Indonesia dalam Pergolakan Ekonomi-Politik

Jumat 02-10-2020,09:42 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Negara baru langsung menghadapi masalah ekonomi yang rumit. Di saat yang sama, pergolakan politik tak kalah berat untuk diatasi.

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Agustus 1945, kemerdakaan Indonesia masih dirongrong oleh bekas penjajahnya hingga Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1949. Selama 4 tahun setelah Indonesia merdeka, Belanda masih mencoba kembali berkuasa di Indonesia.

Pada Desember 1949, Belanda memberikan pengakuan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun pengakuan kedaulatan itu penuh dengan syarat yang merugikan Indonesia. RI tak punya pilihan lain. Sebagian syarat akhirnya diterima. Tahun 1949 menjadi awal dari harapan Indonesia mandiri sebagai negara.

Layaknya sebuah negara baru yang berdiri, Indonesia menghadapi 2 masalah besar: ekonomi dan politik. Dari sisi politik, selama 10 tahun pertama, Indonesia harus menghadapi 10 kali ganti pemerintahan. Karena ketidakstabilan parlemen. Dimulai dari kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Hatta (19 Desember 1949-6 September 1950). Berlanjut ke kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, Harahap, Ali Sastroamidjojo, dan Djuanda. Rata-rata kabinet hanya berkuasa kurang dari 1 tahun. Kecuali kabinet Ali Sastroamidjojo yang bisa bertahan hingga hampir 2 tahun dan Wilopo selama 2 tahun 2 bulan.

Pergantian pemerintahan tentu saja mengganggu proses rehabilitasi ekonomi yang sedang berjalan. Padahal, pada saat yang sama, Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang tidak ringan. Seperti beban utang, defisit anggaran, tingkat produksi yang menurun, kerusakan infrastruktur, dan sebagainya.

BEBAN EKONOMI

Dalam salah satu poin Kesepakatan Ekonomi Keuangan (Financial-Economic Agreement) hasil perundingan KMB, Indonesia bersedia menanggung seluruh utang Pemerintah Hindia-Belanda sebelum perang dan utang NICA pasca-perang.

Menurut Sumitro Djojohadikusumo dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (2005) yang ditulis Thee Kian Wie, Belanda meminta Indonesia menanggung 3 miliar gulden utang dalam negeri dan 3,3 miliar gulden utang luar negeri. Indonesia hanya mau mengambil alih utang dalam negeri sebelum perang. Alasannya, utang pasca-perang sebesar 2 miliar gulden digunakan untuk membiayai agresi militer Belanda terhadap RI. “Belanda menyetujui pembatalan tuntutan pembayaran utang sebesar 2 miliar gulden yang kontroversial,” jelas Sumitro dalam buku itu.

Utang itu jelas menjadi beban besar bagi Indonesia yang baru saja berdaulat. Howard Dick dalam The Emergence of A National Economy, an Economic History of Indonesia, 1800-2000 (2002), menuliskan, Indonesia bahkan harus menghabiskan hadiah kemerdekaan dari Amerika Serikat (AS) berupa pinjaman dari Export-Import Bank sebesar 100 juta dolar AS. Untuk membayar utang tersebut.

Kabinet Harahap yang berkuasa dari Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956 pada akhirnya membatalkan kesepakatan soal utang tersebut pada Februari 1956. Namun, utang itu telah membebani keuangan Indonesia selama 5 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia telah membayar 82 persen dari seluruh kewajiban utangnya. Demikian tulis Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016).

Beban keuangan besar lain datang dari kewajiban. Untuk mempertahankan upah standar Eropa kepada 17.000 pegawai eks-Belanda. Bayaran yang mahal untuk para pegawai Belanda itu memicu kecemburuan para pegawai sipil pribumi. Indonesia juga diwajibkan menampung 26.000 tentara eks-KNIL. Yang tentunya menelan anggaran tidak sedikit.

Tak hanya itu, Indonesia juga harus membenahi masalah infrastruktur. Kepergian Belanda setelah datangnya Jepang diwarnai dengan penghancuran sejumlah infrastruktur. Sementara pada masa penjajahan Jepang, pembenahan infrastruktur tidak dilakukan. Kerusakan infrastruktur terjadi mulai dari transportasi, komunikasi, irigasi, dan pembangkit listrik.

Pada saat yang sama, Indonesia harus menghadapi minimnya cadangan devisa. Anne Booth dalam The Indonesian Economic in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998) menuliskan, pada 1949, Indonesia diperkirakan hanya memiliki cadangan devisa 142 juta dolar AS (tahun 1945 sebesar 458 juta dolar AS). Sementara rata-rata kebutuhan impor mencapai 137 juta dolar per bulan. Ini artinya, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia tidak cukup untuk kebutuhan impor. Padahal impor dibutuhkan saat produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan.

Masalah lain yang dihadapi adalah lemahnya daya saing ekonomi Indonesia. Boediono menuliskan, selama dijajah Jepang, ekonomi beroperasi dengan modus darurat perang. Salah satu akibat penerapan ekonomi dengan sistem ini adalah keterisolasian. Sehingga Indonesia kehilangan manfaat perdagangan.

Produksi dari perkebunan yang merupakan unggulan untuk ekspor, mengalami penurunan pada saat bersamaan. Thee Kian Wie menulis, selama masa pendudukan Jepang, tentara Jepang memaksa perkebunan-perkebunan membabat pohonnya. Untuk ditanami tanaman pangan. Banyak pabrik gula di Jawa rusak berat akibat pendudukan Jepang dan perjuangan bersenjata melawan Belanda.

Tags :
Kategori :

Terkait