Para Sinuhun di Kota Ulin mulai jengah. Warganya menganggap mereka seperti ATM berjalan.
Saban hari, saban waktu, permintaan bantuan tak ada habis-habisnya. Biaya hidup mereka semakin tinggi. Gaji sebagai sinuhun tentu tak bisa menutupi. Belum lagi urusan politik. Investasinya kelewat tinggi. Sebagian Sinuhun menyusun rencana. Namun simalakama datang, rencana tersebut justru menjerumuskan mereka ke dalam jerat hukum.
---------------
HAMPIR 10 menit sudah Kanjeng Sinuhun menatap jalan depan rumahnya. Dari balik tirai warna putih di pojok kamar pribadinya. Lantai dua rumah gedong. Persis di perempatan tengah Kota Ulin—sebuah kota urban di Negeri Antahberantah. Lalu lalang kendaraan solah membimbing pikirannya menjelajah.
Bagaimana bisa? Ia tak habis pikir. Bagaimana cara keluar dari tuduhan yang menyeret namanya itu? Dari amuk warga yang beberapa kali berunjuk rasa. Dari dugaan Kaum Hermes—sang pembawa kabar, yang kerap kali menyebut-nyebut namanya.
Kanjeng Sinuhun orang terpandang di kota itu. Setidaknya para pendukungnya banyak. Tak salah jika ia menjadi sinuhun. Dipilih rakyatnya. Kendati untuk meraih simpati rakyatnya itu harus menempuh jalan berat. Ia harus rela mengorbankan sebagian kekayaannya.
Tapi, persoalan ini benar-benar membelenggunya. Karena bukan tidak mungkin, rakyat yang selama ini mengelu-elukannya berbalik arah. Antipati dan mencabut dukungan sebagai sinuhun. Tak hanya itu, yang paling penting adalah rasa ‘malu’. Bagaimana menutupinya?
Terlebih lagi ketika sudah dianggap bersalah. Kemudian dipenjara. Didenda dan disita sisa harta bendanya. Bagaimana nasib Sri Sulastri—Istri yang ikut terpukul akibat infomasi miring itu. Lalu, bagaimana dengan nasib kedua anak perempuannya. Yang juga akan terseret nama sang ayah.
Ya, tidak ada acara lain. Pikirnya. Ia harus segera menghilangkan jejak. Menutup mata orang yang melihat. Menutup telinga orang yang mendengar. Dan menutupi aroma-aroma miring soal dirinya. Pasti bisa. Ia masih memiliki kekuasaan sebagai sinuhun. Pasti ada caranya. Memanfaatkan kedigdayaanya.
“Kanjeng”. Sapaan itu membuyarkan lamunannya. “Ini sudah hampir jam 11 siang lho!, mandi dulu,” kata Sri, yang sedari pagi memerhatikan kegundahan sang suami.
“Oh iya,” jawab Kanjeng Sinuhun, kemudian menutup tirai kamarnya. Lalu beranjak untuk mengambil kain handuk yang sudah disodorkan Sri.
Memang rutinitas Kanjeng Sinuhun setiap jam 11 siang sudah harus berada di Balai. Melayani keluhan rakyat dan memastikan progam-program berjalan. Mendampingi para pemangku kota.
*****
Pajero hitam yang ditumpangi Kanjeng Sinuhun memasuki parkiran balai. Kanjeng Sinuhun terkejut. Ternyata sudah ada jejeran kendaraan punggawa militer memenuhi parkiran. Setidaknya ada 5 kendaraan jenis Multi Purpose Vehicle (MPV). Semuanya berwarna putih.
Sebagian pungawa militer terlihat hilir mudik dengan membawa beberapa kardus berbagai ukuran. Isinya beberapa kertas berkas. Sebagian lagi membawa peralatan elektronik. Laptop dan beberapa perangkat komputer lainnya. Ada juga yang tampak berjaga di beberapa sudut ruangan.
Rupanya infomasi miring yang menyebut nama Kanjeng Sinuhun sudah beredar luas. Hingga punggawa militer turun tangan. Kanjeng dan beberapa sinuhun lainnya disebut-sebut terlibat dalam permufakatan gelap.