Bankaltimtara

Sesat Logika KPID DKI Jakarta: Pelarangan Penyiaran Adalah Pelanggaran Hak Atas Informasi

Sesat Logika KPID DKI Jakarta: Pelarangan Penyiaran Adalah Pelanggaran Hak Atas Informasi

Aksi demo di depan Kantor DPR RI-istimewa-

NOMORSATUKALTIM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai langkah Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta yang mengeluarkan imbauan larangan peliputan unjuk rasa kekerasan mengetuk sebagai bentuk pelanggaran hak publik atas informasi.

Kritik keras itu disampaikan melalui rilis pers pada Jumat (29/8/2025), sehari setelah KPID DKI mengedarkan surat edaran Nomor 309/KPID-DKI/VIII/2025.

Dalam surat edaran yang terbit pada 28 Agustus 2025, KPID DKI mengimbau lembaga penyiaran agar tidak menayangkan liputan menakutkan yang dianggap mengandung unsur kekerasan secara berlebihan, provokatif, eksploitatif, maupun yang berpotensi memicu eskalasi kemarahan masyarakat.

Imbauan itu juga meminta media menjaga kesejukan dan ketenangan dalam siaran pemberitaan aksi unjuk rasa.

BACA JUGA :  Driver Ojol Samarinda Gelar Doa Bersama dan Bagikan Pita Hitam, Tanda Duka untuk Affan Kurniawan

Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, menegaskan bahwa kewenangan liputan aksi kekerasan tidak sejalan dengan konstitusi.

Menurutnya, hak publik untuk mengetahui informasi telah dijamin dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

“Unjuk rasa, baik damai maupun disertai tindak kekerasan, merupakan bagian dari realitas sosial yang harus diketahui. Pelarangan liputan justru berpotensi merampas hak konstitusional warga negara,” ujar Mustafa.

LBH Pers juga menilai, kehadiran media dalam melaporkan tindakan kekerasan yang dialami demonstran, terutama dugaan kekerasan yang dilakukan aparat merupakan bentuk kontrol sosial yang dilindungi Undang-undang Pers.

BACA JUGA :  Makna Kode 1312 dalam Aksi Demo, Sejarah dan Kontroversi yang Mengiringinya

Selain itu, LBH Pers menilai imbauan KPID DKI justru bertentangan dengan prinsip dasar jurnalistik yang menekankan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan.

Mustafa menyebut peliputan memagari tidak bisa serta-merta dianggap provokatif atau widget.

“Liputan aksi refleksi adalah informasi faktual, bukan opini pribadi. Justru menjadi kewajiban pers untuk menyebarkan potensi kesewenang-wenangan aparat agar masyarakat dapat mendorong akuntabilitas,” jelas Aulia.

Di sisi lain, ketiadaan indikator jelas mengenai tayangan yang disebut “provokatif” atau “eksploitatif” yang diukur membuka ruang tafsir sepihak.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: