Apa Ada Sanksi Hukum Bagi Pihak Yang Menahan Ijazah Pelaut?

Apa Ada Sanksi Hukum Bagi Pihak Yang Menahan Ijazah Pelaut?

Oleh: Dwiyono Soeyono- Perwira Pelayaran Niaga Tindakan menahan ijazah dapat diganggap sebagai persoalan serius dan memiliki potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya, ijazah yang ditahan kerap dijadikan alat jebakan untuk menekan pekerja. Sehingga tidak bisa memperoleh hak pemiliknya secara maksimal untuk mencari nafkah keluarga. Kecenderungan fenomena seperti ini akan menjadi trend dalam kehidupan perburuhan secara umum karena model industrinya mengarah ke sana. Mengingat ada celah abu-abu dalam perangkat hukum hubungan industrial. Kontrak kerja itu seyogyanya harus menjunjung tinggi azas niat baik. Tidak ada jaminan dan sebagainya. Ini juga menyalahi Undang-Undang Ketenagakerjaan serta tidak menghargai hak milik dan berpotensi menghambat . Ijazah adalah dokumen hak pemilik yang menyatakan bahwa pemilik telah menyelesaikan dan berhasil mempelajari suatu tingkatan ilmu dan pelajaran. Ijazah diberikan di setiap tingkatan sampai pada tingkat Pendidikan Tinggi yang merupakan bukti tertulis bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikannya dan dianggap sudah memahami ilmu-ilmu yang telah diajarkan. Nah, karena itu ijazah merupakan dokumen berharga dan penting karena untuk mendapatkannya dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan dari sisi tenaga, pikiran, waktu, dan biaya. Demikian hal yang sama berlaku secara hokum bagi Pelaut yang memiliki dokumaen kepalautan termasuk ijazah. Namun, bagaimana apabila ijazah yang telah didapatkan Pelaut dengan perjuangan keras itu ditahan oleh perusahaan atau lembaga tempat kita bekerja? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sejatinya tidak ada aturan yang memperbolehkan perusahaan untuk menahan surat-surat berharga milik karyawan, termasuk ijazah. Penahanan ijazah oleh perusahaan ini kerap terjadi saat hanya bila telah ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha ini biasa dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja. Baik secara lisan maupun tertulis. Jadi hak untuk menahan ijazah pekerja lahir dari perjanjian atau kesepakatan kerja bukan peraturan ketenagakerjaan. Maka dari itu, apabila ada klausul penahanan ijazah dalam perjanjian kerja yang kemudian disepakati oleh si pekerja, maka penahanan ijazah tersebut adalah sah menurut hukum. Mengapa? Karena berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian adanya kesepakatan kedua belah pihak. Namun sayangnya dalam kondisi seperti ini, posisi si Pelaut menjadi lemah dan dirugikan karena sering kali terjadi situasi dimana ijazah pekerja tetap ditahan dan tidak dikembalikan saat yang bersangkutan memutuskan untuk berhenti bekerja. Bahkan terkadang perusahaan menahan ijazah pekerjanya tersebut untuk meminta ganti rugi saat si pekerja ini berhenti bekerja. Karena hal inilah kemudian si pekerja kehilangan kesempatannya memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Dan ada kemungkinan tuntutan harus membayar penalti sebagai uang tebusan untuk mendapatkan ijazahnya kembali bilamana Pelaut mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir. Penahanan ijazah ini merupakan penahanan atas benda jaminan karena dalam kasus ini ijazah digunakan sebagai jaminan kontrak kerja antara perusahaan dan pekerja. Hal ini merupakan wujud dari perkembangan benda jaminan yang telah mengalami penafsiran ekstensif. Karena pada dasarnya benda jaminan adalah sesuatu yang memiliki sifat kebendaan yang dialihkan dan memiliki nilai ekonomis. Yang mana disini tidak tampak adanya kenyataan bahwa ijazah dapat dialihkan maupun memiliki nilai jual. Selain itu, faktor belum adanya peraturan eksplisit yang secara tegas mengatur hal ini menjadikan Pelaut sangat dilemahkan posisinya dan sangat dirugikan atas kekosongan hukum ini. Lalu, upaya apa yang dapat ditempuh Pelaut saat ijazahnya ditahan oleh perusahaan sedangkan si Pelaut memutuskan untuk berhenti bekerja? Pelaut harus memastikan dahulu perjanjian kerja dengan perusahaan yang telah disepakati secara seksama. Perlu diamati secara teliti apakah memang ada klausul mengenai penahanan ijazah itu atau tidak. Jika ada, maka anda dapat mengupayakan cara-cara kekeluargaan terlebih dahulu dengan membicarakan secara baik-baik kepada atasan anda dan mencoba mencari jalan keluar bersama agar kedua belah pihak tidak menanggung kerugian yang berarti. Namun jika di dalam perjanjian tidak ada klausul tentang penahanan ijazah tapi perusahaan tetap melakukannya, maka anda dapat menggugat perusahaan yang menahan ijazah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke Polisi atas tuduhan penggelapan. Mengapa perbuatan melawan hukum? Karena penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum pada umumnya. Si Pelaut menderita kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan perusahaan melalui penahanan ijazah yang tidak ada dalam klausul perjanjian kerja. Tentu saja, kerugian yang diderita si pekerja ini ada hubungannya secara langsung dari niat tersembunyi dengan kesalahan pembuat, yang dalam hal ini adalah perusahaan. Lalu, mengapa penggelapan? Tentu saja, perusahaan yang mungkin sebelumnya meminta pekerja untuk memberikan ijazah asli untuk keperluan administrasi. Atau semacamnya kemudian melakukan penahanan terhadap ijazah tersebut. Namun setelah keperluan administrasi selesai, secara hukum tidak ada hak perusahaan menahan hak milik orang secara pribadi sehingga seolah penguasaan terhadap barang itu berpindah tangan. Perlu dipahami bahwa penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain (sebagian atau seluruhnya) dimana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara tidak sah. Karena perbuatan menahan ijazah yang dilakukan oleh perusahaan ini termasuk dalam perbuatan penggelapan. Bunyi pasal 372 KUHP “ Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebagiannya tersebut kepunyaan orang lain yang ada dalam tanggannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan dengan penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp.900 ” Unsur-Unsur Pasal 372 KUHP :

  • Barangsiapa;
  • Dengan sengaja;
  • Memiliki dengan melawan hak;
  • Sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya tersebut kepunyaan orang lain;
  • Yang ada dalam tangannya bukan karena kejahatan;
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Ahli berpendapat bahwa penggelapan dapat dikatakan perbuatan merusak kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa perilaku yang baik. Dalam KUHP, Penggelapan dimuat dalam Buku II Bab XXIV. Istilah Penggelapan ini sebagai ’’geheel donkermaken’’ atau sebagai "uitstraling van lichtbeletten". Yang artinya: membuat segalanya menjadi gelap. Atau : menghalangi memancarnya sinar. Sedangkan istilah Penggelapan diartikan sebagai: penyalahgunaan hak. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam Pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya. Sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan. Menurut KUHP tindak pidana penggelapan dibedakan atas lima macam. Pertama: tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok. Kedua: tindak pidana penggelapan ringan. Ketiga: tindak pidana penggelapan dengan unsur-unsur yang memberatkan. Keempat: tindak pidana penggelapan oleh wali dan lain-lain. Kelima: tindak pidana penggelapan dalam keluarga. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHPidana ini terdiri dari unsur objektif dan subjektif. Unsur subjektif yakni Unsur kesengajaan. Memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Rumusan Pasal 372 KUHPidana mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan. Sehingga dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict. Atau delik sengaja. Sementara unsur objektif terdiri dari: Pertama, Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata: barang siapa ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau 'dader'. Kedua: Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki); mentri kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya. Berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (het begin straaf zonder schuld), perbuatan menahan ijazah adalah perbuatan yang melawan hukum yang telah terang dan jelas ditemukan adanya kesalahan. Sedangkan dalam ilmu hukum oidana dikenal opzet/Dolus adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilarang atau diharuskan dalam undang-undang. Yang kemudian dalam asas legalitas kesalahan itu adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP:  “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari perbuatan itu”. Yang oleh Anselm von Ferbach asas dinamakan asas “Nullum Delictum, Nuulla Poena Sine Praevia Lege Poenali.” Ketiga: Suatu benda ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut benda bergerak. Keempat, Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain. Kelima, Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan. Kesimpulannya adalah:
  1. Bagi Pelaut harus benar-benar membaca secara teliti setiap pasal yang tertuang dalam perjanjian yang akan ditanda tangani.
  2. Bila ada pasal kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian yang ditanda-tangani tentang penahanan ijazah, maka sah bila diakhir kontrak yang berakhir dengan baik bila ada penahanan dokumen/ijazah Pelaut.
  3. Bila tidak tercantum dalam perjanjian yang ditanda-tangani dan ada kesepakatan kedua belah pihak, maka tidak sah bila diakhir kontrak yang berakhir dengan baik bila ada penahanan dokumen/ijazah Pelaut.
  4. Bila kasus no.3 yang terjadi, langsung laporkan kepada serikat pekerja dimana Pelaut terdaftar sebagai anggota.
  5. Bila serikat pekerja tidak membela dan menelantarkan anggotanya yang memiliki hak bela, maka buatkan berita acara segera.
  6. Atas dasar butir no.3 dan no.5 diatas yang telah dituangkan dalam berita acara, laporkan kepada Subdit Keplautan DITJENKAPEL, Kemenaker atau Polisi di wilayah kerjanya yang berwenang dengan pasal dugaan penggelapan.
  7. Bahwa secara normatif hukum perbuatan menahan ijazah merupakan kualifikasi tindak pidana penggelapan yang dapat dimintai pertanggung jawaban hukum sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pasal 372 KUHP
Catatan: Kasusnya akan berbeda bila Pelaut yang ditengah kontrak masih berlaku meminta berhenti, atau sebaliknya perusahaan yang memberhentikan awal, kapal dijual dalam masa kontrak masih berlaku, kapal dijual, perusahaan dijual, perusahaan merger. Diingatkan uu no.13/2003 tentang ketenaga kerja dalam pasal 1 ayat 16: Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hubungan industrial ini berlaku juga bagi industry maritim niaga. Artinya hubungan industri antara pelaut sebagai penyedia jasa dengan pegusaha sebagai penyedia kerja harus selalu diawali niat baik dari kedua belah pihak tetap beradab memperlakukan ikatan hubungan industry dengan mengedepankan etika-etika yang berlaku kedua belah pihak. Dari sisi profesi, tugas dan peran IKPPNI sebagai organisasi profesi sudah tuntas memulai secara pro-aktif sejak tahun 2012 dengan mencipta adanya Kode Etik profesi. Yang mana hal demikianpun sebaiknya dipahami oleh para pemangku kepentingan pengguna jasa Pelaut Niaga secara umum, Perwira Pelayaran Niaga secara khusus.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: