Vietnam, Macan Baru di Asia Tenggara

Sabtu 31-10-2020,07:02 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Negara lain yang disebut Bhima kebal dari resesi ekonomi adalah Tiongkok. Padahal, Negeri Tirai Bambu sempat menjadi episentrum COVID-19. Namun, usai menutup wilayah Kota Wuhan selama 75 hari untuk mencegah penularan corona, perekonomian Tiongkok bangkit. 

“Padahal, GDP di kuartal pertamanya sudah minus 6,8 persen. Tetapi di kuartal II, GDP mereka positif 3,2 persen,” ungkapnya. 

Vietnam merupakan contoh nyata penanganan pandemi COVID-19 secara langsung berdampak ke perekonomiannya.

SURGA INVESTASI

Meski kontroversial karena buruh dibayar rendah, Vietnam cerdas mengikuti langkah China yang menjadi tempat penanaman modal berbiaya murah. Pengalaman perusahaan alat kesehatan Diversatek milik Jonathan Moreno menunjukkan Vietnam bisa diandalkan sebagai tempat berinvestasi.

Saat mencari lokasi untuk pabrik tujuh tahun lalu, Vietnam dipilih hanya karena Moreno tak punya pilihan lain. Eropa dan Amerika terlalu mahal. India terlalu rumit. Dan China punya persoalan dengan hak kekayaan intelektual.

Sekarang, situasi pabrik sudah mantap, dan ia tak ragu untuk melebarkan pabriknya. “Ke belakang, ke situ, dan ke situ,” kata Moreno pada The Economist, sambil menunjuk ke beberapa penjuru.

Penanaman modal asing langsung di Vietnam juga naik terus. Menurut Bank Dunia, pada 2015, investasi mencapai $ 11,8 miliar. The Economist mencatat kesepakatan-kesepakatan investasi mencapai $ 11,3 miliar pada paruh pertama 2016. Selain faktor kesepakatan pasar bebas, Vietnam berhasil memadukan beberapa hal secara tepat. Sehingga menghasilkan pertumbuhan cepat dan berkelanjutan.

Hambatan-hambatan perdagangan dilonggarkan. Itulah sebabnya pada 2015, ekspor dan impor Vietnam masing-masing menyumbang hampir 90 persen persen dari PDB. Selain itu, pemerintahan Vietnam juga mendorong kompetisi. Setiap daerah punya kekhasan. Dalam memutar roda rumah tangganya. Kota Ho Chi Minh maju dengan tempat-tempat industri. Danang menjadi kota teknologi tinggi. Sedangkan bagian utara menampung pabrik-pabrik dari China.

Tapi di atas semuanya, The Economist menunjuk, faktor geografi sebagai hal paling menentukan. Tak ada negara lain yang lebih dekat dengan pusat manufaktur di selatan China. Dengan dihubungkan darat. Sekaligus laut. Ketika upah buruh di China naik, pengganti paling masuk akal untuk pemindahan pabrik paling murah adalah Vietnam.

Vietnam juga diuntungkan oleh demografi. Umur rata-rata penduduk Vietnam adalah 30,7 tahun. Sedangkan China 36. Ini juga penting: 70 persen orang Vietnam masih tinggal di pedesaan. Beda dengan China yang persentasenya hanya 44 persen. Tingginya angka orang pedesaan biasanya akan menekan angka upah, dan Vietnam akan mempunyai waktu membangun industri-industri padat karya.

Selain muda, pekerja Vietnam juga terampil. Belanja negara untuk sektor pendidikan mencapai 6,3 persen dari PDB: 2 persen lebih tinggi dari rata-rata negara-negara berpendapatan kecil-menengah. Belanja negara benar-benar difokuskan untuk meningkatkan penerimaan kerja dan memastikan standar minimum keterampilan.

TANTANGAN KE DEPAN

Tapi Vietnam juga menghadapi banyak tantangan yang sepadan dengan kebersemiannya. Ekses spekulatif di masa lalu mendorong bubble properti. Ia meledak pada 2011, dan membebani bank dengan kredit macet. Vietnam pun lambat menyuntikkan modal-modal baru pada bank-bank itu dan tak memodernisasi cara kerjanya.

Dari keseluruhan investasi asing, hanya 36 persennya yang terintegrasi dengan industri ekspor. Sedangkan di Malaysia dan Thailand hampir 60 persen. Samsung misalnya berencana untuk investasi sebesar $ 3 miliar. Untuk memproduksi ponsel. Tapi pemasok dalam negeri memproduksinya hanya dilengkapi plastik pembungkus. Pemerintah, menurut Director of the Fulbright Economics Teaching Program di Kota Ho Chi Minh, Vi Thanh Tu Anh, seharusnya membangun rantai pasokan. Misalnya melatih perusahaan produksi tekstil. Untuk mendukung sektor pakaian jadi.

Selain optimisme, Vietnam juga harus hati-hati. Seperti Indonesia, Vietnam pun menghadapi masalah defisit fiskal yang besarnya lebih dari 6 persen dari PDB selama lima tahun berturut-turut. Pemerintah tertekan, dan pada 2015 mereka menjual lebih dari 200 saham BUMN.

Tags :
Kategori :

Terkait