Momentum Transisi Energi Indonesia

Sabtu 07-11-2020,07:18 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Listrik diharapkan dapat meningkatkan konsumsi energi secara keseluruhan. Mengingat penyediaan tenaga listrik yang bersih ke sektor-sektor seperti transportasi sangat penting untuk menekan kadar karbon di udara.

Menurut IEA, tenaga surya tetap menjadi pilihan yang hemat biaya. Bahkan dalam skenario saat pandemi berlarut-larut. Di mana pandemi menyebabkan kerusakan ekonomi yang berkepanjangan dan mengantarkan tingkat pertumbuhan permintaan energi terendah sejak tahun 1930-an.

“Jika pemerintah dan investor meningkatkan upaya energi bersih mereka, pertumbuhan tenaga surya dan angin akan menjadi lebih spektakuler dan sangat mendorong untuk mengatasi tantangan iklim dunia,” kata Birol.

Perusahaan minyak seperti BP dan Royal Dutch Shell (RDSA) telah meluncurkan perubahan strategis utama menuju energi rendah karbon dan menjadi tanda perubahan besar pada pasar energi global.

ENERGI FOSIL

Menurut laporan IEA, berkurangnya aktivitas ekonomi dan permintaan listrik akibat pandemi COVID-19 telah menurunkan permintaan batu bara global. IEA memperkirakan 275 gigawatt kapasitas berbahan bakar batu bara akan dihentikan pada 2025.

Itu sekitar 13 persen dari total kapasitas batu bara pada 2019. Jika ekonomi global pulih tahun depan, pangsa batu bara turun dari 37 persen menjadi 28 persen pada tahun 2030.

“Peningkatan energi terbarukan, dikombinasikan dengan gas alam murah dan kebijakan penghapusan batu bara, berarti permintaan batu bara di negara maju turun hampir setengahnya hingga 2030,” kata IEA.

IEA juga mengungkap pertumbuhan penggunaan batu bara di negara berkembang di Asia, seperti India, jauh lebih rendah. Penurunan juga terjadi pada prospek minyak. BP memperkirakan permintaan minyak mungkin tidak akan pernah kembali ke level tertinggi 2019 akibat pandemi COVID-19.

KERJA SAMA

Wakil Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus Azis Nurwahyudi mengatakan, Indonesia dan Rusia memiliki potensi besar di sektor energi. Karena didukung karakteristik konsumsi energi yang mirip.

Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Ngurah Swajaya mengatakan perlunya kolaborasi untuk mendorong diversifikasi pasokan energi sebagai kunci ketahanan dan kemandirian energi nasional. Dalam menghadapi ancaman pandemi COVID-19 dan kemungkinan disrupsi lain di masa mendatang.

Selama ini, pasokan energi di Indonesia dan Rusia memang masih didominasi oleh energi fosil. Dengan demikian, Rusia dinilai jadi mitra yang tepat bagi Indonesia untuk pengembangan sumber energi alternatif dan energi terbarukan.

“Penggunaan energi fosil yakni migas dan batu bara mencakup 69 persen konsumsi energi di Indonesia. Hal ini serupa dengan Rusia. Di mana 7 persen konsumsi energi berasal dari gas dan batu bara,” ujar Ngurah dikutip Antara, Selasa (22/9).

Kepala IIPC London Aditia Prasta menyatakan, Indonesia memiliki kepentingan dalam pengembangan energi terbarukan. Indonesia saat ini memiliki target 23 persen energi baru dan terbarukan pada tahun 2025. Sesuai dengan amanat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Di sisi lain, Pakar Energi Indonesia Toronata Tambun menyatakan, di masa mendatang Indonesia masih akan memiliki kebutuhan yang besar pada energi fosil. Sehingga tidak bisa hanya bergantung pada EBT.

“Para pelaku usaha Rusia di bidang energi harus memandang ini sebagai opportunity untuk melakukan investasi di Indonesia. Bukan hanya untuk energi baru dan terbarukan. Tetapi juga pengembangan energi fosil menggunakan clean technology,” ujarnya.

Direktur MKS Group Maxim Zargonov sekaligus Presiden Asosiasi Pembangkit Tenaga Listrik Rusia memperkenalkan perusahaannya yang bergerak di sektor energi dan berpeluang untuk menjadi mitra bagi pengusaha-pengusaha sektor energi di Indonesia. MKS Group telah memiliki beberapa cabang. Di antaranya di Jerman, Kazakhstan dan Uni Emirat Arab.

Tags :
Kategori :

Terkait