Memindahkan Ibu Kota, Mengalihkan Pusat Peradaban

Memindahkan Ibu Kota, Mengalihkan Pusat Peradaban

OLEH: UFQIL MUBIN Sejak berabad-abad lampau, jauh sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan fisik, Pulau Jawa lebih dikenal ketimbang pulau-pulau lain di negara ini. Apa penyebabnya? Pertama, pusat pemerintahan yang dibangun di zaman kolonial berada di Batavia—sekarang dikenal dengan Jakarta. Setelah Indonesia menuai kemerdekaan dari Jepang pada 17 Agustus 1945, ibu kota negara ini pernah dipindah. Tetapi masih di Pulau Jawa. Pada 1946, ibu kota dialihkan ke Yogyakarta. Soekarno memindahkan ibu kota karena Belanda kembali melakukan agresi terhadap Indonesia. Kedua, sebagaimana negara-negara lain, pusat pemerintahan negara kerap menjadi sentral isu-isu besar yang bersentuhan dengan hajat hidup masyarakat. Karena itu, “kamera dan tinta” para jurnalis lebih banyak menyorot isu-isu di ibu kota. Praktis, segala hiruk pikuk persoalan bangsa ini diolah, diinformasikan, dibahas, dan diselesaikan di Jakarta. Ketiga, universitas-universitas ternama berdiri beriiringan dengan informasi dan pembangunan yang massif di ibu kota negara. Orang-orang berdatangan. Berhimpun layaknya semut. Stasiun televisi dan media-media ternama pun berdiri menyorot perkembangan pembangunan ibu kota. Indonesia seolah-seolah direpresentasikan dengan Pulau Jawa. Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan, dan Papua, baru belakangan ini disorot seiring pembangunan di pulau-pulau tersebut. Tetapi peradaban Indonesia sudah terlanjur tersemat begitu rupa di tanah Jawa. Kerajaan Kutai berdiri lebih awal daripada kerajaan Mataram dan Majapahit. Namun berapa banyak orang yang mengenal kerajaan Kutai? Padahal kerajaan Majapahit berdiri pada abad ke-15. Sementara kerajaan hindu Kutai telah berdiri sekira 11 abad sebelum itu. Tepatnya, kerajaan tertua di Nusantara itu berdiri di abad ke-4. Berapa banyak buku yang menceritakan kerajaan Kutai? Tentu saja ada. Namun tak semasif kisah-kisah heroik di balik perkembangan kerajaan Mataram dan Majapahit. Pembangunan di luar pulau Jawa pun tak kalah tertinggal. Beberapa penelitian menyebut, dibutuhkan waktu 50 tahun bagi pulau-pulau di luar Jawa untuk mengejar ketertinggalan infrastrukturnya. Kita bisa memperhatikan infrastruktur dasar seperti jalan raya di Kalimantan Timur (Kaltim). Tak semua desa terhubung dengan infrastruktur. Tak ada jalan raya yang menghubungkan Samarinda dan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu). Untuk sampai ke sana, kita harus menyusuri sungai berkelok. Padahal masih satu provinsi. Jaraknya 314 kilometer. Listrik pun begitu. Sebanyak 289 desa di Bumi Etam belum teraliri listrik. Karena itu, terlepas dari pro dan kontra yang berkembang di publik Indonesia, pemindahan ibu kota negara tidak semata memindahkan pusat pemerintahan. Tetapi lebih dari itu. Mengalihkan pusat pemerintahan dari DKI Jakarta ke sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) adalah ikhtiar kita untuk membangun Indonesia sentris. Pusat-pusat peradaban baru akan bermunculan di ibu kota yang baru. Infrastruktur Kalimantan akan terhubung dengan Sulawesi. Kelak, kita akan lebih dekat dengan keelokan rupa, keindahan budaya, toleransi, dan keramahan suku-suku asli di Kalimantan. (qn/Jurnalis Disway Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: