Potensi Pajak Sarang Burung Walet Besar, tapi Sulit Dipungut

Jumat 22-01-2021,08:50 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TANJUNG REDEB, DISWAY - Sarang burung walet menjadi salah satu potensi penerimaan pajak daerah. Sayang, jenis pajak ini masih sulit untuk dipungut.

Pemungutan pajak sarang burung walet merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemungutan pajak sarang burung walet menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Berau, Sri Eka menjelaskan, kesulitan tersebut dapat digambarkan dari tidak tercapainya target yang ditetapkan tiap tahunnya. Misalnya, tahun 2020, pihaknya menarget sebesar Rp 1 miliar. Namun, hanya terealisasi sekira Rp 572 juta atau sebesar 57,27 persen dari target, per 28 Desember 2020. Sedangkan di tahun 2021, dengan target yang sama Rp 1 miliar. Target, disesuaikan dengan evaluasi tiap tahunnya. “Memang agak sulit, walaupun potensinya besar. Berau punya potensi alami dan rumahan, di goa juga masuk dalam hitungan,” jelasnya kepada Disway Berau, Kamis (14/1). Disebutkannya, potensi tersebar di daerah pesisir maupun dalam kota. Terkait penarikan pajak, pihaknya telah sosialisasi hingga Tabalar, Biatan dan Talisayan. Memberikan pemahaman kepada pemilik sarang, tentang pemungutan pajak, serta tarif-tarif pajak. Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian (BKP) produksi sarang walet di Berau, 16.000 ton per tahun, tetapi pajak yang masuk kepada daerah hanya sekiranya 5.000 ton produksi, masih ada sekira 10.000 ton yang belum terpungut. Eka menjabarkan, kenyataan di lapangan adalah banyaknya sarang walet rumahan yang tidak memiliki izin. Terutama dari izin bangunan, sehingga wajib pajak belum bisa keluar. Pihaknya telah berkoordinasi dengan lintas sektor terkait agar diberikan kemudahan, serta pelaksanaan pemutihan yang akan diperpanjang untuk pengurusan izin. Bahkan, permasalahan sulitnya pemungutan pajak sarang walet memunculkan niat pemerintah provinsi sesuai dengan instruksi Gubernur, meminta bantuan Balai Karantina Pertanian agar menunjukkan bukti pajak. Sebab dari mereka itu yang mengetahui angka yang keluar lebih besar, dan sangat jauh dari yang masuk ke daerah. Lanjutnya, besaran wajib pajak hanya 10 persen. Pemungutan pajak berlaku, jika pengusaha panen. Jika memang tidak panen, tidak punya kewajiban membayar pajak, namun harus melapor. Tetapi, selama ini bisnis walet masih dalam potensi yang bagus dan tidak terlalu goyah akibat corona. Bahkan di Berau, secara kasat mata, dia mengakui sangat meningkat potensinya. “Memang yang tidak menghasilkan tidak kami tarik pajak, jadi itu bukan alasan bagi masyarakat. Kalaupun untuk rumahan tidak sebesar 10 persen, tapi kami turunkan 7 persen,” jelasnya. Setelah pertemuan dengan pengusaha di pesisir pun, mereka meminta untuk diturunkan menjadi 5 persen. Sebab itu mereka sudah menyiapkan perda, sudah masuk ke dalam ranah hukum, tinggal menunggu pengesahan dewan. Tetapi permintaan itu akan terkabulkan dengan catatan jika diturunkan sebanyak 5 persen, para pengusaha harus semangat membayar pajak. Sementara ini, juga ada perbaikan harga penyesuaian di pasaran. Sesuai dengan kualitas pertimbangan sudut siku, mangkuk bulatan dan campuran sarang. Jika semakin bagus, harga yang ditetapkan tertinggi sekiranya Rp 14 juta per kilogram, namun sesuai kebijakan Menteri Keuangan paling tertinggi yaitu Rp 10 juta. Bapenda mengakui, tidak akan ikut campur terhadap harga di pasaran, tetapi penarikan pajak mengikuti harga pasar. Selama ini pedomannya hasil walet hanya dilaporkan sebanyak Rp 1,5 juta saja meskipun harga jual mencapai Rp 10 juta. Hal itu yang harus diperbaiki penarikan pajak. Selama ini, yang wajib dilaporkan terbilang sangat kecil dan masih saja ada yang lalai. “Jadi sekarang ikut penyesuaian harga, tidak sama lagi. Bahkan pusat sudah ikut mengaturnya agar tidak ada selisih yang begitu jauh,” tandasnya. *RAP/APP
Tags :
Kategori :

Terkait