Penyabab Banjir Samarinda Adalah Air

Penyabab Banjir Samarinda Adalah Air

Oktober masih seperti bulan-bulan lainnya bagi warga Samarinda. Banjir setelah hujan, kembali merendam daerah-daerah pelanggannya. Kata pengamat sekaligus praktisi lingkungan hidup, Krisdiyanto. Penyebab banjir Samarinda kali ini adalah … air!

AHMAD AGUS ARIFIN

KRISDIYANTO bilang begitu ketika dikonfirmasi oleh Harian Disway Kaltim – Disway News Network (DNN), pekan lalu. Dia memang setengah bercanda, untuk menggambarkan keseriusan masalah yang terjadi di kotanya.

Pertanyaan; apa penyebab banjir, harusnya sudah selesai sejak beberapa tahun silam. Yang melalui penerapan kebijakan pengentasan kebencanaan. Dampak banjir kali ini, bisa diminimalisir.

“Ya, kaya gini terus. Polanya berulang. Bahkan tidak ada lagi siklus banjir tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan. Sekarang dalam setahun bisa 4-5 kali banjir,” ujarnya.

Kris menjelaskan, secara fitrah Samarinda memang tak bisa lepas dari masalah banjir. Lantaran daratannya yang sebagian besar di bawah permukaan air. Makanya, dalam perjalanan kota, terdapat siklus banjir, dulunya. Dimulai banjir tahunan, 5 tahunan dengan genangan yang lebih tinggi, sampai siklus 10 tahunan.

Siklus 10 tahunan itu, terakhir kali terjadi pada tahun 1998. Di mana hampir seluruh kota terendam air. Selepas itu tak ada lagi. Bukan karena banjirnya yang teratasi. Namun waktu terjadinya lebih sering. Sampai-sampai, banjir dewasa ini, tidak mengenal siklus. Kalau hujan deras, ya banjir. Selalu begitu.

Permasalahan inti dari ini adalah, kurang bijaknya kebijakan pemerintah dalam upaya mengentaskan masalah banjir. Bukan salah. Bahwa pembangunan infrastruktur penahan banjir, pengerukan sedimentasi, pelebaran drainase. Disebut Kris adala upaya bagus. Jika berbicara pengendalian jangka pendek.

Namun untuk jangka panjang, kebijakan yang diambil oleh beberapa wali kota belum begitu fokus pada sumber masalahnya.

“(Pemerintah) kita fokus di hilir. Sementara di hulu tangkapan ainya semua dipapas, diokupasi,” terang Kris. Sembari menyebut bahwa pengupasan lahan di kawasan Sungai Siring hingga Muang Ilir, makin tak terbendung.

Padahal dengan dikupasnya area penangkap air itu, dampak langsung yang diberikan begitu terasa. Selain membuat air langsung tergelontor ke badan air; sungai dan anak sungai. Airnya pun sudah tercampur tanah. Yang kemudian menjadi sedimentasi tidak alami.

“Dengan pendangkalan yang terjadi, kapasitas Waduk Benanga tidak besar lagi. Dan mau dikeruk sesering apa pun, akan sia-sia kalau sumbernya tidak dibereskan,” tegasnya.

Jika dirunut, penyebab banjir yang pertama adalah air. Di kejadian terakhir misalnya, curah hujan yang terjadi di hulu; Sungai Siring. Adalah 200 milimeter. Maksudnya, jumlah air yang jatuh ke tanah adalah sebanyak 2 liter setiap 1 meter persegi lahan. Dalam satu hektare, terdapat 20.000 liter air.

Jumlah air yang jatuh tersebut tidak akan menjadi masalah besar jika area penyerap dan penampung air berfungsi dengan baik. Toh, curah hujan tersebut tidak bisa dikatakan tinggi juga. Dalam skala 1-500 mm, angka 200 mm kata Kris, tergolong zona kuning.

Masih jauh lebih kecil ketimbang yang terjadi di Jawa dan Sulawesi (300-400 mm). Nah, dengan curah hujan sedang saja. Air yang teralirkan tanpa tertahan ke badan air sudah banyak. Akibat pengupasan lahan secara ugal-ugalan. Bagaimana kalau curah hujan mencapai zona merah bahkan hitam?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: