Saya mendadak injak rem. Setelah dua jam mengemudi di pegunungan tinggi yang sangat sepi. Ada papan nama kecil yang tiba-tiba mencuri mata saya: Welcome to Starbuck. Kota kecil ini jauh dari mana-mana. Desa terdekatnya saja 50 km dari sini. Sekitarnya hanya gunung dan gunung. Hanya kadang ada sungai jernih meliuk jauh di bawah sana.
Saya tidak pernah mendengar Starbucks Coffee lahir dari kota kecil ini. Atau asal kopinya dari sini. Atau pendirinya kelahiran kota ini.
Saya pun belok ke jalan masuk Kota Starbuck. Sepi. Sunyi. Ingin tahu apa hubungan kota ini dengan Starbucks Coffee. Tidak terlihat ada manusia.
Saya coba saja masuk ke pekarangan sebuah rumah. Khas pedesaan Amerika: ada rumah tinggal dan ada dua bangunan terpisah. Salah satunya untuk gudang.
Juga tidak ada orang.
"Any body home?" teriak saya di depan terasnya.
Tidak ada respons.
Saya ulang teriakan itu tiga kali. Dengan teriakan yang lebih keras. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Padahal ada sebuah mobil terparkir di halaman. Siraman air otomatis berputar di taman ya. Puluhan sapi merumput di tanah lapang sebelah rumah.
Tapi tidak ada manusia.
Rumah tetangganya juga jauh: lebih 200 meter. Juga seperti tidak ada manusia.
Kembali ke mobil.
Saya coba datang ke bangunan yang jauh di sana. Ternyata bangunan sekolah. Dari jauh terlihat ada bus sekolah khas Amerika: warna oranye mencolok. Lagi parkir di halamannya. Sunyi. Sepi. Mamring.
Ups... ada wanita di balik pagar sekolah itu. Sendirian. Lagi mencabuti rumput di sebelah pagar. Saya pun menghentikan mobil.
"Good morning...," sapa saya.
Wanita itu mendongak. Saya pun turun dari mobil. Untuk memperkenalkan diri asal usul saya.
"Maafkan, saya hanya ingin tahu apakah kota Starbuck ini ada hubungannya dengan Starbucks Coffee?"
“Sama sekali tidak ada," jawabnya ramah.
"Siapa tahu pendiri Starbucks lahir di desa ini....".
"Tidak".
Wanita itu ternyata kepala sekolah. Sekolahnya lagi libur dua bulan. Libur musim panas. Rumah yang pertama saya datangi tadi ternyata rumahnya. Suaminya lagi bekerja di sawah. Ia membersihkan sekolah sendirian.
"Mungkin dua tahun lagi sekolah ini akan ditutup," ujar kepala sekolah itu.
Namanya: Louann Truesdale.
Alumni Washington State University di Pullman. Jurusan pendidikan.
Murid sekolah ini memang hanya 24 orang. Termasuk TK sampai kelas 8. Gurunya 3 orang. Ditambah satu kepala sekolah dan satu sopir bus. Sopir bus itu pun merangkap tukang potong rumput dan bersih-bersih.
Kepala sekolah itu pun merangkap apa saja: menyiapkan makan siang murid, mengajar, membuat peraga, dan membenahi yang tidak rapi.
Begitu sedikit muridnya. Kalau satu tingkat harus satu kelas gurunya tidak cukup. Ruangannya juga mubazir.
Maka satu ruang pun diisi 8 murid yang beda-beda kelasnya. Murid kelas 6-7-8 jadi satu ruangan. Kelas 3-4-5 satu ruang. Kelas 1-2 satu ruangan. TK dan playgroup satu ruangan.
Kota Starbuck ini penduduknya memang hanya 300 orang. Dipimpin seorang walikota dan dewan kota.
Saya sendiri tidak menyangka akan lewat kota kecil ini. Dalam perjalanan darat dari Kota Lewiston di Idaho ke Seattle di negara bagian Washington. Saya memang sengaja lewat pedesaan. Lewat jalan-jalan kecil. Naik-turun gunung. Lewat lautan ladang gandung yang siap panen.
Di daerah selatan sudah bulan lalu panen. Seperti Texas. Lalu giliran wilayah lebih Utara. Seperti Oklahoma. Kansas. Dan kini Washington State.
Gejala di pedesaan Amerika ternyata sama saja dengan di mana saja. Kian ditinggalkan penduduknya. Terutama anak mudanya. Banyak sekali kota kecil di pedalaman yang kini penduduknya hanya sekitar 100 orang.
Dulu, tahun 1980-an, penduduk Kota Starbuck masih 2000-an orang. Dulu ada kereta api lewat sini. Dulu juga ada proyek bendungan. Sekarang hanya ada pertanian.
Pun sejak dua tahun lalu lebih parah lagi. Pemerintah negara bagian Washington menghentikan anggaran untuk sekolah ini.
"Lalu, dari mana gaji Anda?“ tanya saya.
"Dari sisa saldo lama," katanya.
Sekolah ini adalah sekolah negeri. Hanya siswa TK yang bayar uang sekolah: USD 100 per bulan. Sekitar Rp 1,4 juta.
"Saya terus memperjuangkan agar sekolah ini kembali mendapat anggaran. Kalau tidak, dua tahun lagi terpaksa tutup," katanya.
Saya pun minta izin untuk meninjau ke dalam. Dia merogok saku celananya. Mengambil kunci. Saya baca tahun yang tercantum di papan nama sekolah itu: didirikan 1882.
Sudah hampir 150 tahun.
Saya pun masuk-masuk ke semua ruangan. Ada hall olahraganya yang besar. Pun di samping sekolah ada lapangan sepak bola. Termasuk panggung mininya. Saya duduk di panggung itu bersama kepala sekolah. Seolah lagi menyaksikan pertandingan.
Kalau sekolah ini tutup, ke mana anak-anak Starbuck akan sekolah?
“Harus naik bus sejauh 50 km. Di sana ada sekolah," katanya.
Saya mengelus dada. Dalam. Hati.
Saya pun pamit. Masih tiga jam lagi menuju Seattle.(Dahlan Iskan)