Dua kursi itu, yang satu diperebutkan antara Kelly dan Warnock tadi. Kelly itu sangat Trump. Warnock sangat Obama. Kulit putih lawan kulit hitam. Pengusaha lawan pendeta. Kaya lawan miskin.
Satu kursi lagi tidak kalah serunya. Diperebutkan antara incumbent dari Partai Republik dengan wartawan muda dari Demokrat.
David Perdue (70 tahun) lawan Jon Ossoff, 33 tahun.
Perdue sangat Trump. Termasuk sangat anti Obama. Ia pengusaha besar juga. Pernah jadi eksekutif Reebok dan Dollar General, jaringan supermarket terkenal di Amerika.
Jon Ossoff pernah nyaleg di tahun 2017. Ia menang di babak pertama, tapi belum 50 persen. Lawannya hanya mendapat 19 persen. Tapi ia kalah di babak kedua.
Ossoff mendapat 48,2 persen. Lawannya, Karen Handel mendapat 51,8. Rupanya suara 16 caleg Republik di babak pertama hijrah ke Handel semua.
Di tahun 2020 ini hanya ada tiga caleg: David Perdue, Jon Ossoff dan satu nama dari Partai Libertarian. Di babak pertama 3 November Perdue dapat 49,7 persen. Ossoff dapat 47,9 persen. Sisanya untuk calon ketika tadi, 2,3 persen.
Akan ke mana suara calon ketiga itu di putaran kedua 5 Januari depan?
Rupanya perbedaan tipis itu bikin penasaran. Pengawas Pemilu juga meningkatkan kewaspadaan. Kemarin lembaga itu bikin berita besar di media lokal: lagi menyelidiki kasus kemungkinan ”impor” pemilih dari negara bagian lain.
Yang lagi dicurigai adalah tiga organisasi di luar tim resmi para caleg. Di Amerika banyak organisasi seperti itu. Ada yang khusus untuk membuat seorang calon bisa menang. Ada yang ingin seorang calon harus kalah. Ada juga yang mengajak pemilih datang ke TPS –tanpa mengajak milih siapa pun.
Di Pilpres tahun ini yang paling terkenal adalah organisasi Lincoln Project. Yang didirikan oleh para aktivis Partai Republik. Yang misinya satu: jangan sampai Trump terpilih lagi. Lembaga ini berhasil meraih dana masyarakat hampir Rp 1 triliun. Tepatnya 78 juta dolar. Agar Trump gagal jadi presiden lagi. Agar demokrasi Amerika kembali aman.
Hasilnya, kata seorang tokohnya, “Insya Allah demokrasi pulih kembali di Amerika.” Kata insya Allah kini kian populer di Amerika. Terutama setelah kata itu diucapkan Joe Biden di debat Capres yang lalu.
Waktu itu Trump berjanji akan menyerahkan laporan pajaknya. Sejak dulu ia selalu bilang begitu. Tapi tidak pernah mau memastikan: kapan.
Maka ketika di debat itu Trump mengulangi janjinya untuk menyerahkan laporan pajak itu Biden menyela. Sambil sedikit menyindir: “Kapan? Insya Allah?”(*)
sumber: disway.id