Siasat Menghadapi Bencana Ekologis Air Bangar

Siasat Menghadapi Bencana Ekologis Air Bangar

Nomorsatukaltim.com – Di penghujung tahun 2022, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Balikpapan mengingatkan masyarakat terhadap air pasang kategori tinggi. Hal itu disampaikan Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan BMKG Balikpapan Diyan Novrida belum lama ini. Gelombang air pasang di perairan Kaltim terjadi saban tahun. Setelah pasang, akan diikuti surutnya air yang berdampak terjadinya fenomena air bangar. Air bangar termasuk salah satu fenomena alam yang terjadi sejak dulu, terutama di perairan Sungai Mahakam, Samarinda, Kaltim. Kejadian berulang ini dikategorikan sebagai bencana ekologis yang terjadi setiap tahun. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kaltim, Irhan Hukmaidy, menjelaskan biasanya fenomena air bangar terjadi saat pergantian musim antara musim kemarau ke musim penghujan, dan sebaliknya. Pergantian musim itu menyebabkan perubahan beberapa parameter kualitas air yang sangat singnifikan. Ia mengilustrasikan, misalnya rendahnya oksigen terlarut dalam air, rendahnya pH, tingginya H2S, tingginya kadar zat amoniak dan sejumlah parameter kualitas air lain pada perairan Sungai Mahakam. “Akibatnya, kondisi itu tidak bisa ditolelir ikan,” jelas Irhan, ditemui baru-baru ini. Fenomena air bangar sebagai bencana ekologis, sambungnya, mengakibatkan berbagai jenis ikan di Perairan Sungai Mahakam menjadi stres atau bahkan mati. Sebab kandungan airnya berisi racun amonia, nitrit, konsentrasi sulfida serta parameter lain yang tinggi hingga membuat tak dapat ditoleransi ikan. Menurut Irhan, fenomena air bangar ditandai berubahnya warna air sungai menjadi coklat kemerahan. Selain itu air sungai juga menimbulkan bau menyengat. Hal itu disusul kondisi matinya pelbagai jenis ikan. “Kematian ikan tidak hanya terjadi di Samarinda, tetapi juga terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan umumnya di sepanjang aliran Sungai Mahakam,” tuturnya. Bencana ekologis air bangar terjadi di daerah-daerah tangkapan air, danau dan rawa-rawa. Biasanya, di dalamnya ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan saat musim kemarau. Setelah itu daerah danau atau rawa itu terendam air saat musim penghujan. “Tumbuhan-tumbuhan di daerah itu akhirnya mati dan membusuk, akibat terendam. Nah saat terjadi proses pembusukan, datang musim hujan seperti saat ini di daerah hulu yang mengakibatkan air danau dan rawa terdorong keluar ke aliran Sungai Mahakam,” paparnya. Kondisi itulah yang mengakibatkan mengambangnya ikan-ikan dasar perairan seperti baung dan udang. Dalam catatan media ini, fenomena matinya ikan dalam jumlah besar pernah terjadi pada awal Juni tahun 2021. Seperti kasus di Tenggarong, Kutai Kertanegara. Saat itu dari 588 pembudidaya ikan di Tenggarong, sekitar 30 persen terdampak. Bahkan di Loa Kulu, tercatat dari 1.055 pembudidaya ikan, yang terdampak air bangar sebesar 90 persen. "Kerugian di Loa Tebu sampai Loa Kulu keseluruhannya, mencapai miliaran," ujarnya. Untuk menghadapi bencana ekologis air bangar, sambung Irhan, pihaknya melakukan sejumlah langkah taktis. Di antaranya, memberi imbauan kepada pembudidaya ikan agar menahan untuk menebar ikan sebelum air di Sungai Mahakam normal. “Kami jemput bola mengingatkan pembudidaya. Mereka juga diimbau agar tidak memberi makanan kepada ikan. Alasannya kalau diberi makan, ikan harus membutuhkan oksigen. Sedangkan saat bangar, oksigen di perairan Mahakam sedang tipis,” jelasnya. Dalam kondisi air bangar, diperoleh hasil kadar oksigen yang rendah, yaitu di bawah 2. Padahal normal kadar oksigen yang paling bagus di angka 7. “Tapi biasanya air di sungai berkisar antara 5 sampai 6," paparnya. Begitu juga pada Kadar PH, untuk angka ideal kadarnya berada di angka 7. Namun dari hasil uji yang didapatkan ada di angka 4 sampai 5 saja. "Air bangar itu dari cenderung kombinasi, yaitu oksigen rendah dan kadar PH juga rendah," jelasnya. Dari temuan pihaknya di Kecamatan Loa Kulu, Kukar didapati fakta kadar oksigen yang diukur di beberapa titik hanya 0,5 sampai 0,7 ppm (part per million). Idelanya, kadar oksigen sekitar 3 ppm. Tingkat keasaman atau pH yang terganggu menimbulkan ketidakseimbangan kadar karbondioksida. Normalnya, pH di perairan tawar antara 6,0 hingga 8,5. Saat terjadi air bangar, kadar pH air bisa lebih asam atau di bawah 6. Bahkan bisa sangat basa di atas 9. Perubahan tingkat keasaman air yang instan ini menyebabkan kematian massal ikan. Kebanyakan sejumlah ikan di tambak mati karena perubahan tingkat keasaman tersebut. Di tempat buidaya ikan sangat sensitif terhadap perubahan tingkat keasaman. Langkah lain untuk menyiasati datangnya air bangar, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim kerap melakukan uji kadar pH. “Kita kan punya laboratorium kesehatan lingkungan, nah itu kita sudah mulai menjaga, paling tidak saya bilang setiap minggu kalian itu mengecek kadar pH. Jadi dalam satu minggu kita bisa ngerange bahwa oh ini akan terjadi fenomena bangar, nah itu nanti kita sampaikan kepada dinas Kota. Karena yang paling terdampak sih sebenarnya Samarinda dan Kukar,” jelasnya. Irhan mengingatkan para pembudidaya ikan untuk bisa bertahan saat air bangar datang. Beberapa hal yang patut dilakukan, mengurangi komposisi pemberian pakan ikan. Memberi aerasi buatan sebagai area penambahan oksigen di keramba ikan. “Selain itu tidak melakukan penebaran benih saat kualitas air Sungai Mahakam menurun,” ingatnya. Langkah berikutnya, segera lakukan pemanenan pada ikan yang dinilai telah mencapai ukuran konsumsi. Yang tidak kalah penting, sambungnya, segera memindahkan ikan secepatnya ke perairan yang tidak bangar seperti anak sungai dan kolam penampungan. “Langkah-langkah ini perlu dilakukan para pembudidaya saat kondisi air bangar akan datang,” jelasnya. Reporter: Taufik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: