Miliki Jiwa Keibuan dan Merakyat

Kamis 12-11-2020,10:18 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

Prosesi pemakaman dimulai dari menyauk (menimba) air dengan pamulu yang terbuat dari tembaga. Dilakukan sebanyak 3 kali putaran, sebelum jenazah Aji Putri Nural Aini (110), dimasukkan ke Ringgungan. Peti besar. Itu, ritual adat Kesultanan Gunung Tabur.

Renata Andini, Gunung Tabur PROSES pemakaman, Rabu (11/11), dibalut rasa duka mendalam. Terutama saat mengantarkan putri kedua Sultan Achmad Maulana Muhammad Chalifatullah Jalaluddin, Raja ke-8 Gunung Tabur pada 1921-1952, untuk dikebumikan di halaman Museum Batiwakkal. Tepat di makam raja beserta keturunan kesultanan Gunung Tabur. Tidak hanya keturunan maupun kerabat Kesultanan Gunung Tabur saja. Namun seluruh masyarakat di Bumi Batiwakkal, merasa sangat kehilangan. Pasalnya, sosok putri yang dilahirkan dari rahim Adji Ratu Rabba, bangsawan dari Kalimantan Selatan, keibuan dan sangat dekat dengan saudara-saudaranya. Bahkan menyatu dengan masyarakat tanpa memandang gelar kebangsawanan. Padahal, ayahnya terkenal sangat tegas dalam mendidik putra dan putrinya. Namun, sikap Putri Nural tetap santun. Bijaksana memberikan penuturan. Tidak kasar, meskipun orang berbuat salah. “Putri tidak sungkan berbagi pengetahuan dan gampang bergaul orangnya, tidak segan mengajak orang lain berbicara,” ungkap Pemangku Adat Kesultanan Gunung Tabur, Adji Bachrul Hadie kepada Disway Berau, Rabu (11/11). Lanjut Bachrul, Putri Nural menjadi saksi fase-fase sejarah bangsa. Terutama penjajahan Belanda, Jepang hingga Merdeka. Bahkan, orde lama hingga masa reformasi di Bumi Batiwakkal. Hidup zaman penjajahan, membuat Putri Nural fasih dalam berbahasa Belanda. Belajar bersama dengan sang adik, Aji Kannik Berau (AKB) Sanipah. Mereka saudara yang sangat akrab, dan mendapatkan hak belajar dan dididik oleh guru-guru dari Belanda. Sebagai bangsawan, dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas. Bachrul mengakui, sosok Putri Nural membuat banyak orang sangat peduli dan menarik. Tetapi, sang Ayah belum memperbolehkan sang putri menikah, jika calon suami bukan berasal dari keluarga bangsawan. Atau keturunan darah biru. “Yang paling saya ingat tentu sosok keibuannya. Dia senang sekali mengingatkan kami untuk mejaga mandat dan bekerja dengan jujur, terutama menghormati orang lain,” jelasnya. Putri Nural memiliki hobi bermain musik, sama seperti saudara lainnya. Bakat yang diajarkan sang ayah. Dia paling mahir bermain piano. Itulah yang sering membuat suasana hatinya senang. Selain itu, hidup teratur dan sangat pembersih, menjadikan Putri Nural tidak sembarangan mengonsumsi makanan sejak muda. Cenderung untuk mengolah makanan direbus terlebih dulu. “Selama 6 tahun terakhir, sang putri tidak lagi tinggal di kawasan kesultanan. Namun dirawat keluarga kesultanan di Jalan Mawar, oleh Hj Istiami,” tuturnya. Sebelum wafat, selama seminggu terakhir, Putri Nural dalam kondisi sangat tenang. Meski kerap memanggil nama sang ayah, ibu dan ketiga saudara lainnya. Hingga bertepatan pada Hari Pahlawan Nasional, Putri Nural menghembuskan napas terakhir. “Jadi wafat bukan karena penyakit yang membahayakan, hanya sudah waktunya berpulang di usianya yang cukup panjang,” pungkasnya. */app
Tags :
Kategori :

Terkait