Samarinda (Masih) Nomor Satu di Kaltim Soal Kekerasan Wanita dan Anak
Nomorsatukaltim.com - KOTA Samarinda mempertahankan status peringkat pertama se-Kaltim. Yang sudah diraih dalam beberapa tahun terakhir. Masalahnya, ‘juara’ yang ini bukanlah sebuah prestasi membanggakan. Melainkan, Kota Tepian masih jadi daerah dengan angka kekerasan perempuan dan anak tertinggi di Benua Etam!
Menurut data dari Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Ana (DKP3A) Kaltim. Pada 1 Desember 2021, terdapat 173 kasus kekerasan di Samarinda yang dilaporkan.
Meskipun mengalami penurunan. Dari tahun 2019 yang sebanyak 305 kasus, menjadi 286 kasus di tahun 2020, dan di tahun 2021 sebanyak 173 kasus. Alias turun 19 kasus. Tetap saja, kasus di Kota Tepian ini terhitung tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya.
Peringkat kedua ditempati Kota Bontang yang memiliki 66 kasus. Disusul dengan Kota Balikpapan sebanyak 52 kasus. Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) memiliki 30 kasus. Kabupaten Kutai Timur memiliki 14 kasus, Kabupaten Kutai Kertanegara memiliki 13 kasus.
Lalu 8 kasus dimiliki oleh Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Barat. Hanya Kabupaten Mahakam Ulu sajalah yang tidak mempunyai kasus kekerasan dari 3 tahun terakhir ini.
Di beberapa kabupaten/kota, memang terdapat penurunan kasus seperti Kota Samarinda. Contohnya, Kabupaten Berau. Dibandingkan dengan kasus di tahun 2019, yaitu 73 kasus, maka Berau memiliki penurunan kasus sebanyak 44 kasus. Kabupaten Kukar juga memiliki penurunan 19 kasus kekerasan.
Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Perempuan DKP3A Kaltim, Fachmi Rozano, mengakui, ada dua sisi pandangan jika melihat angka kasus yang menurun di beberapa kabupaten/kota.
“Agak bingung, di tahun 2021 ini kok menurun. Turunnya jauh sekali. Kami memandangnya, ini karena banyak yang nggak lapor. Tapi ini kita ambil positifnya, mudah-mudahan ini menurun. Kita berharap, agar mengadu kalau ada kekerasan.“
“Takutnya nanti, banyak orang yang nggak lapor, kasusnya banyak. Itu sebenarnya yang kami takutkan,” ungkap Fachmi melalui telepon pada Kamis 9 Desember 2021.
Menurut Fachmi, kekerasan terhadap perempuan dan anak ini berasal dari rendahnya kesadaran masyarakat. Selain itu, faktor ekonomi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan.
Peran DKP3A sendiri ialah memberikan dorongan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk lebih intens dalam sosialisasi kepada masyarakat atas bahayanya kekerasan ini. Di program Tahun 2022, mereka akan turun ke lapangan guna menginvestigasi sumber masalah tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
“Turun ke lapangan, digali apa yang menjadi masalahnya. Itu yang akan dilakukan di 2022,” kata Fachmi.
Sebagai kota yang memiliki kasus terbanyak, Wali Kota Samarinda Andi Harun menyatakan akan melakukan penanganan kekerasan di sektor hulu. Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda akan terus berupaya melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Ada tagline yang perlu ditanamkan kepada masyarakat.
“Kami terus melakukan upaya edukasi ke masyarakat bahwa apapun jenis kekerasan, apalagi kekerasan seksual terhadap anak itu.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: