Berebut Kuasa di Laut China Selatan

Sabtu 07-11-2020,07:04 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Jakarta, nomorsatukaltim.com – Dikutip dari matamatapolitik.com, pada 12 September, perselisihan baru terjadi antara Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia dan China Coast Guard (CCG). Dalam perselisihan itu, kapal Bakamla KN Pulau Nipah-321 mengidentifikasi kapal CCG-5402 milik China, yang berlayar di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Menanggapi pelanggaran batas tersebut, Bakamla kemudian mencegat dan menjalin komunikasi radio dengan CCG-5402.

Insiden itu mengakibatkan perselisihan diplomatik bilateral, ketika kapal China tersebut menegaskan mereka memiliki “hak untuk berpatroli” di dalam klaim “sembilan garis putus” China. Insiden terbaru itu penting. Karena memancarkan sinyal yang lebih kuat: masalah bilateral tidak lagi semata-mata tentang hukum atas hak penangkapan ikan di Laut China Selatan.

Sejak 2010, Indonesia telah terlibat setidaknya dalam tujuh bentrokan maritim dengan kapal CCG. Di mana pihak Indonesia telah berupaya mencegah penangkapan ikan ilegal oleh China di ZEE Indonesia. Misalnya, pada Januari 2020, Bakamla melihat sekitar 50 kapal penangkap ikan China menangkap ikan secara ilegal di Natuna Besar. Ditemani oleh dua kapal CCG dan satu fregat.

Menyusul protes resmi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengklaim nelayan China bebas melakukan aktivitas di “tempat penangkapan ikan tradisional” mereka. Tidak ada yang akan mengubah “fakta objektif bahwa China memiliki hak” atas perairan yang relevan.

Insiden September berbeda secara kualitatif, CCG memasuki ZEE Indonesia tanpa kehadiran kapal penangkap ikan China. Dalam insiden masa lalu, setidaknya yang dilaporkan ke publik, kapal CCG biasanya hadir untuk melindungi kapal penangkap ikan China yang melakukan penangkapan ikan ilegal di ZEE Indonesia.

Dilansir dari The Diplomat, analis RSIS Tiola dan Dedi Dinarto mencatat, ada dua kemungkinan penjelasan untuk perkembangan ini. Di satu sisi, insiden tersebut bisa menjadi salah satu dari sekian banyak serangan maritim China yang tidak dilaporkan atau tidak terdeteksi hingga kegiatan patroli yang lebih intensif dilakukan. Berasal dari Operasi Cegah Tangkal baru-baru ini. Dipimpin oleh Bakamla pada awal September.

Atau, ini juga bisa menandai eskalasi signifikan dari “strategi zona abu-abu China” untuk menegaskan haknya secara sepihak. Dalam hal ini dengan penempatan kapal CCG ke daerah tersebut. Kemungkinan terakhir lebih mungkin. Karena fakta bahwa setelah menerima peringatan Bakamla, kapal China tersebut menjawab, mereka “memiliki hak untuk berpatroli” di dalam “garis sembilan putus”.

Terlepas dari sifat spekulatif dari apa yang sebenarnya terjadi, dan niat sebenarnya di balik langkah China, masalah tersebut tampaknya semakin menjadi salah satu batas maritim yang diperebutkan. Artinya Pemerintah Indonesia harus siap untuk menanggapi dengan cara yang sama di masa depan.

Memang, dalam lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia ragu-ragu untuk menyebut masalah ini sebagai sengketa perbatasan tradisional. Indonesia lebih memilih untuk melihat bentrokan maritim antara Bakamla dan CCG di Laut China Selatan sebagai “insiden penangkapan ikan”. Ini bisa dimaklumi, kata Tiola dan Dinarto, mengingat posisi Indonesia sebagai negara non-penuntut di Laut China Selatan. Posisi yang telah diambil sejak tahun 1990-an.

Selain itu, tindakan ini bijaksana. Pasalnya, ada dominasi ekonomi dan militer China di wilayah tersebut. Akibatnya, pada Maret 2016, setelah kapal Penjaga Pantai China mencegah satuan tugas Indonesia menarik kapal penangkap ikan China yang ditemukan beroperasi secara ilegal di dalam ZEE Indonesia, pemerintah menafsirkan insiden tersebut sebagai ancaman terkait penangkapan ikan secara ilegal daripada sengketa maritim di Laut China Selatan.

Pemerintah semakin menggandakan dimensi penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) melalui pembentukan Satgas Pemberantasan Illegal Fishing bernama Satgas 115 pada 2015. Unit ad hoc ini mempelopori kebijakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk meledakkan kapal penangkap ikan yang disita.

Satgas 115 memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengatur sumber daya dari instansi terkait lainnya untuk memerangi IUU Fishing, termasuk Bakamla, TNI AL, dan Polri. Satgas tersebut sangat aktif. Dalam operasi pemberantasan IUU Fishing. Termasuk menangkap kapal penangkap ikan asing di perairan Natuna Besar. Kebijakan ini telah berubah di bawah menteri baru Edhy Prabowo, yang memilih untuk menyumbangkan kapal yang disita ke nelayan lokal daripada menghancurkannya.

Di tingkat operasional, Pemerintah Indonesia juga telah meningkatkan kapasitas penangkal Bakamla. Melalui pengadaan dua puluh senapan mesin SM-5 berukuran 12,7 mm dari PT Pindad.

Sebelumnya, kapal Bakamla dilarang menggunakan alat berat militer. Bakamla juga telah mengonfirmasi pengadaan sistem senjata kendali jarak jauh (RWS) 30 mm. Yang akan membantu memperkuat kapasitas pertahanan diri dari empat kapal patrolinya.

Perubahan postur ini penting. Karena sebelumnya Bakamla tidak memiliki kemampuan pertahanan diri. Dibandingkan dengan penjaga pantai negara tetangga. Termasuk Malaysia dan Vietnam. Apalagi China. Sementara persenjataan kapal Bakamla tetap penting. Latihan interoperabilitas dengan Angkatan Laut Indonesia juga harus dianggap penting. Dalam rangka meningkatkan operasi konjungsi dan kemampuan kesadaran situasional.

Apalagi pemerintahan Jokowi belakangan mendorong Bakamla menjadi cikal bakal penjaga pantai nasional. Hingga saat ini, kewenangan Bakamla masih sebatas sebagai “koordinator”. Yang mengelola urusan keamanan laut dengan instansi dan lembaga terkait. Beberapa di antaranya memiliki kewenangan yang tumpang tindih.

Omnibus Law tentang keamanan maritim yang akan datang, yang saat ini sedang dalam proses penyusunan, diharapkan dapat menetapkan Bakamla sebagai satu-satunya penjaga pantai di Indonesia. Jika disahkan, undang-undang baru tersebut akan memperkuat kewenangan penegakan hukum Bakamla dan memperlancar koordinasi dengan TNI AL. (mmt/qn)

Tags :
Kategori :

Terkait