Elite dan Oligark dalam Demokrasi

Sabtu 27-02-2021,20:11 WIB
Oleh: Disway Kaltim Group

OLEH: NASRULLAH*

Elite dan oligark adalah penguasa sesungguhnya di banyak negeri. Kedua kelompok kecil ini adalah pemilik kekuasaan istimewa yang membedakannya dengan rakyat kebanyakan.

Professor Jeffrey Winters (2011) dalam karyanya Oligarchy sepuluh tahun lalu menerangkan bagaimana oligark menjalankan kekuasaan dari masa ke masa. Termasuk bersekutu dengan elite yang memiliki kekuasaan lain selain kekuasaan atas kekayaan material. Elite memiliki kekuasaan atas hak politik formal, kekuasaan jabatan, kekuasaan mobilisasi, dan kekuasaan koersif (pemaksa). Sementara itu, oligark selain memiliki keempatnya, kekuasaan istimewanya adalah kekuasaan material/kekayaan. Kepentingan oligark adalah mempertahankan kekuasaan materialnya. Sementara kepentingan elite adalah mempertahankan kedudukannya pada kekuasaan yang dimilikinya. Atau bisa jadi seorang elite berhasrat menjadi seorang oligark. Di titik kepentingan inilah keduanya sering bersekutu meski tak jarang pula berselisih. CATATAN HISTORIS Di masa kolonial, para peneliti dan sarjana kolonial Belanda mengamati dan mencari tahu dua hal yang dimiliki seorang tokoh yang dimata-matai. Yaitu uang dan senjata yang dimiliki. Artinya, di masa kolonial, potensi perlawanan pemilik uang (kekuasaan material) dan pemilik senjata (kekuasaan koersif) sudah diperhitungkan. Sebagai contoh, untuk mencari tahu potensi yang dimiliki oleh orang orang Hadramaut, khususnya keturunan Nabi Muhammad, seorang sarjana Belanda dikirim ke Hadramaut untuk meneliti bagaimana kehidupan orang Hadramaut di Yaman. Selain itu, ditelusuri bagaimana mereka datang ke Nusantara kala itu, apa motifnya, dan siapa saja mereka yang datang. Di Hadramaut, peneliti mencari tahu, siapa pemilik uang paling banyak dan pemilik senjata paling banyak di masa itu, atau pemilik keduanya. Setelah itu, orang-orang Hadramaut yang datang ke Batavia juga dicari tahu kehidupannya. Siapa saja yang punya toko, siapa yang punya uang dan aset yang banyak serta punya senjata. Hal yang dapat direfleksikan adalah rupanya sejak masa kolonial dan mungkin sebelumnya juga, kekuasaan elite adalah instrumen yang sangat diperhatikan secara jeli oleh penguasa. Dalam kasus di atas, elite pemilik kekuasaan koersif dan ‘oligark’ pemilik kekuasaan material akan dimata-matai oleh Belanda. Akan semakin intens diperhatikan lagi jika seseorang yang memiliki keduanya—uang/kekayaan dan senjata (kekuasaan koersif dan kekuasaan material)—karena mereka merupakan elite sekaligus oligark. PERILAKU DAN NASIB PARPOL Praktik mempertahankan kekayaan bahkan semakin memperbanyaknya menyebabkan para oligark berkoalisi dengan elite. Koalisi atau persekutuan ini adalah sebuah tindakan yang bertujuan dalam rangka menghindari ‘redistribusi’ ke bawah (kepada rakyat) atau akuisisi ke samping (oligark lain) kekayaan para oligark. Para oligark kekinian, termasuk di Indonesia terus berusaha mempertahankan kekayaan mereka dengan berbagai cara. Terutama lewat jalan politik di rezim demokrasi sekalipun. Di dunia politik, peraturan ditentukan. Di dunia politik, aktornya adalah partai politik (parpol) berikut ‘pemilik partai’ dan politisi. Dengan ‘memegang’ dan ‘mengendalikan’ partai-partai, dapat dipastikan bidang legislatif di DPR dan koalisi di kabinet eksekutif bisa ‘diamankan’. Dengan begitu, apakah parpol dikuasai dan dikendalikan oleh oligark? Sepenuhnya bisa jadi tidak. Tapi potensi untuk demikian bukan tak mungkin. Selain sebagai pembuat peraturan, fungsi DPR—di mana parpol berperan besar di situ—adalah melakukan fungsi budgeting. Uang negara ‘dibagi’ di lembaga ini bersama eksekutif. Distribusi anggaran hendak diarahkan ke mana adalah salah satu hak DPR—tempat parpol bergelut. Tentu, kepentingan oligark juga ada di sini. Terkhusus di Indonesia, parpol sebagai salah satu pilar demokrasi dapat dikatakan diisi oleh para elite bahkan oligark. Beberapa oligark tercatat menjadi anggota, pendiri, hingga menjadi pimpinan parpol. Jadi, oligark di Indonesia, dalam upaya menciptakan pertahanan kekayaannya, sampai menjadi elite di parpol. Baik sebagai pendiri dan ketua umum maupun sebagai anggota. Dengan demikian, parpol seperti itu tidak lagi hanya sebagai pilar demokrasi. Tapi sudah menjadi ‘alat’ pertahanan kekayaan para oligark. MASIHKAH ADA HARAPAN? Bisakah oligark dijinakkan? Atau bahkan dikalahkan sekaligus? Jawabannya bisa dan tergantung pada syarat-syaratnya. Selama ada kekuatan yang mampu mengendalikan negara selain oligark untuk membuat oligarki tunduk pada negara, hal itu tidak mustahil dilakukan. Prof Jeffrey Winters menegaskan, salah satu yang paling bisa menjadikan kuatnya peran negara dan menundukkan oligark, bahkan meredistribusi kekayaan material para oligark adalah kekuatan grass root yang terorganisasi. Seperti mengusir penjajah di masa kolonial, ‘menjinakkan’ dan ‘menundukkan’ oligark salah satunya masih mengandalkan kekuatan ‘grass root’ (akar rumput) dan masyarakat sipil yang kuat. Supremasi hukum dan redistribusi material hanya dapat diwujudkan oleh masyarakat sipil dan gerakan grass root yang kuat. Upaya meredistribusi penguasaan kekayaan material secara adil dan merata adalah kunci menjawab ketimpangan yang ada oleh sistem oligarki ini. Karena ketimpangan penguasaan materiallah yang menciptakan oligarki dan melahirkan para oligark. Ketika ketimpangan itu hilang dan distribusi kekayaan material merata, oligarki dengan para oligarknya juga akan hilang dengan sendirinya. Dari kondisi itu, demokrasi akhirnya kembali menjadi milik rakyat (demos). Dan, bisa jadi para elite tiba-tiba akan berpaling dari persekutuannya dengan para oligark. Mungkinkah? (*Dosen FIB-Unmul Samarinda)
Tags :
Kategori :

Terkait