah menuju Barong Tongkok, Kubar, itu saja berkisar 5 jam perjalanan. Sebagian off road pula. Kalau dilanjut Samarinda, tambah 9 jam perjalanan lagi. Itu sudah 14 jam perjalanan. Kalau ditambah jarak dari Malinau, praktis 14 + 24 jam. Wow… 38 jam perjalanan. Hanya untuk servis kendaraan? “Ya, tidak hanya servis lah. Mereka biasanya sekalian belanja di Samarinda,” ujar Hanyeq. Itulah yang mengakibatkan tingkat kemahalan di daerah Mahulu dan kawasan perbatasan sangat tinggi. Karena aksesnya yang sulit terjangkau. Jika saja, jalan poros Kubar – Mahulu kondisinya baik, bisa saja harga-harga akan semakin murah. Hujan rintik mulai turun. Langit mulai mendung. Hanyeq lekas berdiri. Mengajak tim Goodtime Jalan-Jalan untuk bergegas menuju mobil. Rupanya hujan yang sedari awal ada di belakang kita, sudah mulai menyalip. Hanya butuh waktu 5-10 menit, kami sudah tiba di seberang Sungai Ratah. Dan Hanyeq hanya membayar Rp 50 ribu saja. Harusnya Rp 100 ribu. “Yang punya kapal dulu pernah tinggal serumah. Masih saudara kita,” kata Hanyeq. Sepertinya sepanjang perjalanan itu, saudara semua bagi Hanyeq. Nah, setiba di seberang sungai, ada pula kendaraan double cabin dari lawan arah yang hendak menyeberang. Hanyeq mendekat. Dan lagi-lagi ternyata kenal. “Itu adik ipar saya,” tambahnya lagi. Hanyeq kemudian memacu kendaraannya melintasi perkebunan sawit. Berkejaran dengan gerimis yang semakin membesar. Untungnya jalanan tampak lebih baik. Sebagian sudah dicor. Dan hujan pun deras ketika melintasi jalanan cor tersebut. “Kalau kita lewat pas hujan enggak masalah, kalau lewat setelahnya lebih repot,” kata Bayu. Namun jalanan cor itu juga tidak berlangsung lama. Sekitar dua kilometer. Selebihnya jalanan berpasir dan berbatu. Kali ini kondisinya lebih licin. Batunya dari sungai. Ukurannya kecil-kecil. Ini bukan dari jenis batu besar dan dipecah-pecah itu. Yang biasa disebut koral. Batu sungai memang dikenal lebih licin. Apalagi ketika jalan menurun dan naik. Hanyeq pun lebih hati-hati memacu kendaraan. “Ini kalau naik motor laju-laju, kena batu itu bisa tekipai (terlempar, Red.),” katanya. Hujan pun semakin deras hingga sampai di Kampung Mamahak Besar (Mambes) Kecamatan Long Bagun. Di perempatan Mambes itu, Hanyeq menunjuk ke gapura besar kampung itu. “Itu kampungnya Bupati Mahulu (Bonifasius Belawan Geh, Red.),” ujarnya. Dari simpangan itu sudah mulai ada aktivitas perbaikan jalan.  Badan jalan kiri dan kanan dilebarkan. Meski masih berpasir dan berbatu serta sebagian jalan tanah, namun sudah tampak tengah dilakukan pengerasan jalan. Beberapa alat berat terlihat parkir di pinggir jalan. Setelah sekitar 2,5 jam perjalanan dari penyeberangan Sungai Ratah, kami sampai di Long Melaham. Masih kecamatan Long Bagun. Dan kami harus menyeberang sungai lagi. Naik kapal lagi. Tapi, sungainya ini sedikit lebih kecil dari Sungai Ratah. Paling sekitar 30 meteran lebarnya. Untuk menyeberang kami harus antre lagi. Ada dua kendaraan sebelumnya. Karena cuaca hujan, kami menunggu di dalam mobil. Tampak di samping sungai itu tengah ada pengerjaan pembangunan jembatan. Sudah berdiri dua pilar jembatan. Alat berat dan para pekerja pun tampak sibuk dengan aktivitasnya. Setelah penyeberangan itu, jalanan sudah mulai membaik. Lebih lebar. Laju kendaraan mengarah ke Ujoh Bilang—pusat kota Kabupaten Mahakam Ulu. Ujoh Bilang bisa disebut ibu kotanya Mahulu. Dari penyeberangan di Long Melaham tadi hingga ke Ujoh Bilang memakan waktu sekitar 30 menitan. Kami tiba di Hotel Marissa sekitar pukul 04.00. Artinya perjalanan dari Kubar sampai ke penginapan di Ujoh Bilang ditempuh dalam waktu 8 jam perjalanan. (bersambung 4)
Tags :
Kategori :

Terkait