Green Generation, dari Segga ke Asia Tenggara

Green Generation, dari Segga ke Asia Tenggara

Nomorsatukaltim.com – Tak dinyana, SMP Negeri 3 Balikpapan yang dikenal dengan sebutan Segga, menjadi rahim lahirnya Green Generation. Sebagai pionir, Segga terus menularkan kecintaan lingkungan pada tiap anak didiknya. GG kini berkembang menjadi salah satu NGO (Non Government Organization) dan NPO (Non Profit Organization), yang dibentuk di Balikpapan pada 22 Agustus 2009 di SMP Negeri 3 Balikpapan. Namun di sekolah ini, GG menjadi salah satu ekskul yang banyak diminati siswa. Sejak lahirnya hingga kini GG kian berkembang pesat. Green Generation Indonesia bahkan telah menyebar di hampir 32 provinsi. Meski pada setiap provinsi tak semua kota atau kabupaten sudah memiliki GG. Di GG, secara umum serupa organisasi lingkungan hidup. Namun, elemen utamanya dibidani para pelajar. “Alhamdulillah, iya benar GG lahir di sekolah ini. Sekarang sudah menyebar kemana-mana, Asia Tenggara sampai mendunia,” ujar Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Balikpapan, Eny Wahyuni, ditemui Selasa (18/7/2023). Eny berkisah sejarah berdirinya GG. Sebagai komandan di sekolah yang mencetuskan Green Generation, ia berharap target minimal dari GG ini, para siswa bisa mencintai lingkungan. Paling tidak, mereka tidak lagi membuang sampah sembarangan. “Kita berupaya mencetak generasi yang peduli lingkungan. Karakter cinta lingkungan itu yang akan dibentuk GG. Coba amati saja lingkungan di sini, alhamdulillah, bersih semua kan,” ujar Eny, yang semasa kecilnya mengaku kerap bermain dengan Dahlan Iskan. Apa yang dibicarakan Eny, memang benar adanya. Saat media ini dipersilakan berkeliling ke lingkungan sekolah Segga, mata begitu sedap memandang pemandangan yang bersih dan hijau. Sejumlah piala juga tampak berjejer. Dengan ragam prestasi. Apa sih yang ditonjolkan Green Generation? Ditanya itu, Eny menjawab, khususon ekskul GG di Segga, pihaknya tak hanya mendidik untuk membuang sampah di tempatnya. Tapi para siswa juga diajarkan belajar mengelola sampah, membuat pupuk kompos, mengubah bekas minyak jelantah menjadi oli atau hal bermanfaat lain. Termasuk membuat pakaian dari sampah daur ulang. “Macam-macam yang diajarkan. Saya tidak mentarget semua anak, tapi jika hanya separo dari mereka bisa mencintai lingkungan, saya sudah senang sekali. Ini proses yang sangat panjang, tak bisa instan,” jelasnya. Eny sendiri telah menjadi Kepsek SMP N 3 Balikpapan sejak tujuh tahun silam, namun mengajar di sekolah ini sejak tahun 1987. Bulan Januari tahun depan, ia mengaku akan memasuki masa purna tugasnya, pensiun. Eny mengingatkan, mendidik agar siswa mencintai lingkungan sejak SMP, itu lebih mudah. Karakternya masih bisa dibentuk. Usia pelajar masih memiliki akses yang begitu mudah melakukan kegiatan yang bisa dimulai dari sekolah, lalu di rumahnya, lantas menyebar ke lingkungan mereka. “Akhirnya bisa mencetak generasi muda yang peduli dan berbudaya lingkungan,” terang Eny. Ia berharap Green Generation bisa menjadi wadah bagi generasi muda untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Sekaligus dapat mengutamakan keberlangsungan lingkungan dengan mengubah paradigma berpikir generasi muda agar mampu selalu peduli dan mencintai lingkungan. Menurut Eny, ada dua mahasiswa asing yang sampai belajar soal lingkungan di SMP Negeri 3 Balikpapan. Yakni mahasiswa dari Malaysia dan Rusia. Mereka tertarik dengan aktivitas GG. Salah satunya membuat skripsi terkait GG di Segga. “Mereka mengaku heran, kenapa siswa SMP sudah bisa mencintai lingkungan. Kalau di Rusia mulai digalakan cinta lingkungan kan SMA. Kok di sini SMP sudah bisa peduli,” ujar Eny. Kokohkan Karakter Selain menonjol soal prestasi akademik dan lingkungan hidup, Segga juga memiliki museum pramuka. Museum ini diklaim sebagai museum pertama dan satu-satunya di Indonesia, yang mengoleksi pelbagai hal soal pramuka. “Tidak hanya foto-foto, tapi banyak benda-benda klasik terkait pramuka. Misalnya topi Jambore Dunia, dan lainnya,” tuturnya. Selain itu ada pula perpustakaan besar yang diberi nama Lingua Shorea. Perpustakaan ini menjadi salah satu dari tiga perpustakaan sekolah terbaik di Kaltim. Koleksinya ribuan buku, tak hanya buku ajar. Tapi lebih banyak buku fiksi dan non fiksi. Lingua, jelas Eny, maknanya bahasa. Sedangkan Shorea artinya meranti, disadur dari bahasa latin. "Meranti kan kuat, jadi makna filosofis Lingua Shorea, kami berharap perpustakaan ini bisa mencetak generasi yang kuat literasi," terangnya. Di dalam perpustakaan yang diresmikan Wali Kota Rahmad Mas'ud pada September 2022, itu, banyak koleksi literatur. Bahkan juga novel. “Ada novel Tere Liye juga, lengkap. Dan ini terbuka untuk umum, gak hanya untuk lingkungan Segga,” terangnya. Perpusatkaan di sekolah ini ada yang offline, ada pula yang digital. Ditanya soal perkembangan digitalisasi yang digemari generasi Z, Eny menyebut pihaknya juga menyiapkan hal itu. Para siswa dididik untuk melek teknologi. Bahkan untuk tugas harian sekolah, telah menggunakan google form. Tidak lagi manual. “Termasuk sosial media dan melek apilkasi-aplikasi desain, seperti Canva, dan lain-lain,” terangnya. Para guru yang terbilang sepuh pun dituntut untuk mengikuti kemajuan teknologi digital. Saat ini Segga memiliki sekitar 75 tenaga pendidik, baik guru dan non guru. Adapun jumlah siswanya 1.200 lebih. Asa besar dari apa yang ditonjolkan Segga, lanjut Eny, pihaknya bermimpi anak-anak bisa memiliki karakter yang kokoh. “Karakter yang mencintai lingkungan, mencintai literasi dan mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan karakter yang luhur,” jelasnya. Eny, yang telah mengabdi selama 36 tahun menjadi guru, berharap, kualitas pendidikan harus benar-benar dijaga. (*/ rap) Redaktur: Rudi Agung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: