Samarinda Siaga Banjir dan Longsor

Samarinda Siaga Banjir dan Longsor

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com – Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah Indonesia, ikut diwaspadai Pemkot Samarinda. Apalagi, selama beberapa pekan terakhir, Kota Tepian selalu diguyur hujan lebat dan pasangnya air Sungai Mahakam. Dua kondisi ini menyebabkan sebagian besar kawasan mengalami genangan mencapai 50 centimeter. Genangan air terpantau sepanjang pinggir Sungai Mahakam. Seperti Jalan Gadjah Mada, Jalan Slamet Riyadi, Jalan Yos Sudarso. Bahkan genangan terpantau masuk sampai ke Jalan Jendral Sudirman  Pasar Pagi, Jalan Agus Salim, Jalan Kesuma Bangsa, Jalan Gatot Subroto, Jalan Lambung Mangkurat, Jalan Muso Salim, Jalan Abdul Muthalib, dan Jalan Dewi Sartika. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda, Suwarso, menerangkan situasi ini sebagai imbas fenomena La Nina sedang berada di titik pasang maksimum air laut. Kewaspadaan yang perlu diperhatikan adalah bahaya banjir rob dan bencana longsor. “Biasanya genangan tinggi terjadi saat malam hari selama 3-4 jam, termasuk hujan deras yang disertai angin kencang,” ujarnya ditemui baru-baru ini. Suwarso mengatakan, pihaknya telah bersiap diri dalam menghadapi La Nina sejak Oktober. BPBD selalu berkoordinasi dengan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk memantau prakiraan cuaca. Pihaknya juga melakukan pemantauan secara berkala di setiap titik genangan yang memungkinkan bisa bertambah tinggi. Termasuk memantau tiap hari pada Tinggi Muka Air (TMA) di Bendungan Benanga Lempake. BPBD juga menggerakkan camat dan lurah memberi peringatan kepada warga di daerah rawan longsor agar terus waspada. ”Makanya kami sudah pasang beberapa plang, agar tidak membangun atau sekadar berteduh di wilayah rawan longsor,” bebernya. Meskipun secara geografis Kota Samarinda tidak masuk kawasan pesisir, tetapi masyarakat juga khawatir akan bencana banjir pada 1998 silam. Banjir 1998 ini memang terjadi ketika fenomena La Nina berlangsung.  Sehingga, Wali Kota Samarinda Andi Harun juga melakukan antisipasi sendiri. Selama badai La Nina berlangsung, Andi selalu berantisipasi akan terjadinya banjir rob. Ia telah mengintruksikan kepada OPD tingkat bawah untuk terus memperbaiki drainase di wilayah mereka. ”Saya sudah minta juga camat dan lurah untuk memperbaiki drainase di lingkungan mereka masing – masing,” tuturnya. Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan di drainase. Pemerhati lingkungan dari Universitas Mulawarman, Bernaulus Saragih,  menyebut fenomena La Nina tahun ini tidak menimbulkan banjir rob seperti tahun 1998. “Kalau sekarang, air laut tidak sampai masuk ke perairan Mahakam. Karena angin kencang menyebabkan airnya tersapu kembali ke laut,” kata Bernaulus. Pada banjir 1998, arus air laut yang masuk perairan Sungai Mahakam sangat laju dan lebih ganas sehingga menyebabkan banjir bandang. Pada tahun itu pula, lanjut Bernaulus, tanggul di Bendungan Benanga sudah tak mampu lagi menahan air. Tapi, ia mengakui, tidak ada yang bisa memprediksi bencana 1998 itu terjadi kembali. “Kuncinya di Sungai Mahakam. Selama tidak sampai masuk maka badai itu tidak akan terjadi,” tegasnya. Praktisi lingkungan hidup Krisdiyanto menganggap La Nina merupakan fenomena periodik yang lazim di kawasan tropis. La Nina bukan sebagai ancaman baru tetapi, masyarakat tetap harus siap tiap tahunnya. Karena La Nina ini adalah fenomena yang terus berulang kali. Penyebab genangan air dan banjir di Samarinda ini tak hanya karena fenomena La Nina, tetapi juga akibat pemanasan global dan mencairnya es di kutub. “Jelas memberikan perubahan signifikan pada muka air laut dan ruang air yang dipengaruhi pasang surut laut terutama yang berada di 0-2 meter seperti di Samarinda ini.” “Ada kemungkinan tenggelam selamanya? Tidak. Tetapi ketika pasang air laut akan berdampak sekali. Apalagi ditambah jika ada curah hujan deras di daerah hulu yang terus beralih fungsi, bisa- bisa Kota Samarinda lumpuh total, dan akses hanya bisa melalui perahu,” paparnya. Artinya, persoalan banjir di Samarinda tidak serta merta karena fenomena La Nina. Banjir ini juga karena adanya pengupasan lahan yang marak di Samarinda, pasangnya air Sungai Mahakam, dan banyaknya sedimentasi di drainase. Kris menyarankan agar pemerintah tidak hanya melakukan rekayasa hidrologi. Tetapi membaca pula pertanda alam yang telah rusak. Sudah saatnya, pemerintah maupun masyarakat mulai berbagi tempat dengan memberikan ruang air yang tepat dan tidak mengganggu ataupun mengalihfungsikan area vital. “Mitigasi paling mendasar adalah bagaimana mendidik generasi selanjutnya untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, dan membaca pertanda alam,” pungkasnya.  (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: