Corona Membara di Amerika

Corona Membara di Amerika

OLEH: UCE PRASETYO Kenapa harus takut dengan corona? Saya tidak takut dengan corona. Virus itu seperti flu. Tidak perlu ditakuti. Jadi jangan dibesar-besarkan. Heboh soal corona ini hanya ulah media. Maret atau April ini sudah usai. Corona tak ada kabarnya lagi. Kalau pertanyaan dan pernyataan itu muncul dari pribadi-pribadi seperti rakyat biasa, tak masalah. Mereka tidak punya kewenangan. Kewenangan kebijakan. Kewenangan bikin aturan dan anggaran. Pun kalau rakyat berkoar-koar di medsos, akan segera dihanyutkan oleh pernyataan netizen lainnya di medsos. Tapi bila pertanyaan dan pernyataan itu disampaikan secara terbuka di berbagai media, termasuk medsos, oleh pejabat tinggi negara selevel presiden, itu fatal dampaknya. Amerika Serikat (AS) contohnya. Di AS, Presiden Trump yang memang kontroversial. Mudah bikin pernyataan di media. Terkesan asal bikin. Sesuka hatinya. Maklum, negara adikuasa. Super power dunia. Menyangkut apapun: Ekonomi, politik, militer, dan lain-lain. Atau menyangkut negara mana pun, tak ada yang bisa melawannya. Beberapa negara seperti Tiongkok, Korut, Iran, dan Rusia melawannya. Makin kuat perlawannya, makin jadi pula perlawanan Amerika. Trump bukan cuma bikin pernyataan. Tapi sanksi: hukuman dagang, pembekuan aset, sanksi diplomatik, pencekalan, dan serangan militer. Sanksi itu pasti menyakitkan rakyat dan negara yang terhukum. Itulah AS dengan arogansinya. Negara lain melawan “sekilo”, pernyataan dan sanksi Trump datang “berkilo-kilo”. Kebiasaan asal ngomong itu pun terkait corona. Pada 15 Februari, corona sedang berjaya di Tiongkok. Angka yang terjangkit sudah 60 ribu-an. Yang meninggal ratusan setiap hari. Totalnya sudah 1.506 jiwa. Di AS baru terjangkit 15 kasus. Belum ada yang meninggal. Apa kata presidennya? “Virus ini akan hilang bulan April,” ujar Trump. Pada 5 Maret, 200 pasien positif corona. Sebanyak 19 orang meninggal dunia. Dengan tenang Trump lagi-lagi bikin pernyataan yang menyepelekan virus corona. “Lebih berbahaya flu daripada virus corona,” katanya. Lalu, sekarang awal April 2020. Yang terjadi adalah sebaliknya. Corona semakin menggila di Amerika. Sehari sekitar 30.000 orang yang positif. Yang meninggal 950 atau 1.000 orang setiap hari. Itu bukan semata angka. Tapi jiwa. Totalnya sudah merenggut 6.095 nyawa. Amerika jadi juara pertama. Tak semata urusan ekonomi atau militer. Soal wabah pun mereka jadi yang pertama.  Mendekati angka 250.000 pasien positif. Itu lebih dari tiga kali lipat penderita di Tiongkok. Yang meninggal pun sudah lebih dua kali lipat dari Negeri Tirai Bambu. Amerika dan negara maju di Eropa berlomba-lomba dalam jumlah penderitanya: Italia, Spanyol, dan Perancis. Sekitar 3.000 jiwa meninggal di Tiongkok. Itu terjadi lebih dari dua bulan. Di Amerika, setiap tiga hari angka itu sudah tercapai. Bila sebulan atau dua bulan ini terus berlanjut, dengan pertumbuhan fantastisnya, korban di Amerika bisa sekitar 60.000 jiwa. Itu lebih banyak daripada tentara Amerika yang jadi korban saat perang di Vietnam. Perang Vietnam berlangsung 19 tahun. Perang dengan corona baru berjalan tiga bulan. Sadar akan kedigdayaan dampak dan bahaya corona serta ancaman elektabilitasnya di pemilu keduanya, Trump mulai gentar dan merendahkan suaranya. Ia menelepon pimpinan negara-negara pesaingnya: Tiongkok dan Rusia. Bukan Eropa. Negara-negara sekutunya di NATO. Mereka sama-sama sedang menderita karena corona. Hebat. “Musuhnya” bersedia membantu Amerika. Bantuan masker, APD, dan ventilator berton-ton berdatangan. Dengan pesawat cargo. Mengapa Amerika yang uangnya tak ada batasnya, negara adidaya, industri dan teknologinya luar biasa, tidak berdaya menghadapi corona dan harus meminta bantuan dengan negara yang notabene “musuhnya”? Sebab mereka meremehkannya. Tidak bersiap diri. Baik warga maupun industrinya. Asal muasal tidak ada persiapan itu adalah pernyataan presidennya. Amerika itu menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Demokrasi di mana-mana. Menciptakan kubu-kubuan. Pro dan kontra. Melibatkan pendapat pejabat, perwakilan, dan rakyat. Ketika sang presiden menyatakan secara terbuka bahwa corona itu biasa saja, lebih berbahaya dari influenza, maka rakyat yang pro denganya mati-matian membelanya. Otomatis mereka tidak waspada. Termasuk aparatur, industri, dan sistem negara. Industri di Amerika tak punya cukup waktu mempersiapkan kebutuhan seperti masker, alat sanitasi, ventilator, dan lainnya. Ini adalah dunia nyata, Ferguzo. Bukan dunia cerita. Seperti Bandung Bondowoso. Yang dalam semalam bisa membangun apa yang dikehendakinya. Demokrasi sungguh baik saat normal. Amerika dan Eropa dengan sistem demokrasinya, birokrasi dan sistemnya terbukti kurang efektif di saat darurat seperti ini. Negara bagian dan pemerintah pusat serta rakyatnya sering tidak seirama. Berbeda dengan Tiongkok. Pusat dari virus corona. Dengan jumlah penduduk yang lebih banyak, pemerintah terbukti berhasil mengendalikan rakyatnya dan menjinakkan virus corona. Tak dipungkiri, salah satu faktornya adalah sistem komando. Tanpa kubu-kubu partai. Syukurlah. Walau di awal sikap Indonesia dalam mengantisipasi corona mirip dengan Amerika, ternyata lonjakan pasien dan kematian korban tidak seberapa. Bila dibandingkan Amerika. Satu banding 100 untuk jumlah penderitanya. Akankah corona juga mengancam kepala negara dari jabatannya? Bisa jadi. Mungkin Trump yang pertama. Akankah jumlah penderita corona di Indonesia meledak seperti di Amerika? Pendapat saya, iya bila banyak dari kita meremehkan virus corona. Serta tak ada ketegasan dan ketangkasan pejabatnya. (*Anggota DPRD Kutim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: