ESL: Tentang Uang, Ketamakan, dan Esensi Sepak Bola

Senin 19-04-2021,21:46 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

ESL adalah sebuah kepentingan bisnis. Uang adalah motif utamanya, bukan prestasi sepak bola.

Oleh: Ahmad Agus Arifin

Di negara nan jauh dari Indonesia. Di beberapa kawasan Eropa sana. Sepak bola bukan lagi sekadar olahraga biasa. Gengsi antar daerah, antar negara, loyalitas suporter, kebanggan, kebencian. Semua hal yang membuat sepak bola seru pada mulanya. Sudah tidak ada lagi.

ADA, namun esensinya sudah berbeda. Semua yang disebut di atas, hanyalah saus bolognaise di hidangan pasta. Hanya penggugah selera. Sebagai sebagian sebab orang membeli spageti. Si penjual akan melakukan apapun agar dagangannya terjual. Lalu meraih cuan.

Kebanggaan dan kebencian tetap akan mengiringi sepak bola. Tanpa drama, apa serunya sepak bola, kan? Dan para taipan tahu betul soal itu. Mereka memelihara kebanggaan dan kebencian itu. Mengemasnya dengan sangat rapi. Hanya untuk satu hal. Mendongkrak pendapatan klub. Memperkaya diri.

Apa itu pemain tidak boleh lebih besar dari klub? Sekarang, klub harus bertekuk lutut pada pemain bintangnya. Mereka diharuskan menyembah, membayar gaji di luar kemampuan klub. Mencari pelatih yang disukai si pemain bintang. Tidak lagi seperti sebelumnya.

Kalau manajer tak bisa mengendalikan si pemain bintang. Maka jalannya hanyalah, keluar dari klub secara sukarela, atau dipecat.

Apa itu manajer harus punya power? Tugas manajer sepak bola saat ini hanya melatih. Kalau juara ia disanjung. Tim tampil memble dia dipecat. Mereka tak lagi punya kuasa di ruang ganti ataupun di meja transfer. Pemilik klub lewat orang kepercayaannya yang mengurus itu semua.

Dulu, tidak dulu-dulu banget juga sih. Sebut saja di era Sir Alex Ferguson dan angkatannya itu. Mereka ketika menginginkan pemain tertentu, akan mengutus orang untuk menguntit si pemain. Setelah laporan cukup dan sesuai ekspektasi. Para manajer akan menelepon sendiri pemain incarannya.

Tak kadang mereka mendatangi rumah si pemain. Berbicara empat mata soal proyeksi tim. Dan dari situ kesepakatan terjadi. Sepak bola seindah itu, kala itu.

Saat ini, manajer hanya perlu bilang pada direksi klub. Aku mau dia. Selebihnya, si bos yang berkuasa akan bertindak. Apa sesuai dengan kalkulator bisnisnya, atau tidak. Apakah akan mengangkat citra klub, atau tidak. Apakah akan mendongkrak performa tim, oh maaf. Ini jarang dipikirkan.

Selanjutnya klub akan menyuruh agen klub untuk berkomunikasi dengan agen pemain. Perhatikan baik-baik perbedaannya. Ada agen dan agen yang memisahkan manajer dan pemain incaran. Yang dibicarakan para agen tentu bukan aspek sepak bola semata. Tapi hal nomor satunya adalah; uang.

Maka jangan heran, ketika Paul Pogba dibeli United dari Juventus seharga 105 juta euro. Yang sebenarnya dikeluarkan Manchester Merah sampai berkisar 150 juta euro! Untuk apa? Ya untuk membayar agennya.

Belum lagi, para agen dalam negoisasinya dengan agen klub akan meminta gaji tinggi sebagai syarat utama. Soal kesempatan main, itu urusan kedua. Esensi sepak bola sudah se-bergeser ini, lho.

Singkatnya, orang-orang besar di klub besar hanya memikirkan uang. Potensi pendapatan. Mereka rela berutang ratusan juta hingga miliaran euro demi memenuhi ambisi mereka. Mendatangkan pemain bintang, dan meraup ratusan juta euro lainnya dari setiap pemainnya.

Mereka ini, sudah tahu betul cara mendapat uang di sepak bola. Sampai celah terkecilnya pun sudah dikuasai. Lalu, masalah hadir. Masalah itu bernama UEFA, dan tentu juga FIFA.

Tags :
Kategori :

Terkait