Harapan di Bendungan Lempake Tahun 2020

Rabu 09-12-2020,17:38 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Bendungan Lempake punya banyak cerita. Mulai dari untuk memenuhi kebutuhan air. Sampai tugas tambahan: mereduksi banjir.

Itulah sebabnya Bendungan Lempake dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus menjadi kunci pengendalian banjir. Kepala Satuan Kerja Operasional dan Pemeliharaan Sumber Daya Air, Balai Wilayah Sungai III Kalimantan, Adi Kusworo menuturkan kisah pengelolaan Waduk Benanga. Bendungan itu dulu dibangun hanya dalam model bendung. Tanpa fungsi tampung karena tidak didesain memiliki kunci tampung. Tujuannya hanya untuk menaikkan tinggi permukaan air. Untuk mengairi sawah seluas 550 hektare. Di wilayah Kelurahan Lempake. Yang sekarang  luas persawahan itu sudah berkurang, karena banyaknya alih fungsi lahan menjadi permukiman. "Persawahan itu mulai ada tahun 1981. Tepat saat Bendungan Lempake selesai dibangun. Sedangkan pembangunan bendungan sudah dimulai tahun 1977," tutur Adi Kusworo. Dalam perjalanannya kemudian, wilayah Samarinda Utara memerlukan suplai air baku. Dan saat itu, Bendungan Lempake menjadi opsi utamanya. Maka ditambah fungsi bendungan untuk memenuhi distribusi air bersih. Hingga sekarang PDAM mengalirkan 100 liter air per detik dari waduk tersebut ke rumah-rumah warga. Dua fungsi ini sudah mampu dipenuhi oleh Waduk Benanga  hingga sekarang, kata Adi. Namun, seiring berjalannya waktu, Bendungan Lempake dituntut mereduksi banjir dari hulu Samarinda. Melebihi fungsi utamanya. Fungsi inilah yang sampai sekarang belum mampu dipenuhi oleh waduk yang indah di kala senja itu. Peningkatan fungsi waduk dilakukan sejak Benanga Jebol pada 1998 silam. Adi mengakui, belum ada acuan pengelolaan. Padahal seharusnya ada rencana pengelolaan waduk untuk menentukan fungsi dan mengatur bendungan itu. Padahal BWS III Kalimantan telah mengambil alih pengelolaan sejak 2007. Satuan Kerja Operasi dan Pemeliharaan Suber Daya Air, BWS III Kalimantan memang bertanggungjawab atas pengelolaan Bendungan Lempake. Membawahi Unit Pengelola Bendungan (UPB) Lempake. PERNAH JEBOL Adi Kusworo membernarkan cerita tentang jebol-nya Bendungan Lempake. Berdasarkan catatan kronogi yang diarsipkan BWS III Kalimantan. "Memang betul pernah jebol, terjadi tahun 1998, tepatnya tanggal 28 Juni," kenangnya. Saat itu, tahun 1997 terjadi fenomena El Nino. Atau kekeringan selama hampir setahun. Peristiwa itu menyebabkan tubuh bendungan mengalami retak-retak. Sehingga tahun berikutnya, 1998, terjadi hujan di hulu dengan intensitas mencapai 108 milimeter. Yang menyebabkan bendungan meluap. Air sampai melimpas di atas puncak bendungan. Serta masuk ke dalam retakan-retakan tadi. Dan akhirnya jebol. Peristiwa kelam itu mengakibatkan sepertiga wilayah Samarinda terendam banjir hampir seminggu. Kemudian setelah peristiwa di masa lampau itu, ada redesain dan pembangunan kembali. Dengan penguatan tubuh bendungan. Dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kaltim saat itu. Pembangunan kembali dengan mengubah desain membuat pelimpah tambahan. Di pojok sisi kanan bendungan. Pelimpah tambahan disebut juga sebagai limpahan emergency. Untuk membantu pelimpah utama, yang memang tidak cukup kuat, jika terjadi banjir. Dibuat sepanjang 50 meter. Elevasinya lebih tinggi 50 cm dari pelimpah utama yang  berada pada ketinggian 7.20 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan pelimpah darurat berada di 7.70 mdpl. "Jadi ketika permukaan air naik, baru pelimpah darurat ini bekerja. Jenis pelimpah ini adalah pelimpah ambang bebas, ketika kelebihan air, lansung spill out," jelasnya Namun alirannya tetap menyatu ke sungai karang mumus. Bertemu dengan limpahan air dari pelimpah utama. ANCAMAN SEDIMENTASI Penyebab utama yang mengurangi kemampuan Bendungan Lempake mereduksi banjir ialah ancaman laju sedimentasi yang tinggi. Yang menyebabkan pendangkalan terus menerus. Sehingga daya tampung air semakin berkurang. Adi menyebut dalam catatan BWS awal pembangunan bendungan ini didesain untuk menampung air sebanyak 1,4 juta meter kubik. Namun sekarang kemampuannya menampung air hanya berkisar 400.000 meter kubik. Ia menyampaikan tahun ini pihaknya sudah berupaya melakukan pengerukan. Yang dikerjakan lansung Satuan Kerja Bendungan BWS III Kalimantan. Pengerukan dilakukan tepat di daerah tampungan banjir, yang elevasi di atas 7,20 mdpl tadi. Untuk menambah daya kendali banjir. "Hasilnya lumayan dalam mereduksi banjir," ujar Adi Kusworo. Makanya, tahun depan pihaknya berencana untuk melanjutkan lagi upaya pengerukan itu. Tapi menurut Adi, upaya pengerukan itu hanya bersifat sementara. Pengerukan tidak akan pernah selesai jika laju sedimentasi dari hulu tidak mampu dikendalikan. Oleh, sebab itu, katanya, yang paling penting di jaga adalah di daerah hulu dari aliran sungai yang bermuara di waduk itu. Yaitu dengan mengatur tata guna lahan.  Pengaturan tata guna lahan dinilai menjadi penyebab banyaknya pembukaan lahan secara ugal-ugalan. Yang pada akhirnya menjadi penyebab utama tingginya laju proses sedimentasi. Adi mengungkapkan, hal ini memang membutuhkan koordinasi antar sektor dan antar daerah. Sebab hulu sungai di kawasan itu terbagi menjadi dua. "Yang hulu sekali di Tanah Datar dan Sungai Bawang yang sudah masuk wilayah administra si Kutai Kartanegara. Kemudian bawahnya sedikit ada daerah Pampang dan Tanah Merah, di utara Samarinda." Yang kian memperparah ancaman adalah pembangunan Bandara APT Pranoto. Menurutnya akan menurunkan fungsi daerah tangkapan air di hulu. Sebab Bandara tersebut akan semakin berkembang. Memunculkan banyak pemukiman. Dan akan semakin banyak daerah terbuka. "Apalagi di daerah hulu yang masuk Kukar ada izin tambang di situ. Padahal sebenarnya kuncinya di sana," paparnya. Sehingga daerah hulu harus benar-benar dijaga untuk menahan laju proses sedimentasi. Agar Bendungan Lempake tetap mampu menjalankan fungsi reduksi banjir. Sebab jika sedimentasi dari hulu tidak mampu dikendalikan, fungsi redukai akan semakin kecil dan bahkan benanga bisa kehilangan fungsi tersebut. "Upaya pengerukan hanya dalam rangka maintenance saja. Untuk mengurangi sedimen. Tidak efektif," ucap Adi. "Yang paling efektif adalah pengendalian di daerah hulu. Dengan kerja sama antar sektor dan daerah. Membuat MoU untuk menjaga. Dan membuat rencana tata ruang yang baik. Kalau rencana tata ruang untuk pemukiman semua, akan semakin parah," ia menerangkan. RENCANA TINDAK DARURAT Rencana tindak darurat itu mengatur jalur evakuasi warga yang bermukim di sekitar bendungan. "Jadi sudah diatur jalur evakuasi-nya. Daerah-daerah tempat berkumpul masyarakat kalau seandainya terjadi kegagalan bendungan,". Studi ini sudah ditetapkan Kementerian PUPR. Hanya tinggal disosialisasikan bersama seluruh stakeholder. "Kita tinggal menunggu kesiapan wali kota Samarinda," tandas Adi. (das/boy)  
Tags :
Kategori :

Terkait