Sulit Cari SDM

Rabu 20-01-2021,09:58 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TANJUNG REDEB, DISWAY- Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa mengoperasikan hiperbarik sangat sedikit. Bahkan, di Indonesia, jumlahnya bisa dihitung jari. Apalagi alat di Berau, kini tak beroperasi karena kendala SDM.

Minimnya SDM hiperbarik diungkapkan Gideon Pujo, yang saat ini menjadi instrukrur Hiperbarik Indonesia. Dikatakannya, teknis pelayanan hyperbaric chamber diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 120 tahun 2008. Gideon menyebut, Berau sudah mendapat pelatihan dasar tentang hyperbarik. Dengan mendatangkan instruktur dari luar. Instruktur itu selama satu minggu memberikan pelatihan kepada beberapa orang tenaga kesehatan (nakes). “Itu berlangsung sekira tahun 2015,” ujarnya kepada Disway Berau, Minggu (10/1). Walaupun sudah ada nakes yang diberikan pelatihan, alat itu tetap tidak bisa dioperasikan. Karena, alasan SDM yang tidak yakin dengan kemampuannya setelah dilatih. “Mungkin karena di Permenkes Nomor 120 itu menyebutkan jam terbang. Jadi mereka tidak berani mengoperasikannya,” ujar Gideon. Diungkapkannya, pernah melakukan pendampingan pelayanan hiperbarik di Berau. Saat dirinya menjabat sebagai kepala hiperbarik di Berau, cukup banyak SDM yang bisa membantunya. “Saat itu saya punya tim untuk mengoperasikan hiperbarik sebanyak 7 orang dan 1 dokter. Tapi mereka hilang karena dimutasi,” ungkapnya. Lanjutnya, hiperbarik di Puskesmas Tanjung Batu pernah menolak pasien dekompresi dari Bidukbiduk. Karena, Pimpinan puskesmas tidak berani memberikan izin pengoperasian hiperabrik. “Waktu itu alasannya karena tidak ada Peraturan Daerah (Perda) terkait retribusi. Sehingga mereka takut dianggap pungli. Dan alhasil, pasien yang tadinya dekompresi harus kembali ke Bidukbiduk, dan berujung kelumpuhan,” tuturnya. Februari 2017, dirinya memilih meninggalkan Berau, untuk kembali ke Jakarta. Saat dirinya bekerja di Rumah Sakit Antam, kerap ditemui perwakilan pemerintah Berau. Orang yang mendatanginya, mencoba untuk merayu dan memberikan beberapa penawaran yang menarik. Seperti jaminan pengangkatan menjadi pegawai negeri. “Saat itu bulan Juli saya diminta untuk kembali ke Berau. Dan Agustus saya langsung kembali lagi ke Bumi Batiwakkal,” katanya. Ketika Gideon kembali ke Berau, dirinya lagi-lagi dihadapkan dengan persoalan yang sama dengan sebelumnya. Tidak ada pelayanan hiperbarik, karena tidak ada Perda Retribusi. Seharusnya, atas dasar kemanusiaan. Pemerintah boleh melakukan pengoperasian alat tersebut. Tanpa harus, memungut pembayaran dari pasien. “Katanya takut pungli, jadi solusinya seperti itu,” ungkapnya. Diakuinya, masih memantau operasional hiperbarik di Berau. saat ini, yang diketahuinya sudah ada perda retribusi hiperbarik. Namun, pelayanan masih tidak berjalan. “Apalagi alasannya? Kan SDM sudah ada yang pernah dilatih” tanyanya. Dikatakannya, SDM yang pernah dia latih hanya sisa 3 orang saja yang di Puskesmas Tanjung Batu. Sementara lainnya, sudah mutasi. “Kalau dokter yang pernah kami latih untuk jadi dokter hiperbarik itu ada dokter Okto dan dokter Budi,” tuturnya. Hiperbarik setiap beroperasi harus ada dokter, perawat sebagai operator, perawat sebagai tender dan ada teknisi. Dan semua harus bersinergi. “Saya akui, sekarang sangat susah untuk mencari SDM untuk pengoperasian hiperbarik. Karena ya itu tadi, hanya sedikit yang memiliki jam terbang,” tegasnya. Di Indonesia, hanya sedikit saja yang sudah memiliki jam terbang untuk pengoperasian hiperbarik. Mayoritas berasal dari jajaran TNI-Polri. “Hanya ada dua yang berasal dari sipil, saya dan rekan saya. Dan saat ini rekan saya itu tugas di salah satu rumah sakit di Jakarta,” tandasnya. Diberitakan sebelumnya, hiperbarik milik Berau, saat ini tidak beroperasi. Terkendala SDM. Padahal, Bumi Batiwakkal, punya alat itu sejak empat tahun lalu. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau, Iswahyudi. Dikatakannya, untuk mengoperasikan hiperbarik tidak boleh sembarangan. Karena, orang yang mengoperasikan itu harus memiliki sertifikasi atau benar-benar terlatih. Ada dua alasan belum bisa digunakan. Sebut Iswahyudi, pertama karena belum ada pengujian, dan yang kedua karena kita tidak ada dokter hiperbarik di Berau. Alat tersebut sempat beroperasi. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena, ada permasalahan yang belum rampung. Pihaknya telah berupaya rekrutmen dokter hiperbarik. Bahkan, untuk dokter hiperbarik harus berstatus pegawai negeri. “Saya sejak tahun lalu sudah mencoba menawarkan ke beberapa dokter, untuk jadi dokter hiperbarik. Tapi sepertinya belum ada yang berminat untuk itu,” katanya. Lanjutnya, untuk menjadi dokter hiperbarik, seseorang harus sekolah kembali. Saat ini, pihaknya belum mendapati adanya lamaran yang masuk untuk menjadi dokter hiperbarik di Berau. “Kalau ada mungkin bisa dioperasikan,” ungkapnya. Selain itu, pihaknya tahun lalu sudah mulai berencana untuk melaksanakan pelatihan pengoperasionalan hiperbarik terhadap beberapa tenaga medis. Namun, hal itu terkendala dengan adanya pandemik COVID-19. “Sejak satu tahun lalu itu sudah direncanakan, tapi tidak bisa terlaksana,” tegasnya.*/fst/app
Tags :
Kategori :

Terkait