Bawaslu Susah Ungkap Perkara Politik Uang
Kamis 03-12-2020,18:38 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Praktik politik uang dalam pemilihan umum bukan lagi menjadi rahasia umum. Meski sudah diketahui dan banyak dikecam, sangat sedikit perkara yang bisa diungkap.
Komisioner Bawaslu Kaltim, Ebin Marwi mengaku kesusahan mengungkap perkara-perkara politik uang. Lembaga pengawas pemilu itu perlu minimal dua alat bukti, untuk menyeret pelakunya ke bui.
Di lapangan, Ebin Marwi mengaku sulit mengumpulkan alat-alat bukti. Berikut dengan saksi yang mau bicara.
"Politik uang sudah masuk tindak pidana. Dan membuktikannya susah. Dalam teori pembuktiannya, harus dua alat bukti. Dan sulit dibuktikan karena kita harus betul-betul memiliki dua alat bukti," katanya, Selasa (1/11/2020).
Baca juga: Gerilya Uang Jelang Pemungutan
Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kaltim itu menambahkan, dalam praktik politik uang, penerima dan pemberi sama-sama diberi sanksi. Karena itu, tak heran jika kedua pihak saling menutup.
"Tentu itu menjadi faktor. Karena yang menerima tidak akan melaporkan, karena takut akan dipidana juga. Sementara pemberi terus-terus melakukan (praktiknya). Tentang pelaku dan penerima (praktik politik uang) ini diatur dalam UU Pilkada," jelasnya.
Apakah aturan ---undang-undang, perlu diubah, agar mendukung Bawaslu mengungkap praktik tersebut. Ebin tak berkomentar. Sebab, ia merupakan pelaksana undang-undang. Soal aturan, itu ranahnya pemerintah dan DPR.
"Kalau kami kan pelaksana undang-undang, tentu tidak berkomentar soal itu. Tapi di lapangan, memang agak sulit Bawaslu melakukan pembuktian," ujar mantan aktivis anti korupsi itu.
Dibeberkannya, di Kaltim, semakin dekat hari pencoblosan ---9 Desember 2020, laporan atau aduan tentang pelanggaran pemilu yang masuk ke Bawaslu, semakin masif. Termasuk pelanggaran praktik politik uang.
Namun, pihaknya selektif. Terhadap aduan yang masuk. Dengan pertimbangan bukti pelanggaran dan saksi.
"Eskalasi laporan ke Bawaslu, tinggi. Berbagai macam laporan. Ini satu sisi baik. Karena partisipasi masyarakat tinggi. Tapi satu sisi, perlu apakah laporan betul-betul punya etika dalam hukum. Misalnya juga memberikan fakta-fakta hukum," ucapnya.
Dalam wawancara sebelumnya, Ketua Bawaslu Kaltim Saipul Bachtiar mengakui jika politik uang, termasuk mahar politik susah dibuktikan. Meski pembuktian praktik tersebut, dijamin dalam undang-undang.
"Pengungkapan tidak semudah yang dibayangkan. Mendeteksinya sangat-sangat sulit," katanya.
Dalam perspektif Bawaslu, tak ada istilah mahar. Yang ada, kompensasi atau pembelian, pembayaran dari bacalon ke parpol tertentu. Dalam perpolitikan Indonesia, khususnya dalam pencalonan, kegiatan itu dilarang. Diatur dalam UU Pilkada.
Selama ini, hal itu sulit diungkapkan. Meski pelarangannya telah tertuang dalam UU. Oleh karena pemberian kompensasi atau mahar politik tersebut, merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
"Itu kan, keinginan kedua belah pihak. Mendasari terjadinya hal-hal seperti itu. Walaupun, selama ini Bawaslu semaksimal mungkin melakukan pengawasan. Karena itu tidak dibolehkan dalam proses pilkada kita," katanya.
Mahar politik, kata Saipul, merupakan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dua belah pihak. Dalam hal ini bacalon maupun pihak parpol. Dan dilakukan secara sadar.
"Ini kan konteksnya harus dilihat dari sisi pembuktian," ungkapnya.
Soal sanksi, bila terbukti adanya mahar politik. Dalam UU, jelas aturannya. Seperti pasal 187 b, UU Pilkada, anggota parpol atau gabungan parpol yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima dalam bentuk apapun, dipidana penjara paling singkat 36 bulan. Paling lama 72 bulan. Dan denda paling sedikit Rp 300 juta, paling banyak Rp 1 miliar.
"Kalau pihak parpol, yang disanksi orangnya. Bukan parpolnya. Tapi walaupun ada sanksinya, pembuktiannya kita sangat sulit," tambah mantan aktivis mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) itu.
Sementara bagi bacalon, yang memberi mahar ke parpol, juga ada sanksinya. "Dia dikenakan sanksi pidana. Ancaman penjaranya, 24 bulan sampai 60 bulan. Dendanya minimal Rp 300 juta dan maksimal Rp 1 miliar,"
Bila dalan pertarungan pilkada, bacalon bersangkutan menang. Namun dalam proses meraih dukungan parpol, terbukti memberikan kahar politik, berdasarkan putusan pengadilan, kemenangan yang diraih, dapat dibatalkan.
"Jadi yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai pemenang," pungkasnya. (sah/yos/zul)
Tags :
Kategori :