Utari Oktavianty: Dewi Laut dari Kampung Baru
Bersama dua teman kuliahnya, Utari Oktavianty membangun perusahaan rintisan yang mengangkat derajat nelayan. Pernah merasakan sulitnya mencari mitra, ia kini banyak diburu investor malaikat. Aruna, perusahaan rintisan yang ia dirikan, menjadi salah satu partner penting raksasa bisnis: Alibaba. Anda mungkin kurang familiar dengan Alibaba. Tapi kalau Lazada, Tokopedia, J&T Express, True Money, kemungkinan besar cukup akrab. Perusahaan multinasional asal Tiongkok itu hampir ada di setiap bisnis berbau teknologi, e-commerce dan kecerdasan buatan. Bahkan, ia juga merambah industri perfilman dengan mendirikan Alibaba Pictures. Lalu bagaimana korporasi raksasa itu bisa mengenal gadis asal Kampung Baru, Balikpapan Barat? Perusahaan milik konglomerat Jack Ma itu memilih wanita 27 tahun itu sebagai salah satu perempuan berpengaruh di dunia. Nama Utari Octavianty disejajarkan dengan tokoh filantropi, Melinda Gates, Co-Chair of Bill & Melinda Gates Foundation. Anda tentu tahu, Melinda Gates adalah istri pendiri perusahaan perangkat lunak Microsoft. Utari juga disandingkan dengan Phumzile Mlambo-Ngcuka, Executive Director of UN Women. Perempuan Afrika yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Direktur Eksekutif PBB untuk urusan wanita. Juga dengan Marieme Jamme, Founder of iamtheCODE. Perempuan Afrika lainnya yang mengajarkan coding kepada lebih sejuta anak-anak muda negaranya. Dengan menguasai coding, kelak, anak-anak Benua Hitam mampu membuat aplikasi atau web development . Utari juga satu frame dengan Miffy Chen, Head of Alibaba A.I (Artificial Intelligent) Labs. Miffy Chen adalah otak dibalik keberhasilan Alibaba menguasai industri digital dengan kecerdasan buatan (A.I) yang dibangunnya. Ketokohan Utari Octavianty dipublikasikan Alibaba dalam sebuah kampanye #TheWorldSheMade. Video yang disebarkan ke seluruh dunia itu mengulas tentang perempuan-perempuan inspirator, sekaligus punya pengaruh bagi lingkungan sekitarnya. Karena Jorok Sepak terjang Utari bermula dari keprihatinannya terhadap kondisi nelayan di sekitar tempat tinggalnya. Bagi masyarakat Balikpapan, dulu Kampung Baru identik sebagai kawasan kumuh. Premanisme merajalela. Daerah itu digambarkan sebagai kawasan ‘Texas’. “Dulu, waktu saya kecil sering diledek karena tinggal di kampung nelayan yang jorok,” cerita Utari. Makanya, ia bertekad mengangkat potensi di sekitar rumahnya supaya lebih baik. Sebagai keluarga nelayan, dari kecil, Utari sudah kebal dengan candaan,-cenderung merundung, oleh teman-temannya. Misalnya saja waktu masih SMP. “Saat pelajaran PKLH (Pendidikan Keterampilan dan Lingkungan Hidup) sering dibilangin anak dari kampung terjorok,” kenang Utari tertawa lepas. Ia tak merasa sakit hati karena mengakui banyak sampah di kolong-kolong rumah. Selain soal kebersihan, ia masih teringat bagaimana teman-teman sekolahnya melabeli tempat tinggalnya sebagai kampung preman. “Sampai kemudian saya berpikir sampai kapan begini? Padahal ketika saya semakin dewasa, saya melihat potensi kampung ini besar sekali,” katanya. Ia berpikir, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Untuk mewujudkan niatnya, Utari memutuskan sekolah di SMA Plus Melati, Samarinda. Kesenangannya dengan teknologi mendorong Utari memilih jurusan Teknologi Informasi. Dan benar saja. Ketika selesai SMA tahun 2011, ia menyabet gelar sebagai Lulusan Terbaik, Gelar Kreatif dan Inovatif. Melihat prestasi Utari, sang ibu, Sakka Mayasari, mengirimnya kuliah ke Bandung. Masuklah ia di Telkom University. Perguruan tinggi yang dinilai menjadi pencetak para ahli teknologi di Indonesia. Di universitas ini, Utari memilih jurusan Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informatika. “Dari situ, saya bertemu dengan dua teman dekat di kampus. Yang satu suka tekno (teknologi). Yang satunya suka aplikasi dan desain. Mereka juga sama – sama anak pesisir. Satu dari Indramayu, satunya Karawang,” kata Wisudawan Terbaik Universitas Telkom 2015 ini. Bayi Aruna Utari mengajak Farid Naufal Aslam dan Indraka Fadhlillah,--dua teman dekatnya, mengembangkan aplikasi yang bertujuan membantu para nelayan. Mereka mulai menyusun model bisnis dan menawarkannya pada berbagai ajang kompetisi wirausaha. Ide awalnya cukup sederhana. Bagaimana masyarakat bisa memperoleh ikan segar, langsung dari para nelayan. Sebaliknya, dengan aplikasi itu, nelayan bisa langsung menampilkan hasil tangkapan ke layar ponsel. Sehingga konsumen bisa memilih dan memesan ikan secara mudah. Model bisnis ini pun mereka uji dalam berbagai kompetisi yang diselenggarakan baik oleh kampus maupun lembaga-lembaga lain. Ia memenangi lomba Indonesia Student Entrepreneurship Award yang digelar Universitas Andalas Padang. Model bisnis Aruna dipandang realistis dan bisa dikembangkan. Untuk itu, mereka meraih penghargaan serta hadiah sebesar Rp 10 juta. “Hadiah itulah modal awal kami mendirikan Aruna. Dari uang itu dipakai buat riset dan beli server,” katanya. Dari situlah, Utari dan tim mengikuti berbagai ajang atau perlombaan start up. Tujuannya “mengumpulkan modal sekaligus mendapat eksposure supaya banyak yang mengenal,” cerita Utari. Hanya setahun setelah penghargaan dari Universitas Andalas, Aruna meraih penghargaan Indonesia Impact Accelerator Program, Runner up Fishackathon 2017, Finalist Starup of The Year 2017, Start Up Pilihan Tempo 2019, sampai gelar The Most Social Impact Startup yang dinobatkan oleh Kemenristekdikti dalam acara Indonesia Startup Summit 2019 di JIEXPO Kemayoran. Oleh Singapura, Aruna juga dinobatkan sebagai Grand Winner Social Competition 2019. Tapi jauh sebelum berbagai penghargaan itu, Utari mengaku jatuh bangun meyakinkan nelayan agar mau menjadi mitra. “Itu karena model bisnisnya belum dipahami,” ujar dia. Berkembang di Kampung Halaman Bandung menjadi pilot project karena dekat dengan tempat kuliah. Namun setelah beberapa lama tak berkembang, Utari memutuskan pulang ke Balikpapan. “Saya pikir kalau di Jawa susah (menggandeng nelayan). Soalnya sudah ada koperasi perikanannya,” kata dia. Tokoh termuda yang pernah tampil di Asian Productivity Organization (APO) Meeting ini memilih pulang kampung. Dia mulai menyampaikan rencana bisnis itu kepada keluarga. Namun bukan dukungan yang diterima. “Waktu ngobrol soal ini sama orangtua dimarahin. Harapan mereka setelah lulus kuliah cari kerja, bukannya bikin aplikasi kayak gini,” kata Utari kembali tertawa. Tak putus asa, Utari lantas menemui sang paman yang dikenal sebagai ketua kelompok nelayan Kampung Baru. “Ternyata paman sudah berhenti menjadi ketua kelompok nelayan. Bahkan sudah tak melaut lagi dan main (bisnis) sarang walet sama nyewain lahan buat parkir motor,” imbuh pembicara berbagai seminar ini. “Perikanan ini nggak ada lagi masa depannya. Di sini sudah banyak yang berhenti jadi nelayan,” kata Utari menirukan Abidin, sang paman. Utari terus membujuk Abidin supaya mengumpulkan para anggota kelompok nelayan. Lantaran terus didesak, Abidin baru bersedia mencobanya. Para nelayan dijanjikan menjual langsung hasil tangkapannya kepada konsumen. Ikan tangkapan yang punya kualitas bagus difoto, kemudian ditawarkan ke pasar internasional. “Pertama kali kami kirim ke US (Amerika), kerja sama dengan pabrik (pengemas), dan itu berhasil,” ungkap Utari. Hasil penjualan setelah ditransfer bisa langsung dinikmati nelayan. Keberhasilan itu mendorong Utari membujuk saudara-saudaranya yang lain supaya membantu mengumpulkan para nelayan di daerah lain. Dimulai dengan Utomo, sepupunya, yang mengenalkan aplikasi kepada nelayan Kabupaten Penajam Paser Utara. "Saya nggak yangka, kampung halaman membawa keberuntungan," ucapnya . Setelah sukses, mereka kemudian melebarkan sayap ke Berau, Grogot, Kaltara, Kalse, Sumatera, bahkan sampai Raja Ampat, Papua. “Jadi dari Balikpapan itulah kami duplikasi model bisnisnya ke banyak daerah,” ungkap Utari. Lima Ribu Nelayan Utari menjelaskan area layanan yang lebih luas, membuat komoditas ekspor perikanan lebih banyak. Hal ini membuat para nelayan Indonesia lebih sejahtera. Untuk membuat proses penjualan komoditas perikanan lebih mudah di daerah-daerah, Aruna menggandeng para anak muda atau yang mereka sebut sebagai local heroes. Saat ini, terdapat 20 local heroes dan ditargetkan akan mencapai 30 orang pada akhir tahun ini. Saat ini layanan startup Aruna baru bisa diakses oleh nelayan dan pembeli yang sudah terverifikasi. Startup yang berdiri sejak 2016 ini mempermudah alur pembelian dan penjualan perikanan bagi nelayan dengan bantuan local heroes. Pembeli atau pabrik biasa akan melakukan pre-order terlebih dahulu melalui aplikasi atau situs web Aruna. Pesanan akan diteruskan ke local heroes, untuk nanti mereka menentukan permintaan yang bisa dipenuhi dan memproses kontrak digitalnya. Local heroes kemudian akan meneruskan pesanan kepada nelayan. Setelah itu, mitra logistik akan mengambil pesanan, dan dikirim ke gudang-gudang pembeli. Sebagian besar pengiriman dilakukan melalui udara. Utari menyatakan, Aruna transparan dalam harga jual dengan mengikuti harga pasar dan menyosialisasikannya kepada para nelayan. Local heroes juga membantu memberikan edukasi kepada para nelayan seperti cara mengontrol kualitas hasil tangkapan, hingga proses packaging. Ketika berupaya menaikkan jangkauan internasionalnya, Aruna ikut serta dalam kompetisi internasional, termasuk Alipay Social Innovation Challenge. “Awal ikut itu sebenarnya karena berusaha menaikkan coverage international kami, namun tak menyangka menang dan melahirkan kerja sama,” kata penerima Warga Berprestasi dari Pemkot Balikpapan ini. Ia mendapat kesempatan belajar di kampus Alibaba serta menggaet Alibaba supaya menjadi pembeli. “Banyak pembeli kami datang dari China melalui Alibaba. Karena mereka (Alibaba) punya supermarket seafood di sana,” jelas Utari. Kesuksesan Aruna membuat para angel investor berlomba menanam modal ke perusahaan rintisan itu. Tapi baru satu yang memikat Utari dan timnya. “Saya tak bisa menyebut (jumlah) investasi mereka. Disclosed,” jawabnya. Karena bisnis semakin besar, Utari menjalankan bisnis di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Saat ini, menurut Utari ada 5.032 nelayan Aruna yang berada di 16 daerah. Dalam satu bulan, rata-rata kelompok nelayan di daerah mampu melakukan transaksi hingga Rp 700 juta. “Rata-rata desa nelayan berisi sampai 300 orang. Paling sedikit 30 nelayan,” kata Utari. Banyak nelayan yang penghasilannya meningkat sejak bermitra dengan Aruna. Asal tahu saja, dalam bahasa Sanskerta, Aruna berarti Dewa Laut. Nama itu sengaja dipilih karena “kami ingin menolong lebih banyak nelayan,” katanya. Peluang Masih Terbuka Berdasarkan laporan East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI), peluang ekonomi digital di Indonesia masih terbuka lebar. Hal itu didasari jumlah populasi Indonesia yang sangat besar. “Selain itu juga karena meningkatnya penetrasi internet serta didukung oleh infrastruktur yang memadai, tak pelak membuat daya tarik pasar digital Indonesia semakin besar,” tulis laporan EV-DCI yang dipublikasikan awal tahun. EV-DCI melampirkan kajian Google, Temasek, dan Bain Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, yang menyebut nilai ekonomi digital ASEAN-6 pada 2015 sebesar US$ 32 miliar atau setara dengan 1,7 persen PDB kawasan. Jumlahnya meningkat 3 kali lipat pada 2019, menjadi US$ 100 miliar atau sekitar 3,7 persen PDB kawasan dan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 300 miliar atau 8,5 persen PDB pada 2025. Indonesia merupakan negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN dan tumbuh paling cepat. Pada 2015, nilai ekonomi digital Indonesia baru sekitar US$ 8 miliar dan diprediksi akan mencapai US$ 40 miliar pada 2019. Pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan mencapai US$ 133 miliar. E-commerce diprediksi menjadi sektor yang akan tumbuh paling cepat dalah 5 tahun kedepan diikuti online travel, ride hailing, dan terakhir adalah online media. Selain tergambar secara makro ekonomi, perkembangan ekosistem digital juga terlihat dalam kucuran dana investasi yang mengalir pada perusahaan di sektor digital. Para pemilik dana, baik asing maupun lokal berlomba-lomba menanamkan uangnya di sektor ekonomi digital Indonesia. Sepanjang 2016 hingga semester I-2019, pendanaan yang masuk ke ekonomi digital Indonesia mencapai US$9,8 miliar atau setara Rp137 triliun dari total 820 kesepakatan. Lebih jauh dari itu, pendanaan yang masuk pada perusahaan digital Indonesia telah melahirkan unicorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: