Terapi Pasien Positif COVID-19 di RSKD Balikpapan
Dr. Mufidatun Hasanah Sp.P seorang Dokter Spesialis Paru di RS Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Dokter yang langsung memimpin penanganan pasien COVID-19. Kepada Disway Kaltim ia bercerita layanan terapi yang diberikan untuk pasien positif. Seperti apa? Oleh: Darul Asmawan Editor: Devi Alamsyah MENURUT Mufida, pada dasarnya pasien terkait dengan COVID-19, akan diberikan pengobatan sesuai dengan gejala yang dikeluhkan. Jika pasien masih berstatus suspect atau PDP, dengan keadaan umumnya baik, maka biasanya hanya menunjukkan gejala demam, flu dan batuk. "Kalau batuk diberi obat batuk, kalau demam diberi obat demam," kata dokter Mufida. Kemudian, untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi vitamin. Jika terdapat tanda-tanda infeksi sekunder akibat infeksi bakterial, maka pasien juga diberi antibiotik. Untuk pasien yang keadaan umumnya kurang baik, dalam artian terdapat gejala penyakit lain (komorbid), misalnya penyakit diabetes, penyakit jantung dan lainnya, maka pasien tersebut akan diberi terapi pengobatan sesuai dengan penyakit yang dideritanya itu. Sedangkan terapi khusus yang diberikan pada pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19, ia memberinya obat Tamiflu atau Oseltamivir. Obat antivirus yang berfungsi menekan pertumbuhan virus dalam tubuh pasien. Jika didapati pasien yang walaupun masih belum tegak didiagnosa COVID-19, tapi dari hasil rontgen gejala klinis mengarah pada COVID-19, maka pasien pun akan segera dibawa pada terapi antivirus. “Kita beri Oseltamivir tadi," jelasnya. "Yang saat ini digunakan, itu saja. Oseltamivir atau Tamiflu. Di samping itu ada antibiotik dan vitamin. Begitu juga obat untuk keluhan simptomatik (penyakit bawaan)," tambahnya. Menurutnya, yang saat ini tersedia di Balikpapan ialah Oseltamivir. Sedangkan Klorokuin (chloroquine), obat yang disebut-sebut juga digunakan oleh beberapa negara di dunia untuk terapi COVID-19, jarang tersedia di Balikpapan. Obat itu sendiri (klorokuin) merupakan obat yang sifatnya untuk anti inflamasi. Inflamasi adalah peradangan yang timbul karena virus, bakteri dan jamur. "Jadi Klorokuin itu untuk menekan inflamasi (pada pasien yang mengalami kelainan paru yang berat," katanya. OSELTAMIVIR Mufida menjelaskan Oseltamivir lebih rinci. Oseltamivir atau dikenal juga dengan Tamiflu adalah sebuah obat antiviral atau sebuah inhibitor neuraminidase (Neuraminidase Inhibitor/NAIs). Termasuk golongan obat yang menghambat enzim neuraminidase. Sebenarnya, kata dia, Oseltamivir adalah obat definitif untuk influenza tipe A dan tipe B. Dulu dikenal flu burung. Namun, ia mengungkapkan, berhubung belum ditemukan obat antivirus yang definitif untuk COVID-19 maka itu digunakan. “Berdasarkan panduan organisasi kesehatan dunia (WHO)," imbuh Fida. Dia menyebut, saat ini WHO, sedang melakukan clinical trial (randomized controlled trial/RCT) atau uji klinik. Prosedur untuk menentukan suatu obat bisa menyembuhkan suatu penyakit, dalam hal ini COVID-19. "Jadi setiap obat itu untuk bisa dibuktikan apakah benar bisa menyembuhkan penyakit tertentu, harus dibuktikan melalui clinical trial". Ada beberapa tahapan; tahap satu, dua, tiga dan tahap empat. Tahap satu yaitu praklinik in vitro, tahap atau fase kedua yaitu pengujian klinis in vivo pada binatang. Sementara tahap ketiga yaitu in vivo pada manusia, dan yang keempat adalah uji konfirmasi pasca pemasaran obat tersebut. "Jadi saat ini kita mengikuti panduan dari WHO," ucapnya. Karena WHO sendiri, lanjut Mufida, sudah menentukan bahwa pasien-pasien yang diberikan Oseltamivir adalah pasien-pasien influenza dan pasien-pasien zoonotik (penderita penyakit yang menular dari binatang). "Virus ini (COVID-19), saat awal mula muncul adalah penyakit zoonotik, yaitu penyakit dari binatang ke manusia," ungkap dokter. Sehingga, sejak awal munculnya COVID-19 ini, WHO sudah merekomendasikan, bahwa pasien yang diberikan Oseltamivir, memberi hasil yang lebih baik dan menunjukkan kemajuan yang lebih signifikan di bandingkan dengan pasien yang tidak diberikan Oseltamivir. Oleh sebab itu, meskipun WHO sendiri mungkin saja belum menyelesaikan tahapan clinical trial, uji klinis Oseltamivir dalam penggunaannya kepada pasien COVID-19, tetap mengikuti panduan tersebut. "Kan kalau mau penelitian sendiri-sendiri juga tidak mungkin," sebutnya. "Jadi, inilah terapi yang memang konstitutional yang direkomendasikan langsung oleh WHO untuk dipedomani," terang dokter Fida, sapaan akrabnya. TERAPI SUPORTIF Selain pengobatan yang sesuai gejala, pasien COVID-19 juga diberikan terapi simplomatik atau perawatan suportif. Obat suportif yang diberikan yaitu seperti vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh; vitamin C, vitamin E, vitamin B-kompleks. Kemudian pasien-pasien dianjurkan istirahat yang cukup. Ini yang cukup sulit, kata Mufida. "Mungkin karena tertekan dengan suasana diisolasi jadinya pasien susah tidur," jelasnya. "Namun tetap di-support saja, supaya tenang, tidak terlampau banyak pikiran. Kemudian dianjurkan olahraga walaupun diisolasi. Artinya tidak tidur terus, tidur minimal tujuh jam sehari, selebihnya pasien disarankan beraktivitas di ruang isolasi," paparnya. IMUNITAS KUNCI KESEMBUHAN Seperti yang dibicarakan banyak orang, Mufidah menjelaskan proses masuknya virus ke dalam tubuh "port de entry-nya adalah saluran pernapasan dan mukosa,". Misalnya, kata dia, seseorang kontak dengan orang yang sudah positif COVID-19 dalam jarak dekat atau bersentuhan, kemudian virus tersebut menempel di tangan, lalu tangan yang terpapar virus itu digunakan memegang hidung dan wajah. "Virus tersebut akan dengan mudah terhirup, lewat hidung dan mulut, masuk ke saluran pernapasan," Namun pada dasarnya, tubuh manusia memiki pertahanan terhadap virus dan bakteri yang berlapis-lapis; imunitas. Contohnya imunitas non spesifik, yang humoral, yaitu Imunoglobulin. Imun ini memiliki sel pada saluran pernapasan dan secara mekanik memiliki silia yang berfungsi untuk membersihkan virus yang menempel pada saluran pernapasan. "Jadi sebenarnya imunitas tubuh itu berlapis-lapis, namun ternyata, virus ini sangat mudah menyebar dan masuk ke dalam tubuh manusia," ujar dokter Mufida. Kasus positif terjadi, jika virus tersebut berhasil menembus pertahanan imunitas tubuh bagian luar tadi. Masuk ke saluran pernafasan dalam; paru-paru, virus akan bereplikasi secara kumulatif. Yang menjadi masalah, belum ada aintivirus yang spesifik untuk membunuh infeksi virus tersebut. "Kalau hanya bakteri, tentu sudah bisa dibunuh dengan antibiotik," kata dia. "Namun, sistem imunitas kekebalan tubuh, masih akan berproses; mengenali virus dan memproduksi sel untuk mengeliminasi virus yang masuk," jelasnya. Pada hari-hari awal, sistem imun akan mengaktifkan yang namanya sel limfosit T . Sel T atau limfosit T adalah kelompok sel darah putih yang memainkan peran utama pada kekebalan seluler. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar virus atau patogen. Ada beberapa macam limfosit T, dimulai dari T killer (pembunuh), T helper (pembantu) dan T memori (pengingat) untuk melawan kemungkinan infeksi yang terulang kembali dari virus yang sama. "Kemudian, sistem kekebalan tubuh akan mengaktifkan neotrofil, sel kekebalan yang sangat kuat, yang bisa mengeleminasi virus," terang dokter spesialis paru itu. Jadi, jelasnya lagi, jika kondisi tubuh pasien itu baik, virus yang masuk, tidak akan sampai bereplikasi menjadi banyak sekali, karena cepat dikendalikan oleh sistem imunitas tubuh. Sehingga, tambahnya, tidak sampai terjadi gejala yang berat, walaupun sesorang telah terinfeksi virus, karena pertahanan tubuhnya akan bekerja. Dan jika imunitas sesorang sangat baik, kemungkinan gejala tidak akan terasa oleh si pasien atau orang yang terinfeksi virus. Yang menjadi fatal dan menimbulkan gejala berat, urai Mufida, ketika sel tersebut bereaksi. "Sel itu tidak memiliki mata, sehingga dalam menjalankan peran menangkap virus atau patogen, sel tersebut membentuk reaksi kimia, atau disebut sitokin,". Jika mengeluarkan terlalu banyak sitokin, maka akan terjadi reaksi inflamasi yang hebat. "Itulah yang membuat pasien nya sakit berat. Tapi jika imun kuat dan cepat bekerja untuk mengatasi virusnya, keluhan berat tidak akan dirasakan," urainya. "Jadi yang benar-benar berperan untuk mengeleminasi virus, itu adalah imunitas tubuh manusia. Itu pertahanan tubuh manusia," pungkasnya. PELUANG SEMBUH Dari proses itu, dokter Mufidah menyimpulkan, bahwa imunitas berperan besar untuk menentukan kesembuhan bagi pasien COVID-19. Sehingga, peluang sembuh bagi pasien yang terpapar masih sangat besar. "Jadi, untuk pasien-pasien yang kondisi imunitasnya baik, kemungkinan sembuhnya sangat besar,". Karena sebenarnya, virus corona tersebut, sangat mudah dieliminasi oleh sel sel imunitas tubuh manusia, jika imunitasnya dalam keadaan baik. Sebaliknya, yang sering menyebabkan sakit berat, hingga menyebabkan kematian adalah pasien yang memang mengidap penyakit komorbid, yang kronis, yang membuat kondisi imunitasnya lemah. "Saat dia (pasien dengan penyakit komorbid) terinfeksi, dia gagal mengeliminasi virus, virusnya bereplikasi lebih cepat, akhirnya terjadi kekacauan di dalam tubuhnya, terutama di sistem pernafasan," tandasnya. (*) BISA KAMBUH LAGI PENGIDAP COVID-19 yang telah sembuh di Korea Selatan (Korsel) dilaporkan banyak yang kembali positif. Pihak berwenang setempat tengah menyelidiki kemungkinannya. Apakah pasien tersebut tertular lagi? Atau masih ada sisa-sisa virus dalam tubuh pasien yang belum mati?. Pakar virus M Indro Cahyono yang belakang populer menjadi narasumber di berbagai media, pernah menyampaikan begini; ketika seorang sudah sembuh dari virus, maka kemungkinan tubuhnya akan kebal. Bukan tak bisa terjangkiti lagi, tapi memori antibodi dalam tubuhnya bisa merespons dengan cepat, sehingga tidak menjadi sakit. “Bisa saja kena lagi, tapi paling 24 jam bisa sembuh,” ujarnya. Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Mufidatun Hasanah terkait hal itu menjelaskan secara klinis saat pertama kali tubuh manusia mengenal virus itu atau pertama kali virus masuk ke dalam tubuh manusia. "Sistem kekebalan tubuhnya akan mengaktifkan limfosit sel T dan sel neutrofil," ujarnya. Linfosit T, kata dia, terbagi menjadi tiga macam berdasarkan fungsinya. Pertama Sel T killer yang berfungsi untuk membunuh sel-sel yang telah mati. Kedua, Sel T Helper, bertugas membantu sel imun lainnya untuk mengaktifkan kekebalan tubuh. Kemudian ada sel T Memori, adalah sel yang berfungsi mengenali patogen virus pada saat terjadi infeksi. Sehingga, lanjutnya, pada saat terjadi pengulangan infeksi dengan patogen virus yang sama, sel T Memori mengalami proliferasi dengan sangat cepat dan memberikan respons kekebalan yang lebih kuat. "Jadi, seseorang yang telah sembuh dari infeksi COVID-19, mungkin saja akan kembali tertular virus yang sama," katanya. Namun, sistem kekebalan tubuh, akan dengan cepat mengenali virus tersebut melalui sel limfosit T tadi, sehingga virus dapat dieliminasi dengan cepat. "Dalam waktu 24 jam kemungkinan virus akan habis tereliminasi, jika kondisi imunitas baik," ujar dokter berhijab itu. Lalu, mengapa pada saat infeksi pertama membutuhkan waktu tujuh hingga 14 hari untuk mencapai puncak perlawanan imunitas tubuh terhadap virus?. Karena pada saat infeksi pertama, sistem kekebalan akan terlebih dahulu berproses, mengenali virus dan memproduksi berbagai sel untuk melakukan perlawanan. "Secara teori, proses pembentukan imun, selama tujuh hari, dan puncaknya pada hari ke-14 setelah terinfeksi, dan di hari ke-21, virus telah habis dieliminasi," terang dokter Fida. Kembali dia menjelaskan, cara kerja dari virus adalah dengan cara menginjeksikan atau memasukkan materi RNA (Ribonucleic Acid) atau Asam Ribonukleat atau DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), sebuah asam nukleat yang memiliki informasi tentang materi genetik. Tergantung jenis virusnya. Dalam hal ini, virus corona jenis COVID-19 adalah virus pembawa materi RNA. Sehingga virus tersebut akan menginjeksikan RNA ke dalam sel tadi. "Sel-nya tidak sadar proses injeksi itu terjadi, begitu materi RNA-nya masuk ke dalam sel, sel menganggap bahwa itu adalah RNA nya dia (sel limfosit, Red). Berhubung kerja sel itu adalah aktif bereplikasi, sel tersebut akan membentuk atau mengkopy RNA virus corona itu," kata dokter Fida. Akhirnya, proses itu terus menciptakan virus baru di dalam sel. Lama kelamaan sel tersebut penuh virus dan terpecah. Maka, virus menyebar dan menginfeksi sel sel yang lain di dalam tubuh. Virus COVID-19, katanya, tidak bisa hidup dan berkembang biak tanpa inang. Jadi, pada saat berada di benda mati, virus itu tidak akan bisa berkembang biak, sampai dia mati. Namun, kata dia, belum diketahui pasti berapa lama virus COVID-19 bisa bertahan hidup di masing-masing benda mati. Tetapi begitu virus itu mendapatkan inang atau sel hidup baru, dia akan bereplikasi dengan cepat. Karena replikasi itu memerlukan sel hidup untuk meng-copy paste RNA nya itu. "Begitulah sifat virus itu," ungkap dia. (das/dah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: