Relevansi Konsepsi Islam untuk Perdamaian Dunia

Relevansi Konsepsi Islam untuk Perdamaian Dunia

OLEH: NUR HASANAH* Pluralitas agama merupakan sebuah kondisi nyata. Yang tak bisa dimungkiri dalam kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya setiap agama merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Tuhan atau sesuatu yang dianggap realitas mutlak oleh penganut agama. Manusia menyadari hakikat keberadaannya di dunia. Selain itu, agama menawarkan jalan menuju keselamatan dan menghindari penderitaan. Oleh sebab itu, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Agama senantiasa mendorong manusia berbuat kebajikan. Beragam pertemuan telah dilaksanakan antara  penganut agama. Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah kerja sama. Namun tidak sedikit pula yang mengakibatkan perselisihan. Bahkan konflik. Dari sudut keyakinan, perselisihan antarpemeluk agama disebabkan klaim eksklusif atas wahyu keselamatan. Yang merupakan penegasan atas identitas khas suatu kelompok. Dalam perkembangan selanjutnya, suatu kelompok agama berusaha menunjukkan dan memaksakan klaim keselamatan esklusif pada orang lain. Yang sebenarnya telah memiliki suatu klaim keselamatan ekslusif. Pertentangan klaim inilah yang merupakan salah satu penyebab timbulnya perselisihan antarpemeluk agama. Yang acap muncul adalah pemahaman bahwa agama yang paling benar dan diakui di sisi Tuhan hanya Islam. Inilah yang akhirnya menimbulkan klaim kebenaran (truth claim) di antara agama-agama abrahamic religion. Akibatnya, muncul bibit permusuhan antara pemeluk agama. Perang suci hadir untuk membela agama yang dianggap paling benar, menyelamatkan, dan pemberi rahmat. Gejala tersebut dikenal dengan theological killing. Theological killing merupakan suatu ajaran yang muncul pada abad pertengahan. Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13 masehi. Efek lanjutannya, terjadi serial Perang Salib antara umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Tiga agama Abraham ini saling menghancurkan, membunuh, dan mengakuisisi satu sama lain. Klaim paling sempurna dan pemilik pertolongan dari hadapan Tuhan dianggap sebagai bibit fundamentalisme agama di tiga agama ini. Dalam jangka panjang, relasi yang tidak harmonis itu mengakibatkan suramnya masa depan kemanusiaan. Tragedi September 2001 yang menghancurkan gedung World Trade Center (WTC) di Washington DC, Amerika Serikat, merupakan contoh aktual fonomena yang mengindikasikan tentang rentan dan rumitnya persinggungan antara agama dan politik. Kompleksitas persoalan ini terinterpsentasikan dalam sebuah pemaknaan yang cukup kontroversial dan problematis. Pasca tragedi tersebut, spontan mencuat di permukaan isu terorisme. Yang kelak menjadi wacana global. Gejala terorisme internasional secara nyata berdampak sangat serius. Terhadap kurang harmonisnya relasi antara beberapa negara. Yang mayoritas penduduknya menganut Islam. Dengan beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh sebagian kalangan, acap digeneralisasi pada relasi antara Islam dan Barat. Imbas perang melawan terorisme global bukan hanya sekadar berbentuk aksi pemboikatan terhadap produk-produk buatan Barat. Tetapi juga kekerasan fisik dan aksi-aksi teror semakin subur. *** Selama ini, kita sering menyebut era globalisasi. Tetapi pemahaman tentang globalisasi tampaknya hanya sebatas perkembangan teknologi. Khususnya teknologi dan informasi. Kita kurang menyadari bahwa kita sedang berada dalam lingkaran globalisasi dan pluraslime agama dan etnis. Kesadaran tentang hal ini amat perlu dibangun dalam rangka mengkaji kembali konsep-konsep keberagaman yang dianggap mapan dalam kehidupan umat beragama. Dalam Islam, konsep-konsep yang dimaksud seperti konsep dakwah, superiorisme, dan monopoli keselamatan eskatologis. Dalam sejarah agama-agama, ada dua fenomena agama yang menonjol. Pertama, agama selalu berkaitan dengan masalah sosial di mana pengikut awalnya adalah masyarakat yang termarginalkan, didera deprivasi dan penindasan. Kedua, agama merupakan sumber perubahan sosial. Karena itu, konflik-konflik merupakan manifestasi dari konflik sosial yang mengeksploitasi simbol-simbol keagamaan. Agama sering dituduh sebagai sumber masalah terjadinya konflik di masyarakat. Sebagai bangsa yang memiliki keberagaman dan kemajemukan agama, hal itu dapat menjadi faktor integrasi di Indonesia. Namun dalam beberapa hal, agama dapat menjadi faktor disintegrasi. Kekhasan itu sangat mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Ajaran misionarisme mengharuskan setiap penganut agama untuk menyebarkan dan mempropogandakan ajaran-ajaran agamanya pada manusia. Setiap pemimpin agama berlomba-lomba mencari pengikut. Dalam Islam, istilah tersebut disebut amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan). Sebagian umat Islam memahami bahwa mereka harus giat menyeru manusia untuk masuk Islam. Sebab jika seseorang tidak beragama Islam, maka dianggap kafir. Ambisi setiap penganut agama mencari pengikut sering direalisasikan dalam bentuk paksaan. Baik secara halus maupun secara terang-terangan. Menarik dikemukakan di sini satu ayat Alquran yang intinya menyadarkan Nabi Muhammad SAW agar tidak berpretensi memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya. “Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman?” Dengan mencermati ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi distorsi pemahaman agama Islam. Sejatinya Islam lebih menekankan kasih sayang agar manusia saling mengasihi sesamanya. Pada hakikatnya sikap saling mengasihi sesama manusia inilah yang akan mewujudkan kebajikan dan melenyapkan kejahatan di masyarakat. *** Di dalam agama besar kuno dan tradisi etika umat manusia, kita menemukan istilah positif atas penghargaan pada kehidupan. Tentu di mana pun manusia berada pasti ada konflik. Namun demikian, konflik harus diselesaikan tanpa kekerasan. Dasarnya, suatu kerangka kerja keadilan. Hal ini berlaku untuk individu-individu maupun antarbangsa. Perang adalah jalan yang salah. Pelucutan senjata merupakan tuntutan zaman dan kelangsungan hidup setiap manusia harus dilindungi. Majid Khudduri menegaskan, Islam melarang segala bentuk peperangan bagi umat Islam. Jika terpaksa diadakan perang, setiap orang harus menghindari pertumpahan darah dan menghormati hak milik musuh. Islam menjadi pelengkap dari agama-agama sebelumya. Yang menjelaskan, memurnikan, dan menyempurnakan agama-agama yang melenceng dari ajaran Allah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan cinta kasih. Ajaran ini tak mudah diterima oleh bangsa-bangsa Arab yang notabene memiliki sifat keras. Namun demikian, Islam berkembang atas dakwah yang dilaksanakan secara damai pada orang-orang pribumi, mempersatukan suku bangsa, bahasa dan norma-norma. Islam tidak menggeser orang-orang pribumi dari tradisi asalnya dan tidak disebarkan melalui kekerasan. Dalam Islam, gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat mendasar dan mendalam. Karena berkaitan erat dengan watak agama Islam. Bahkan merupakan pemikiran universal Islam mengenai alam, kehidupan, dan kemanusiaan. Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan praktek kekerasan dan cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan sesuatu yang dianggap sakral. Hal itu bukanlah cara-cara yang Islami. Di dalam tradisi Islam, tidak dikenal label radikalisme. Karena jelas dalam surah Al Anbiya ayat 107, “Sesungguhnya kami tidak mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Islam sebagai agama yang membawa misi perdamaian dengan tegas mengharamkan kepada umat manusia melakukan kezaliman kapan dan di mana pun. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Furqan ayat 19, “Sesungguhnya mereka telah mendustakan kamu tentang apa yang kamu katakan. Maka kamu tidak akan dapat menolak azab dan tidak pula menolong dirimu. Dan barang siapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya kami timpakan kepadanya azab yang besar.” Persamaan derajat antara manusia merupakan penekanan dalam ajaran Islam. Tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan lainnya. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi yang adil dan janganlah kamu sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam terminologi Alquran, misi suci disebut rahmatal lil ‘alamin. Rahmat bagi seluruh semesta. Perspektif Islam tersebut tidak hanya berangkat dari kerangka-kerangka teologis Islam. Tetapi juga berpijak dari pengalaman historis manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Islam mengajarkan prinsip-prinsip kemanusiaan atau mengatur hubungan antara manusia. Prinsip-prinsip tersebut pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara positif dan optimis tanpa perbedaan warna kulit maupun bangsa. Perbedaan bergantung pada tingkat ketakwaan. Prinsip selanjutnya dalam perspektif Islam adalah manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Maka dengan fitrahnya manusia dianugerahi kemampuan dan kecenderungan bawaan untuk mencari, mempertimbangkan, memahami kebenaran yang pada akhirnya membuat dirinya mampu dan mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran tersebut. Islam mengajarkan manusia menghindari perpecahan dan segala perselisihan yang bermaksud memecah belah umat. Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya termaktub dalam Alquran dan Hadis. Islam menekankan setiap orang menghindari ujaran kebencian pada umat beragama. Hal itu tergambar dalam ucapan Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat. Tetapi saya diutus untuk memberi rahmat.” Jadi, memahami Islam secara tepat dan benar dapat menciptakan masyarakat adil dan berprikemanusiaan. Prinsipnya, setiap penganut agama Islam melakukan dialog secara kontinu. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menegaskan, dalam hal Islam diperhadapkan dengan realitas sosial, maka Islam harus dipahami secara tepat. Supaya terciptan masyarakat adil makmur dan berprikemanusiaan. Selanjutnya di era yang sangat modern ini, Islam harus dipahami secara bebas sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Oleh sebab itu dalam memosisikan hal tersebut, dibutuhkan sikap moderat sebagai bentuk kosmopolitanisme Islam dan dinamisasi Islam. (qn/*Mahasiswi di Program Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: