Sawit Stabil

Jumat 06-11-2020,09:52 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

TANJUNG REDEB, DISWAY - Di tengah lesunya sektor unggulan seperti batu bara di Bumi Batiwakkal, justru sawit mampu bertahan di tengah pandemik COVID-19.

Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Dinas Perkebunan (Disbun) Berau, Mashadi mengakui, bahwa perkebunan sawit tidak terdampak besar Pandemik. Pasalnya, pasar sawit tidak hanya luar negeri, melainkan dalam negeri pula. Apalagi, Crude Palm Oil (CPO) merupakan komoditas yang selalu dibutuhkan dalam konsumsi masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Yang pasti, ditegaskannya, CPO merupakan komoditas yang tetap potensial. Di Berau sendiri, sudah ada 11 industri pengolahan CPO, meski hanya satu perusahaan yang langsung melakukan ekspor. Sebab perusahaan tersebut berasal dari modal Asing. “Potensi turunan minyak sawit ini banyak, bisa untuk minyak makan, mentega, kosmetik. Turunan CPO kedepannya sudah digadang-gadang untuk penghasil biodiesel,” jelasnya kepada Disway Berau, Kamis (5/11). Meski demikian, disebutkan Mashadi, produksi kelapa sawit masih fluktuatif dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan dan pekerja. Seperti di tahun 2016 Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan sebanyak 2.442.286.870,5 kilogram (Kg) dari lahan seluas 241.071 hektare. Tahun 2017 adanya penurunan produksi TBS sebanyak 1.512.002.830,0 Kg dari luas lahan 126.010 hektare. Kemudian, tahun 2018, TBS meningkat sebanyak 2.007.823.370 Kg dari luas lahan 126.071 hektare dan kembali meningkat pada tahun 2019 produksi TBS yaitu 2.014.320.000 Kg dari luas lahan 135.090 hektare. Sementara, produksi tahun 2020 masih dalam perhitungan. Untuk produksi CPO, pada tahun 2018 sebesar 382.227 ton dengan Palm Karnel (PK) atau inti sawit sebanyak 61.169.000 kg. Kemudian meningkat di tahun 2019 produksi CPO sebesar 503.135 ton dengan hasil PK sebesar 80.833.000 kg. Rerata dalam dua tahun terakhir, setiap bulannya CPO yang dihasilkan mulai dari 27.000.000-49.000.000 kg. CPO dihasilkan dari 11 perusahaan pengolahan langsung. Mashadi mengatakan, pengolahan CPO sendiri dapat meningkat seiring dengan berkembangnya industri pengolahan langsung, besaran tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan, serta minat petani. Selama ini hasil sawit tersebut berdasarkan Perkebunan Besar Swasta (PBS), Plasma dan Swadaya. Sejauh ini, petani swadaya memang memperjualbelikan hasilnya dengan pihak swasta. Selama swadaya dan swasta membuat surat perjanjian kerja maka akan mengikuti harga pembelian TBS yang sudah diatur dalam rapat penetapan harga pembelian TBS Sawit dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). “Harga itu per bulannya berubah, kami dari Berau ini mempunyai tim. Tapi, semua se Kaltim ikut menentukan harga bersama,” jelasnya. Mengacu pada harga di September 2020, Harga CPO Rp 8.284 per liter, PK seharga Rp 3.534 per Kg dan TBS paling tertinggi yaitu Rp 1.634 per kg. Diungkapkannya, semakin lama hasil sawit maka semakin mahal. Untuk umur tanam minimal 3 tahun dihargai Rp 1.441 per kg. Selama ini, harga TBS tidak pernah mencapai Rp 2.000 per kg, namun pernah di bawah Rp 1.000. Sedang CPO paling rendah pernah mencapai Rp 6.000 per liter. Industri sawit diperkirakan akan terus berkembang melihat pemanfaatan yang beraneka ragam. Walaupun kerap kali, sektor sawit dianggap sebagai industri yang merusak lingkungan, seperti kebakaran hutan hingga penggundulan hutan, serta pencemaran lingkungan dan membuat kawasan kekeringan. “Hal itu kan sudah berita lama, makanya untuk pengolahan memang harus dipantau dengan benar bersama lintas sektor terkait,” tegasnya. Selama ini, minat petani juga masih besar, walaupun ada saja petani yang belum memiliki mitra biasanya memilih untuk menjual harga produksi per kilogramnya jauh di bawah harga yang ditentukan. Diharapkan petani juga bisa bekerja sama untuk meningkatkan kemandirian. Pada tahun 2020, pihaknya mengharapkan adanya peningkatan produksi, meski belum ada angka target pasti yang dipaparkan. Kedepan jangka panjangnya, pihaknya berharap pengolahan CPO tidak harus dikirim ke luar Berau, maupun luar Indonesia, tetapi harus bisa memanfaatkan SDA dan kelengkapan bahan lainnya untuk pengolahan langsung di Berau. Mashadi memberikan contoh seperti pengolahan Margarin mandiri. “Yang pasti, selama pandemik, memang sawit ini masih eksis, begitu juga dengan hasil tiap tahunya yang stabil, tidak ada yang terlalu rendah. Dan rencana jangka panjangnya memang seharusnya bisa terlaksana,” ungkapnya. Sawit diperkirakan dapat menjadi penopang ekonomi Berau, menurut data Badan Pusat Statistik, sektor perkebunan menjadi sektor ke dua yang berkontribusi sebesar 10,70 persen pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan sawit sebagai komoditas utama. Sedangkan 60 persen masih berasal dari sektor unggulan yaitu batu bara. Dalam 4 tahun terakhir, sektor perkebunan stabil dalam PDRB dengan berkisar di antara 10 hingga 12 persen. Pada tahun 2015 sebesar 10,89 persen, 2016 sebesar 11,28 persen, 2017 sebesar 10,85 persen, 2018 sebesar 10,99 persen dan 2019 sebesar 10,70 persen. *RAP/APP    
Tags :
Kategori :

Terkait