Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (2)

Kamis 26-11-2020,13:24 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Bertahun-tahun setelah kemenangan Chavez di pemilihan presiden, Caldera menjelaskan kesalahannya dengan sederhana, “Tak seorang pun berpikir bahwa Mr. Chavez berpeluang menjadi presiden, sekecil apa pun.”

Levitsky dan Ziblatt menjelaskan, Chavez dipilih oleh mayoritas pemilih. Tapi tak banyak bukti bahwa orang-orang Venezuela mencari pemimpin bertangan besi. Menurut survei Latinobarometro pada 1998, sebanyak 60 persen responden mengaku demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik.

MENGENALI TOKOH OTORITER

Calon demagog, kata Levitsky dan Ziblatt, ada di semua negara demokrasi. Namun di beberapa negara demokrasi, para pemimpin politik memperhatikan tanda-tanda peringatan dan mengambil langkah-langkah antisipatif. Agar tokoh-tokoh otoriter tetap ada di pinggir. “Jauh dari pusat kekuasaan,” sebut keduanya.

Saat menghadapi demagog atau ekstremis, para pemimpin politik bersama-sama mengisolasi dan mengalahkannya. Walau tanggapan massa terhadap bujukan ekstremis itu penting, lanjut Levitsky dan Ziblatt, yang lebih penting adalah apakah elite politik, dan terutama partai, bertindak sebagai filter. Sederhananya, partai politik adalah penjaga gerbang demokrasi.

Levitsky dan Ziblatt kemudian mengajukan pertanyaan penting, “Bagaimana caranya mengenali otoritarianisme pada politisi yang tak punya riwayat anti-demokrasi yang jelas?” Lalu keduanya mengutip pendapat ahli ilmu politik terkemuka yang lahir di Jerman, Juan Linz.

Dalam bukunya yang berjudul The Breakdown of Democratic Regimes yang terbit tahun 1978, Linz menyoroti peran politikus. Juga menunjukkan bagaimana perilaku mereka bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Berdasarkan buku Linz pula Levitsky dan Ziblatt mengembangkan empat tanda sebagai peringatan untuk mengenali tokoh otoriter.

Empat tanda tersebut meliputi: 1) penolakan (atau komitmen lemah) aturan main demokratis, 2) menyangkal legitimasi lawan politik, 3) toleransi atau anjuran kekerasan, atau 4) kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Levitsky dan Ziblatt mengatakan, politikus yang memenuhi satu saja syarat tersebut sudah mengkhawatirkan. Mereka menyebut, kandidat yang cenderung memenuhi tanda-tanda tersebut adalah “orang luar pemerintahan” yang populis. Populis adalah politikus anti-kemapanan. Tokoh yang mengaku mewakili “rakyat”. Lalu mengobarkan perang terhadap apa yang mereka gambarkan sebagai elite korup yang bersekongkol.

Para tokoh populis cenderung menyangkal legitimasi partai-partai mapan. Partai dianggap tak demokratis. Bahkan tak patriotik. Mereka menyampaikan kepada pemilih, sistem yang ada bukan benar-benar demokrasi. Melainkan telah dibajak, dikorup, atau diakali elite. “Dan mereka berjanji mau mengubur elite lalu mengembalikan kekuasaan kepada rakyat,” sebut Levitsky dan Ziblatt.

MENJAGA DEMOKRASI

Menurut Levitsky dan Ziblatt, menjaga para politikus otoriter tak berkuasa itu lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Dalam beberapa negara demokrasi, aturan tak melarang partai atau siapa pun untuk mencalonkan diri sebagai kepala negara.

Keduanya tak menyarankan aturan demikian diterapkan di negara demokrasi. Tanggung jawab menyaring agar tokoh otoriter tak berkuasa justru terletak di partai politik dan pemimpin partai. Mereka disebut Levitsky dan Ziblatt sebagai para penjaga pintu demokrasi.

Bila ingin berhasil menjaga demokrasi, partai-partai politik arus utama harus mengisolasi dan mengalahkan kekuatan-kekuatan ekstremis. Ahli ilmu politik, Nancy Bermeo menyarankan partai-partai politik “menjaga jarak” (distancing) dengan tokoh ekstremis.

Levitsky dan Ziblatt memberikan saran: pertama, partai-partai bisa mencegah tokoh otoriter masuk daftar calon partai. Artinya, partai-partai harus menolak godaan mencalonkan ekstremis. Biarpun mereka bisa saja menambah suara di pemilu.

Kedua, partai bisa membasmi ekstremis di tingkat akar rumputnya. Ketiga, partai-partai pro-demokrasi bisa menghindari segala persekutuan dengan partai atau calon anti-demokrasi. Seperti yang ditulis Linz, kerusakan demokrasi bisa terjadi saat satu partai, apalagi yang berpotensi berkuasa, lebih dekat pada ekstremis.

Keempat, partai-partai pro-demokrasi bisa bertindak sistematis untuk mengisolasi ekstremis. Bukan sebaliknya memberi legitimasi. Artinya, para politikus harus menghindari tindakan yang membantu “menormalkan” atau memberi penghormatan publik kepada tokoh otoriter.

Kelima, sewaktu ekstremis bangkit sebagai kandidat serius atau kuat di pemilu, partai-partai arus utama mesti membentuk persekutuan untuk mengalahkan calon yang berlatar belakang ekstremis tersebut.

Tags :
Kategori :

Terkait