Transisi Energi di Kaltim Mandek, Ketergantungan pada Batu Bara Jadi Penghambat Utama
Lokakarya jurnalisme energi bertajuk "Transisi Energi Menantang Dominasi Pertambangan" yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Cerah-Salsabila-Disway Kaltim
Keberpihakan terhadap masyarakat terdampak harus menjadi prioritas utama.
Di beberapa titik PLTU, beban sosial dan lingkungan sudah terasa nyata.
Di Bontang misalnya, warga tinggal berdampingan dengan tumpukan batu bara (stockpile) yang jaraknya bahkan kurang dari satu meter dari rumah.
Paparan debu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Tanpa perubahan sistemik dan keberpihakan terhadap komunitas rentan, transisi energi hanya akan menjadi slogan kosong yang melanggengkan ketimpangan dan perusakan lingkungan.
Syaharani, pemateri dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), menegaskan bahwa transisi energi harus dibingkai dalam prinsip keadilan.
BACA JUGA : Persoalan Menahun di Mahulu: Akses Jalan Sulit, Infrastruktur Harga Mati
Ia memaparkan bahwa dokumen kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), RUEN, dan RUKN memang sudah ada.
Namun tantangan terbesar justru berada di tataran implementasi, terutama dalam membangun tata kelola yang inklusif.
"Partisipasi masyarakat, transparansi, dan perlindungan terhadap kelompok terdampak harus menjadi kunci dalam transisi energi yang adil," ungkap Rance, sapaan akrabnya.
Di tengah kompleksitas isu tersebut, jurnalis dan peneliti menjadi dua kekuatan penting dalam membuka tabir dan membangun kesadaran publik.
Roby Irfany Maqoma dari The Conversation Indonesia, mengungkapkan pentingnya kolaborasi antara media dan ilmuwan untuk menyajikan liputan yang berbasis data dan riset.
"Banyak hasil riset yang bisa dimanfaatkan, tapi perlu kemampuan jurnalis untuk memahami dan menerjemahkannya secara akurat," bebernya.
BACA JUGA : Pemerintah Lebanon Sepakat Berunding dengan AS, Desak Pelucutan Senjata Kelompok Hizbullah
Meski demikian, baginya, tantangan kolaborasi ini tidak kecil. Beberapa peneliti masih ragu penelitiannya disederhanakan dalam bahasa populer yang bisa menghilangkan makna asli.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
