“Kontraksi ekonomi kuartal III dan kuartal IV-2020 tidak lebih dalam. Karena dibantu ekspor dan impor. Lalu belanja pemerintah biasanya banyak pada akhir tahun,” papar Faisal.
Sementara itu, Faisal memprediksi, neraca perdagangan Indonesia juga akan surplus hingga akhir 2020. Bahkan, ia optimistis surplus neraca dagang tahun ini akan menembus rekor baru. “Pada akhir 2020 akan pecah rekor jauh di atas US$ 12 miliar. Itu prediksi saya,” imbuh Faisal.
Kemudian, Faisal memproyeksi inflasi Indonesia mencapai titik terendah pada tahun ini. Menurutnya, ini akan menjadi rekor inflasi terendah selama lebih dari 2 dasawarsa atau bahkan sepanjang negara ini berdiri. “Komponen inflasi terendah salah satunya di transportasi,” imbuh Faisal.
Di sisi lain, inflasi di sektor kesehatan cukup tinggi. Hal ini seiring dengan naiknya permintaan produk di sektor tersebut.
“Artinya, permintaan naik, harga meningkat. Ini wajar. Karena pandemi, banyak orang menjaga kesehatan. Jadi produk kesehatan mahal,” jelas Faisal.
Sebagai informasi, BPS mencatat terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau deflasi sebesar 0,05 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Agustus 2020. Deflasi ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang juga mencatat deflasi 0,10 persen.
Deflasi kali ini lebih rendah jika dibandingkan Agustus tahun lalu yang mengalami inflasi sebesar 0,12 persen.
Sementara itu, secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) terjadi inflasi sebesar 0,93 persen. Sedangkan secara tahunan (yoy), inflasi mencapai 1,32 persen pada Agustus ini.
ANCAMAN KRISIS POLITIK
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mewanti-wanti pemerintah soal potensi ancaman krisis politik yang bersumber dari kegagalan mereka dalam mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi akibat virus corona.
Pasalnya, jika hal tersebut terjadi, maka dampaknya terhadap perekonomian akan lebih buruk jika dibandingkan saat ini. Wimboh memberikan peringatan itu berkaca dari pengalaman saat krisis moneter 1998.
Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 13 persen. “Sekarang ini lebih kecil (kontraksinya) dibandingkan pada saat 1998. Tapi kalau kita lihat dampak pada kegiatan sosial ekonomi lebih besar sekarang. Kenapa? Karena pada saat 1998 itu ada krisis multidimensi. Termasuk kirisis politik. Ini yang membuat kita sangat hati-hati. Jangan sampai itu terjadi,” ujar Wimboh dalam diskusi virtual yang digelar Infobank, Kamis lalu.
Belum lagi, menurut Wimboh, ongkos yang perlu dikeluarkan untuk pemulihan ekonomi saat itu cukup besar. “Saat itu, kita adalah negara yang mengeluarkan ongkos paling besar jumlahnya 52 persen dari GDP,” terangnya.
Meski demikian, Wimboh menilai, kini Indonesia lebih siap dalam menghadapi krisis dibandingkan saat 1998. Pasalnya, berbagai regulasi sudah lengkap dan tertata serta memudahkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah mitigasi dari ancaman yang membahayakan perekonomian.
“Regulasi saat ini sudah tertata akibat krisis 98. Kita sudah global standard. Sudah comply dan anggota G20 yang menjadi contoh negara lain,” tuturnya.
Kesiapan Indonesia, menurut Wimboh, juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II-2020. Yang relatif lebih baik ketimbang negara-negara lain di kawasan Asia: hanya minus 5,2 persen.