PCR Normal

PCR Normal

Dia cantik –5i.

Dia gembira –tidak perlu PCR yang mahal lagi, cukup antigen.

Dia mau ke Bali –ada acara keluarga.

Dia menelepon Garuda Indonesia, kemarin pagi.

Dia langsung mengirim WA ke saya: "kok konfirmasi ke Garuda msh hrs pk PCR..??.duh negara apa ini ya?..buat rakyat bingung" Saya pun tidak percaya WA Si 5i itu. Saya hubungi staf yang ada di bandara. Ia staf dari perusahaan penerbangan. Saya sampaikan keluhan Si 5i –yang juga seorang dokter itu. Jawaban dari bandara itu saya teruskan ke Si 5i. Agar tidak kehilangan kecantikannyi. "Correction... ternyata memang belum Pak Dahlan..di lapangan masih tetap mengacu ke SE 88, artinya masih tetap menggunakan PCR..". Tanpa PCR lagi memang sudah diumumkan. Tapi baru lisan. Yang di bawah rupanya menganggap lidah itu tidak ber –Anda sudah tahu terusannya. Kapan peraturan baru mulai berlaku? "Meski pemerintah sudah memperbolehkan antigen kita tetap menunggu SE terbaru." Jadi, kapan mulai berlaku? Mungkin mulai hari ini. Mungkin besok. Mungkin juga kapan-kapan. Tergantung kapan SE-nya sampai ke yang di bawah. Staf di bandara itu semula juga mengira kemarin tidak perlu ada PCR lagi –untuk penerbangan seluruh Jawa Bali. Ia sudah sempat menjawab pertanyaan saya:  "sudah berlaku". Ia masih dalam perjalanan ke bandara. Setiba di tempatnya bekerja ia sendiri baru tahu: masih belum berlaku. Ia pun menyusulkan jawaban koreksi tadi. Begitulah. Atas dan bawah memang tidak sama. Tapi berita itu setidaknya sudah bisa membuat begitu banyak orang yang gembira. SE (surat edaran)-nya mungkin masih diketik. Tinggal dimintakan tanda tangan. Distempel. Lalu diberi nomor surat. Beres. Mungkin SE itu akan keluar hari ini. Atau besok. Setidaknya pasti akan keluar. Kalau tidak diralat. Alasan untuk meralat bisa  banyak. Misalnya, apakah itu tidak mengendurkan kewaspadaan? Terutama kalau dikaitkan dengan kemungkinan munculnya Covid gelombang tiga? Bukankah menurunkan ongkos PCR sudah cukup? Bukankah kita harus hati-hati? Ongkos PCR memang sudah turun drastis: dari Rp 750.000 ke Rp 275.000. Atas perintah langsung dari Presiden Jokowi. Untuk luar Jawa dari Rp 800.000 ke Rp 300.000. Presiden hampir selalu jadi pahlawan penurunan harga apa saja. Saya sendiri, tahun ini, baru satu kali PCR. Rabu minggu lalu. Ketika harus ke sebuah bank di Jakarta. Untuk rapat keesokan harinya. Semua peserta rapatnya harus lulus PCR. PCR itu saya lakukan secara drive through –di dalam kompleks Gelora Bung Karno. Sekalian makan siang di Plataran Hutan Kota yang ada di sebelahnya. Saya baru tahu: di dalam lahan GBK ternyata dibangun resto baru. Besar sekali. Indah sekali. "Berapa?" tanya juru bayar saya. "Yang 16 jam atau 24 jam?" Kalau hasilnya baru didapat 24 jam kemudian tentu terlambat. "Yang 16 jam," jawab orang saya. "Rp 750.000," jawab petugas. "Kan sudah turun jadi Rp 275.000," ujar Si juru bayar. "Itu baru berlaku besok," jawabnya. Berarti saya kecepetan satu hari. Ya sudah. Belum rezeki. Yang paling senang atas penurunan tarif PCR itu tentu Garuda Indonesia dan Citilink. Terutama Citilink. Anak perusahaan Garuda ini masih mampu terbang di banyak jam dan di banyak rute. Sudah jauh mengalahkan bapaknya. Surabaya-Jakarta, misalnya, Citilink sudah bisa terbang 13 kali sehari. Garuda tinggal 3 kali sehari. Citilink memang mampu membayar BBM ke Pertamina. Juga mampu membayar cicilan dan sewa pesawat. Sedang Garuda sudah serba sulit. Bukan saja menghadapi Pertamina, tapi juga pemasok yang lain. Terutama pemasok onderdil. Yang kini hanya mau kirim barang kalau dibayar kontan. Lion Air hampir tidak terpengaruh oleh penurunan tarif PCR itu. Lion sudah mampu  ''menurunkan'' sendiri. Sejak tiga bulan lalu. Itu karena Lion membeli sendiri bahan-bahan dan peralatan PCR/Antigen. Lalu menyerahkannya ke poliklinik yang ia tunjuk. Yakni klinik yang sudah dapat izin tes Covid dari pemerintah. Di klinik-klinik itulah –di banyak kota– Lion bisa memfasilitasi penumpangnya untuk PCR murah. Sudah Rp 275.000 sejak lama. Mungkin segera menjadi Rp 250.000. Agar tetap lebih murah dari ketentuan baru pemerintah. Begitulah ''bocoran'' yang saya dapatkan. Selasa kemarin Lion sudah bisa menerbangkan 170 pesawat. Dengan jumlah penumpang sudah lebih 120.000 orang sehari itu. Lion sudah hampir normal. Lion bisa curi start. Jakarta-Bali saja, hari itu, sudah 17 kali penerbangan. Dengan jumlah penumpang sudah melewati angka 6.000 orang. Lion memang bisa kulakan PCR dengan harga normal: Rp 100.000 per kit. Tentu masih harus ditambah biaya-biaya lain: tenaga, ongkos kirim ke klinik-klinik, dan fee untuk klinik. Bisa jadi Lion justru masih bisa dapat untung dari PCR-nya yang murah. Tentu Lion tidak bisa menetapkan harga terlalu murah –bisa dikerdipi kanan-kiri-atas-bawah. Tentu ada juga yang kurang senang atas penurunan tarif PCR itu. Bukan soal murahnya. Tapi soal ''mengapa selama ini terlalu mahal''. Medsos begitu riuh-rendah mempersoalkannya. Saya kutipkan salah satu saja –yang tajamnya masih tergolong masih biasa-biasa saja: "Realitas yang melumpuhkan akal sehat..Dari 3 jt, 1,5 jt, 880 rb, 500 rb, 300 rb ....akhirnya 0". (Dahlan Iskan) Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.   Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Artikel Berjudul Kanker Prostat   Mirza Mirwan Gegara Bung Zuhri menyebut "kanker payudara Bulek saya", saya kembali teringat -- pernah saya ungkapkan di Disway -- betapa dulu (1977) saya pernah begitu jumawa "sanggup membayar berapapun beayanya asalkan ibu saya yg menderita kanker payudara stadium 4 bisa diselamatkan". Dan saya merasa ditonjok dada saya ketika Dokter Ong -- salah satu dari hanya dua dokter ahli bedah di Solo waktu itu -- memegang pundak saya seraya berkata: "Sekiranya dengan uang hidup seseorang bisa diperpanjang, orang seperti Rockefeller dan Onasis tidak akan pernah mati, Dik." Tiga bulan setelah operasi ibu saya meninggal dalam usia sangat muda, 39 tahun. Saya baru 20 tahun ketika itu. Tetapi saya ikhlas.   Diet Pak SBY mengidap kanker prostat.  Maka media membahas dari a-z tentang : riwayat kesehatan pak SBY, dan juga seluk beluk kanker prostat : gejala, faktor resiko dan cara menghindari.  Konon, faktor keturunan dan kegemukan adalah salah dua faktor resiko munculnya kanker. Mong ngomong kegemukan, sy jadi inget sopir taxi express yg ditumpangi pak DIS dulu, yg di "challenge" pak DIS utk menurunkan berat badan dan jika berhasil akan mendapatkan reward. Bagaimana kabar challenge tersebut? Kok ga ada update?   Ahmad Zuhri Masak sih.. kl menurut saya bayang2 ýg menakutkan ya mantan yg mau kembali huhuhu...   Dhipa D Bayang bayang yg menakutkan bagi pria itu bukan wanita jelita....tapi bayang bayang penyakit prostat  l   Anak Alay  wooo . .. . Leong khan masik muda belia  , ndak ngêrti problem prostat , Mbah Mars mungkin lebih paham  , bahwa pembengkakan prostat  ato sampé kangker prostate mempengaruhi hubungan suami - istri  , mangsudnya bukan hubungan batin . .. .  tapi hubungan lahir . .. . kenapa disebut hubungan lahir , krena klo masik muda resiko hubungan lahir  adalah melahirkan . .. .   CecepS saya ini pekerja dilapangan pengebiran minyak .. pekerja rig .. bejerja unschedule .. kadang 4 minggu di lokasi .. dihutan atau di offshore .. off dirumah kadang hanya seminggu .. pas off pas istri datang bulan... ..nah ada bbrp temen rekan kerja yg kena sakit prostat .. kata orang .. itu karena pipa nya gak pernah di sirkulasi .. srkulasi adl istilah proses pemberdihsn lubang sumur dengan lumpur pemboran .. ..benarkah demikian ????...   Buzzer NKRI Dokter Indo tidak kalah pintar dg dokter luar negeri, setuju.... tapi etos kerja sangat-sangat jauh berbeda kalau saya jadi pak SBY saya juga akan ke luar negeri nasionalisme perlu tetapi bukan membabi-buta untuk hal yg penting apalagi kalo menyangkut nyawa atau mungkin nasionalisme saya belum terlalu tinggi (buta)........ semoga cepat sembuh pak SBY........

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: