Hari itu saluran utama darah saya pecah. Sejak dari dekat jantung sampai di sekitar pusar. Sepanjang lebih 50 cm.
Saya bersyukur tidak meninggal saat itu. Terutama saat di penerbangan pulang-paksa dari Madinah ke Surabaya. Atau tiga hari kemudian: saat terbang dari Surabaya ke Singapura.
Di Singapura, saluran darah saya itu dipasangi ring. Sebanyak 176 buah.
Bahayanya: sekarang ini. Cendol-cendol itu bisa melekat, nempel, di salah satu dari 176 ring itu. Lalu cendol lain ikut menempel di cendol pertama. Pun cendol-cendol berikutnya.
Lantas, kapan saja, bisa terjadi takdir buruk: cendol itu lepas dari ring. Lalu ikut mengalir dalam darah. Kintir –dalam bahasa Jawa, entah apakah ada istilah Indonesianya.
Saat cendol itu kintir bisa nyangkut di mana-mana. Terutama ketika melewati saluran darah yang lebih kecil.
Kalau nyangkutnya di jantung, bisa berakibat serangan jantung: bisa meninggal. Kalau menyangkutnya di saluran darah otak, bisa stroke: meninggal.
Darah itu mengental, atau mencendol, akibat virus Covid-19.
Rupanya, ketika virus masuk ke badan, badan kita berusaha melawan virus Covid. Akibat perlawanan itu menghasilkan zat tertentu yang bisa membuat darah mencendol.
Entahlah. Mungkin tidak begitu. Bisa saja saya salah membaca literatur soal ini. Saya bukan dokter yang punya kemampuan membaca literatur dengan benar.
Selama di rumah sakit, saya tidak banyak bertanya ke dokter. Saya percaya penuh. Saya juga tidak pernah menyarankan harus begini atau begitu. Saya selalu mengakui kepintaran dokter. Sampai jauh di dalam hati saya.
Kebetulan semua tindakan dokter, di rumah sakit ini, cocok dengan pikiran di kepala saya.(*)
Sumber: disway.id