Barang Titipan
SELALU ada juru selamat yang datang. Di mana-mana. Juga di Neom. Inilah kota baru impian besar putra mahkota Mohamad bin Salman. Yang saya begitu ingin melihatnya.
Yang diselamatkan: anak Siti Khalisnah Iskan binti Nyai Sareh binti Kiai Hasan Ulama. Ia memang lagi ke Neom untuk pembaca Disway –minus perusuhnya. Saya tiba di Neom dengan mobil barang: dianggap sebagai salah satu barang yang harus dikirim perusahaan logistik. Mobilnya jenis Hiace yang sudah dimodifikasi. Saya pun diturunkan di Neom, di bagian kota baru yang paling ramai: ada kios Dunkin' Donut, ada kios sandwich, ada pula kios burger di sebelahnya lagi. Lalu ada tenda dan meja kursi. Ada kantor logistik di situ. Ada toilet. Ada musala. Di tengah-tengahnya ada gasebo bulat. Pembeli makanan dan kopi bisa duduk-duduk di situ. Ada empat TV di tengah. Menghadap ke segala sudut. Untuk nobar. Saya beli kopi satu gelas: 10 riyal. Coffee late. Gelas kecil. Saya teringat perusuh Disway: ini kalau dibelikan kopi sachetan bisa untuk satu RT. Yang penting saya punya alasan ikut duduk di situ. Saya harus berpikir tenang: selanjutnya saya harus bagaimana. Di sekitar lokasi itu hanya ada padang pasir. Gunung batu. Dan angin kencang. Di sebelahnya ada highway. Sibuk. Kendaraan berat bercampur mobil-mobil jenis off-road. Mobil yang mengangkut saya sudah pergi. Bersama barang antaran lainnya. Barang beneran. Saya pun terjebak di kesunyian. Kesunyian yang amat bising. Berdebu. Berderu. Otak saya lebih berdebu lagi. Saya harus ke mana. Pakai apa. Tempat ini hanya semacam rest area. Saya memang harus istirahat tapi mestinya tidak di tempat seperti ini. Saya sudah 12 jam naik bus dari Madinah. Ke arah utara. Lalu naik mobil antar barang itu 1,5 jam. Sudah lebih 1.000 km saya melewati gurun dan gunung batu. Dan kini berhenti di tengah gurun bergunung. Yang membuat saya tenang: ada uang cukup di dompet. Istri saya memasukkan sejumlah riyal ke situ sebelum berpisah di Madinah. Yang bikin tenang lainnya: ada yang jual makanan. Minuman. Ada tenda, ada kursi, ada toilet, ada musala. Yang sangat penting: ada colokan listrik. Tidak takut kehabisan baterai. Komunikasi bisa terjaga. Pun bisa menulis untuk Disway. Nikmat mana lagi yang masih harus didustakan. Yang saya tidak bisa berdusta: saya diliputi kekhawatiran. Bahasa Arab saya juga parah untuk daerah di begini pelosok. Kalau saya berbahasa Inggris hanya dijawab gelengan kepala. Saya harus segera keluar dari jebakan ini. Tapi bagaimana caranya. Lebih khawatir lagi, saya belum menulis naskah untuk Disway. Belum juga memilih komentar pilihan. Lalu saya ingat uang di dompet. Tenang lagi. Matahari kian tegak di atas ubun. Terik. Silau. Tapi tidak panas. Angin kencang mengembuskan udara sejuk. Sesekali raja udara itu juga membadaikan debu berpasir. Saya pilih menulis dulu. Soal yang paling gampang: datangnya juru selamat Adani. Lalu memilih komentar. Mungkin komentar yang masuk terlalu sore tidak sempat terpilih. Setelah semua itu selesai saya baru bisa berpikir tenang: harus ke mana dan naik apa. Saya lihat ada bus besar Saptco datang dan berhenti di sebelah burger. Juru selamat pun datang. Saya ingin menyelesaikan pemilihan komentar dulu baru ke sana. Lalu saya melekaskan langkah menuju bus. Pintu sudah tertutup kembali. Mesin tetap berbunyi. Saya ketok pintu itu. Tak ada jawaban. Mungkin sopirnya ke toilet. Toh mesin masih menyala. Saya mengenal baik bus Saptco. Terkenal di Arab Saudi. Lama sekali saya tunggu di dekat bus. Tidak ada juga orang muncul. "Di mana sopirnya?" tanya saya kepada sopir truk asal Bangladesh yang mau beli kopi. "Mungkin tidur. Ini bus untuk angkut karyawan," tambahnya. Rupanya ia melihat saya membawa tas. Ternyata bus itu bukan penyelamat. Saya kembali duduk di "pujasera" rest area padang pasir itu. Satu jam berlalu. Mesin bus tetap menyala. Terdengar suaranya. Sopirnya tiada. Dua jam berlalu. Tiga jam. Mesin tetap menyala. Saya pun mulai mengail di padang pasir. Setiap ada mobil datang, untuk membeli makanan, saya lemparkan umpan: boleh ikut? “Ke mana?" tanya seorang bule. Namanya Kenny. Asal Glasgow selatan Skotlandia. Namanya mengingatkan saya pada bintang sepak bola dari sana: Kenny Dalglish. "Ke mana saja. Yang penting keluar dari sini". Ia pun pergi. Tapi memberi nomor HP. "Kalau ada kesulitan hubungi saya," katanya sambil berlalu. Ia buru-buru. Terikat jam kerja di proyek kota baru ini. Ada lagi yang lain datang. Tidak sempat menjawab. Yang lain lagi menggelengkan kepala. Sampai orang ke-15. Target orang ke-15 meleset. Saya harus bersabar. Pasti akan datang orang baik. Saya sudah menenangkan pikiran untuk siap yang terjelek: bagaimana harus bermalam di padang pasir ini. Toh ada toilet. Ada musala. Ada roti selebar payung kecil di tas kresek. Ada air. Mungkin hanya dingin. Angin kencang. Saya tidak boleh takut sebagaimana ancaman hujan dan badai di Cikeusik. Sabar. Kuncinya sabar. Setelah lima jam bersabar, datanglah juru selamat yang sesungguhnya. Anak muda. Berwajah Pakistan. Ia membuka laptop dan menyeruput air putih dari botol plastik. Namanya Zahid Raja. Kerja di proyek Neom. Ia menginterogasi saya: bagaimana bisa tiba di kota yang sedang diaduk-aduk tanahnya ini. Ia sendiri belum banyak tahu Neom. Baru satu bulan di situ. Ternyata saya pernah ke kampungnya di Punjab. Itu membuat pembicaraan lebih akrab. Datang pula seorang muda berwajah Tionghoa. Saya sapa dengan bahasa Mandarin. Ternyata ia dari Hangzhou. Saya sapa lagi pendatang baru. Bule. Dari Jerman. Gazebo itu pun penuh. Orang dari berbagai penjuru dunia ada di situ. Mereka bekerja di proyek kota baru Neom. Mereka makan siang. Akhirnya si Pakistan membawa saya ke satu tempat 15 km dari situ. Mobilnya Hyundai. Ada hotel di situ. Tapi sudah penuh dikontrak jangka panjang oleh kontraktor Neom. Di pinggir laut Merah nun di sana juga ada beberapa hotel bintang lima. Sama. Penuh. Untuk eksekutif proyek Neom. Inilah kota baru yang panjangnya 200 km lebarnya 100 km. Memanjang di pantai Laut Merah sisi utara. Dekat dengan Teluk Aqabanya Jordania. Neom lebih dekat ke Petra daripada ke Makkah. Kota Neom akan menjadi kota wisata terbesar di Timur Tengah. Ini misi Putra Mahkota Muhammad bin Salman. Truk, kontainer, doser, ekskavator mondar-mandir sibuk sekali. Tidak ada taksi. Lokasi kota baru ini sengaja dipilih di situ karena sejarahnya. Atau legendanya. Di kawasan inilah Lawrence of Arabia berlokasi. Di pantai ini pula Nabi Musa naik dari laut Merah yang ia belah dengan tongkatnya. (Dahlan Iskan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: