Meskipun penuh dengan asumsi. Tapi ini sungguh masuk akal. Gerakan literasi yang kemudian berujung pada terwujudnya Kampung Literasi di Desa Pela kelak akan menjadi model dan percontohan bagi desa-desa lainnya di Kukar. Untuk membangun desanya melalui sentuhan gerakan literasi.
Hingga hari ini, Desa Pela sejatinya telah bergerak. Pemerintah desa dan Pokdarwis telah menunjukkan hasil bagus terkait pembangunan pariwisata. Ini tentu tak lepas dari figur-figur penting seperti Pak Kades, Pak Rojali dan Ketua Pokdarwis Pak Alimin Azarbaijan. Mereka adalah figure-figur yang terliterasi menurut kadarnya masing-masing. Mereka telah sampai pada level tertinggi tentang literasi. Yaitu “melakukan” atau “bergerak”. Tentu saja harus dipahami dalam konteks “kadar” masing-masing.
Lalu, bagaimana jika gerakan yang mereka lakukan selama ini “disempurnakan” dengan gerakan literasi yang disampaikan di atas? Apakah ini berpeluang untuk menghasilkan sesuatu yang lebih dahsyat?
Di atas kertas, jawabannya adalah sangat mungkin. Kenyataannya, tentu kita harus melaksanakannya terlebih dahulu. Untuk bisa memberikan penilaian.
Apakah cerita di atas cukup memberikan penjelasan tentang Pelangi Literasi dan alasan pentingnya, mengapa kegiatan ini perlu ada? Kalau belum, akan aku tambahkan lagi alasan lainnya.
Sejak tahun 2016, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah membentuk apa yang disebut sebagai Gerakan Literasi Nasional (GLN). Gerakan inilah juga yang menginspirasi lahirnya Gerakan Literasi Kutai (GLK) tahun 2017 lalu. Dari sini kita bisa pastikan bahwa urusan literasi itu sesungguhnya telah menjadi urusan pemerintahan pula.
GLN ini terus menggeliat hingga sekarang. Dengan tujuan yang sangat baik. Tapi mengapa gerakan ini tidak populer dan tidak “berasa” di masyarakat kita? Aku pun tak tau persis. Menurutku, lebih karena strateginya yang kurang tepat. GLN cenderung top down. Tidak membumi. Tidak masalah sebenarnya apabila sebuah gerakan itu lahir dari atas (pemerintah). Tapi ia harus ditumbuhkan di tengah masyarakat. Sebuah gerakan harusnya memiliki akar yang kuat di masyarakat (grassroot).
GERAKAN MASYARAKAT
GLK dan Pelangi Literasi itu berbeda. GLK tidak lahir dari pemerintah. Tapi diinisiasi dan digerakkan oleh masyarakat secara mandiri. GLK punya konsep dan strategi pergerakan sendiri. Meskipun tetap mengacu pada konsep besar dari GLN.
Pelangi Literasi juga demikian. Diinisiasi dan dilaksanakan oleh GLK secara mandiri. Bekerja sama dengan komunitas-komunitas lain yang sejalan.
Kalau kemudian Pelangi Literasi berkolaborasi atau diakomodir sebagai kegiatan oleh pemerintah daerah, maka itulah bentuk dukungan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah daerah. Gerakan literasi itu sesungguhnya memang tugas dan tanggung jawabnya pemerintah. Baik pusat maupun daerah.
Lebih jauh lagi, sejak tahun 2020 pemerintah pusat semakin memandang penting literasi. Aku jadi ingat saat menghadiri Rakornas Perpustakaan awal tahun 2020. Jelas sekali terdengar bagaimana Mendagri menyebutkan, setiap desa harus memiliki perpustakaan dan wajib mendukung pengelolaan perpustakaan melalui Dana Desa (ADD). Bahkan Mendagri akan membuat regulasi khusus berkaitan dengan ini.
Dengan nada yang sama, pihak Bappenas mengatakan, urusan literasi akan menjadi salah satu prioritas pada RPJMN tahun 2020-2024.
Sejalan dengan misi Perpusnas untuk terus mendorong upaya optimalisasi peran perpustakaan bagi masyarakat luas dalam bentuk kegiatan berbasis inklusi sosial, Kemendagri dan Bappenas beserta Perpusnas sepakat untuk membesarkan jargon strategis: Literasi Untuk Kesejahteraan.
Pelangi Literasi adalah wujud kecil yang nyata dari aplikasi program inklusi sosial. Yang mengedepankan kolaborasi antara penyediaan bahan bacaan dan pelatihan keterampilan yang mengarah pada peningkatan kompetensi secara khusus. Pelangi Literasi juga wujud nyata dari jargon strategis “Literasi Untuk Kesejahteraan”. Meskipun berskala kecil.
Melalui upaya menggugah minat baca, penyediaan fasilitas baca, mewujudkan budaya baca, pelatihan keterampilan khusus, dan hal-hal lain yang berkaitan, maka Pelangi Literasi sejatinya telah berkontribusi mendukung program pemerintah. Tentang peningkatan kualitas SDM berbasis inklusi sosial dan membesarkan jargon strategis “Literasi Untuk Kesejahteraan”.
Apakah cerita di atas sudah cukup untuk menjadi alasan mengapa gerakan literasi dan Pelangi Literasi itu memang harus ada dan terus digelorakan? Kalau belum, nanti aku tambahkan lagi alasan-alasannya. (*Penggiat Gerakan Literasi Kutai)