“DKPP Bukan Dinas Kebersihan Pemilu”

Minggu 29-11-2020,10:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Sidang sengketa administrasi pemilihan kepala daerah Kabupaten Kutai Kartanegara baru saja digelar pekan ini. Putusan sidang terhadap dua teradu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum dirilis. DKPP mencatat ada sembilan laporan lain yang sedang dibidik.

nomorsatukaltim.com - Anggota DKPP Alfitra Salam menjelaskan sembilan aduan yang diterima lembaganya terkait pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Pelanggaran itu dicatat DKPP yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu. Namun lembaga ini sangat jarang terlihat dipermukaan. Apalagi di daerah. Bahkan masih banyak orang yang sering salah mengartikan. “Masih banyak yang menganggap DKPP sebagai Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman,” kata Alfitra. Mantan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga RI ini maklum saja. Soalnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini, muncul pada saat pemilu. Bagi Alfitra Salam dan anggota DKPP lainnya, hal ini menjadi tantangan untuk memperkuat organisasi, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik dengan menghasilkan putusan yang berkeadilan. Berbicara soal penyelenggaraan pemilu,  pelanggaran di wilayah Kaltim tergolong kecil jika dibandingkan daerah lain, seperti di Papua, atau Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pelanggaran di Kaltim tahun ini masih berkaitan dengan profesionalitas penyelenggara pemilu di level kabupaten kota. Termasuk Balikpapan dan Kutai Kartanegara. "Di Kukar itu (aduan) terkait bantuan-bantuan sosial. Balikpapan, saya lupa sama sekali," ungkapnya. Di Kukar, aduan datang dari tokoh masyarakat yang melaporkan adanya dugaan penyaluran bantuan yang diyakini sebagai iming-iming kepada masyarakat Kukar, dari oknum penyelenggara pilkada, demi mencari dukungan bagi calon yang diusungnya. "Baru dugaan. Itupun kasusnya sejak Agustus 2020. Waktu itu belum ada pilkada. Kalau Balikpapan, Saya lupa sama sekali," ujar Alfitra sekali lagi. Menurutnya, sepanjang persiapan pilkada serentak tahun 2020, yang banyak dilaporkan ke DKPP adalah calon perorangan yang gagal. Rata-rata melaporkan adanya upaya-upaya dari penyelenggara pemilu untuk menjatuhkan para calon, agar tidak bisa ikut dalam kontestasi pemilihan serentak di tahun ini. Laporan terbanyak kedua adalah terkait netralitas adhoc. Netralitas penyelenggara pilkada di level kecamatan, kelurahan, sampai ke level bawah. Menurutnya, banyaknya laporan yang masuk mencerminkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik terhadap netralitas adhoc. Sangat dikhawatirkan, karena mereka berpotensi menjadi mesin politik calon atau partai. "Sehingga kami minta Bawaslu dan KPU untuk menjaga netralitas di level kecamatan dan kelurahan, agar dijaga secara serius," tegasnya. Ia juga mengaku mendapat laporan tentang adanya penggunaan struktur kekuasaan pada level bawah. Yakni para ketua RT. Hanya saja sayangnya belum ada yang melaporkan. Menurutnya, Ketua RT tidak masuk dalam struktur paling bawah dari hierarki kekuasaan. Namun posisinya yang berada di bawah wilayah administrasi kelurahan dan kecamatan, maka rentan. bisa jadi dipengaruhi. "Kita tidak ingin ada penggunaan kekuasaan, dari level bawah untuk kepentingan calon-calon kepala daerah," katanya. Secara nasional, di tahun 2020, DKPP menerima 341 aduan. Sementara di tahun 2019, ada 517 aduan yang masuk. "Di Kaltim itu termasuk sedikit," ungkapnya. Selama 2019, pihaknya telah melakukan sidang setelah menindaklanjuti aduan yang masuk. Hasilnya, penyelenggara pemilihan umum yang diberhentikan ada 77 orang oknum. Sementara di tahun 2020, sudah ada 26 oknum. "Total semuanya penyelenggara pemilu sejak 2012, ada 652 (oknum yang diberhentikan)," terangnya. Selain diberhentikan, ada juga penyelenggara pemilu yang direhabilitasi nama baiknya. Yakni mereka yang tidak terbukti atas aduan-aduan yang diterima DKPP. Sehingga ada upaya membersihkan nama baik mereka yang tertuduh. Pada tahun 2020, ada 200 orang yang direhabilitasi. Dan di tahun sebelumnya ada 808. "Direhabilitasi karena tidak terbukti melakukan kesalahan. Ternyata fitnah. Ternyata pengadunya tidak profesional mengadukan secara independen," imbuhnya. (ryn/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait