Sedangkan biaya operasional yang sukar untuk dihitung ialah anggaran perawatan ringan terhadap kapal. Biasanya untuk pengecatan pada bagian tertentu. Bila terjadi kerusakan ringan. Atau kerusakan kecil pada komponen tertentu di dalam kapal. Serta pengadaan barang-barang kelengkapan kapal. Biaya ini terkadang ditanggung pemilik kapal. Namun tidak jarang dipenuhi sendiri dari urunan awak kapal atau ditanggung sang kapten.
Berita Terkait:
- Perjalanan Pulang dan Kisah Melawan Arus
- Tegang Berpapasan dengan Kapal Lawan Arah
Dan biaya operasional lainnya yang disebut Jumardin, ialah pungutan liar. Tidak resmi. Untuk jatah oknum-oknum yang meminta sejumlah uang dan solar dengan dalih ongkos atas jaminan keamanan beroperasi di Sungai Mahakam.
Menurut Jumardin, pungutan liar oleh oknum-oknum tertentu ini paling banyak di alur mahakam bagian ilir. "Yang paling banyak itu, di hilir. Di sekitar Jembatan Mahakam. Sampai Jembatan Mahkota. Terus di daerah Kutai Lama dan Sangasanga," ujar Jumardin.
Ia masih mengingat, ketika beroperasi di wilayah itu. Dalam satu kali pelayaran dari hulu ke hilir. Bisa sampai 10-20 oknum yang merapat ke setiap tugboat. Untuk meminta jatah.
"Kadang itu pak, sampai mengantre mereka untuk merapat ke kapal ini. Berjejer speed boat mereka di belakang tugboat. Gantian mereka naik. Paling sedikit 10 kelompok yang naik," katanya.
Jumlah itu untuk sekali melintas di wilayah yang diklaim para oknum. Sekembalinya. Pungutan berlaku untuk setiap tongkang pengangkut batu bara. Dari oknum yang sama.
Jumardin dan para pekerja di tugboat penarik tongkang sebenarnya menyadari itu aktivitas ilegal. Namun, mereka tetap memberi karena khawatir dipersulit. Atau diganggu dalam pelayaran mereka.
"Kami kadang berpikir. Dari pada kenapa-kenapa di perjalanan. Atau dipersulit. Jadi mending kita berikan saja apa yang ada," ucapnya.
"Kadang ada juga yang mengerti kalau kita bilang tidak ada. Atau diberi sedikit. Kadang juga kita tambah solar," katanya lagi.
Jumlah uang yang biasa diberikan, kata dia, umumnya Rp 50-100 ribu untuk setiap kelompok. Terkadang harus ditambal kekurangannya dengan BBM solar. Sebanyak 2-3 galon. Satu galon sama dengan 40 liter.
Pada sutu waktu, ia memberikan amplop berisi Rp 30 ribu kepada sekelompok oknum tersebut. Sang oknum membuka amplop dan mengembalikan uang tersebut sembari marah-marah.
"Karena kami sudah tidak punya uang lagi. Tapi dilempar uang itu ke kami. Mereka tidak terima dikasih segitu. Marah-marah," bebernya.
Biaya untuk pungutan liar ini harus ditanggung kapten dan para awak kapal tunda itu. Sebab perusahaan tidak ingin tahu terkait hal itu. Mereka para pekerja di kapal sebenarnya dilarang oleh perusahaan pemilik kapal untuk memberi. Namun kembali lagi. "Kami enggak pilihan, karena beroperasi di wilayah orang. Takutnya dipersulit lewat situ," kata Jumardin.
Terlebih lagi, para pekerja di kapal tunda ini bukanlah pekerja yang bergaji tinggi. Jumardin mengatakan, anak buahnya di kapal itu hanya diupah Rp 2,4 juta per bulan. Serta bonus sekali berlayar sebesar Rp 2 juta tadi yang akan dibagi 10 orang pekerja di dalam satu kapal.
"Kami ini masih terbilang tinggi di banding kapal-kapal lain. Ada yang hanya digaji Rp 1,8 juta sebulan. Bahkan ada yang cuma Rp 300 ribu," jelasnya.