Polresta Samarinda Ungkap 66 Ribu SIM Card Teregistrasi Orang Lain

Jumat 12-03-2021,08:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

SIM Card adalah perangkat utama untuk berkomunikasi dengan telepon seluler. Untuk mengaktifkannya, dibutuhkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdapat di Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga (KK). Namun apa jadinya jika SIM Card yang dijual bebas, sudah terdaftar dengan NIK milik orang lain?

nomorsatukaltim.com - HAL ini yang diungkap Unit Ekonomi Khusus (Eksus) Satreskrim Polresta Samarinda, Senin (8/3/2021) lalu. Sebanyak 66 ribu SIM card salah satu provider disita dari tangan dua pelaku, MR (37) dan AF (21). Keduanya menjual kartu perdana aktif tersebut dengan menggunakan NIK milik orang lain. Dari 66 ribu kartu tersebut, 56 ribu di antaranya sudah teregistrasi. Sementara 10 ribu sisanya masih dalam proses. Selain itu, turut disita satu unit komputer beserta monitor dan modem, yang diduga digunakan untuk registrasi SIM card tersebut. "Proses inilah yang membuka peluang pelaku kejahatan untuk menipu dengan cara SMS atau menelepon, begitu dicek (nomornya) ternyata atas nama orang lain," kata Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Arif Budiman, melalui Kasat Reskrim Kompol Yuliansyah, beberapa waktu lalu. Terungkapnya sindikat ini bermula, saat aparat kepolisian menerima informasi maraknya penjualan SIM card yang sudah teregistrasi di salah satu kios. Kios itu hanya tinggal menjual kartu perdana dengan harga variatif, tergantung kombinasi nomornya. "Akhirnya kami langsung melakukan penelusuran, dan mendapati SIM card tersebut di kios ponsel di Samarinda Ulu. Kami juga sita alat-alatnya," sebut Yuliansyah. Berdasarkan keterangan yang diterima, kedua pelaku juga menerima jasa serupa untuk kios ponsel di Kota Tepian. "Dua tersangka inilah yang kami duga punya peralatan yang paling lengkap," sahutnya. Lebih lanjut dijelaskannya, Unit Eksus Satreskrim Polresta Samarinda terus melakukan pengembangan untuk menelusuri sindikat yang berhasil mereka ungkap. Yuliansyah membeberkan, setelah melakukan pemeriksaan, diketahui kedua tersangka membeli identitas orang lain melalui internet, dengan harga Rp 200 untuk satu NIK. "Ternyata ada sindikat untuk penjualan NIK orang lain di internet, jadi kami sedang mengejar mereka. Biasanya kedua tersangka membeli sekaligus banyak, dan menerima sebuah flash disk yang berisi data NIK KTP orang lain," jelasnya. "Tidak menutup kemungkinan nama kita semua juga ada tertera di sana," tambahnya. Yuliansyah menjelaskan, para pelaku ini menggunakan alat modem untuk memasukkan SIM card yang belum teregistrasi. Kemudian data NIK KTP orang lain yang berada di flash disk dimasukkan ke control processing unit (CPU) komputer. "Dengan menggunakan aplikasi, pelaku kemudian melakukan registrasi menggunakan NIK tersebut. Hasilnya SIM card yang sudah teregistrasi siap dijual dengan harga Rp 10 ribu-20 ribu per kartu," ungkapnya. Semua alat ini dibeli pelaku melalui daring, termasuk kartu perdananya. Keduanya mengaku telah menjalani bisnis tersebut sejak 2018 silam. Jika dihitung secara kasar, omzet yang berhasil diraup keduanya berkisar antara Rp 600 juta hingga Rp 1,3 miliar. "Memang kita lihat provider tidak dirugikan dalam hal ini. Tetapi masyarakat sangat dirugikan, karena identitas mereka digunakan tanpa sepengetahuannya. Kemungkinan terburuknya, identitas tersebut digunakan untuk tindak pidana oleh orang lain," jelasnya. "Bukan tidak mungkin nanti ada tersangka lain yang akan diringkus. Tapi kami akan panggil dulu perusahaan provider terkait kasus ini," tambahnya. Atas perbuatannya, kedua tersangka akan dijerat pasal 51 ayat 1 juncto pasal 35 Undang-Undang (UU) RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun dan denda Rp 2 miliar. "Selain itu mereka akan dijerat dengan pasal 94 juncto pasal 77 UU RI Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan ancaman 6 tahun kurungan penjara dan denda Rp 2 miliar," pungkasnya.

BUKAN YANG PERTAMA

Kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi di Bumi Etam. November 2019 lalu, kasus serupa berhasil diungkap Direktorat Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Kaltim melalui Sub Dit Sibernya. Dari dokumentasi Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, 5 November 2019 lalu, Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana yang saat itu didampingi Kasubit V Siber Dit Reskrimsus Polda Kaltim AKBP Albertus Andreana menerangkan, telah terjadi kejahatan manipulasi data warga atau NIK di Samarinda. Manipulasi tersebut untuk keperluan meregistrasi ke dalam kartu perdana. Baca juga: Polda Kaltim Amankan Pelaku Manipulasi Data NIK Registrasi Kartu Perdana Menurut Ade, modus operandi yang dilakukan oleh FE adalah menerima pesanan dari counter-counter ponsel yang meminta untuk di-register data. Dalam setiap transaksinya, FE mendapatkan komisi Rp 1.000 per kartu perdananya. Namun, yang jadi tindak kejahatan FE adalah meregistrasikan data NIK milik seseorang kepada kartu perdana tersebut. Disinggung asal data NIK yang digunakan FE tersebut, Ade hanya bisa menjelaskan NIK yang digunakan berasal dari wilayah Jawa. FE telah bekerja sama dengan pemasok data tersebut. Berdasarkan hasil interogasi tersangka, dirinya menjelaskan kartu hasil registrasi tersebut dipasarkan ke tiga Kota/Kabupaten di Kaltim, yakni Samarinda, Kukar, dan Balikpapan. Akibat perbuatannya, FE dijerat dengan pasal 35 UU ITE dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda Rp 12 miliar.

NIK ‘GRATIS’

Mengutip tirto.id, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI), Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, ada sejumlah pihak yang “memulung” data pribadi yang tercecer di internet. Kadang juga masyarakat membagikan sendiri data kependudukannya di dunia maya. Data kependudukan tak hanya disimpan oleh pihaknya. Zudan menyatakan, ada empat pihak lain yang juga diduga menyimpan data pribadi seperti bank, financial technology (fintech), hotel, atau rumah sakit ketika masyarakat berurusan dengan lembaga-lembaga itu. Perusahaan layanan internet seperti Google dan Facebook juga menyimpan data pribadi masyarakat. "Polisi harus bergerak, yang ada di Facebook itu dapat dari mana? Sebab ada empat tempat data berada," kata Zudan, medio 2019 lalu. Ia berpendapat, jika mengetik “KTP Elektronik” di kolom pencarian Google, maka akan muncul sekira 8.750.000 gambar KTP elektronik dalam 0,46 detik. Hal serupa ada jika mengetik “Kartu Keluarga”, akan muncul 38.700.000 hasil dalam 0,56 detik. Redaksi Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com mencoba membuktikan pendapat Zudan, Kamis (11/3/2021). Benar saja, saat diketik “KTP Elektronik” di kolom pencarian Google, muncul sekira 6.810.000 hasil pencarian dalam 0,5 detik. Dari sekian juta itu, masih banyak ditemukan foto KTP yang menunjukkan jelas NIK dan identitas orang tersebut. Termasuk foto KK yang menunjukkan jelas anggota keluarga. Berdasarkan Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, pihak yang menyebarkan data kependudukan terancam hukuman penjara dua tahun. Sementara dalam Peraturan Pemerintah yang jadi turunan undang-undang itu mengatur denda Rp 10 miliar bagi yang menyebar data kependudukan. (bdp/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait