Revivalisme Taliban di Afghanistan

Revivalisme Taliban di Afghanistan

Sejarah selalu berulang. Dengan bentuk dan konflik yang sama. Cuma aktor-aktornya saja yang berbeda. Begitupula yang terjadi di Afghanistan.

Nomorsatukaltim.com - Kita bicara tentang Afghanistan. Atau lebih tepatnya negara Emirat Islam Afghanistan. Negara baru yang dideklarasikan dan berhasil direbut oleh para Mullah Taliban. Saya berpandangan, berdirinya negara ini, yang didaulat dan direbut oleh para Mullah tersebut adalah fenomena unik. Bahwa gerakan revivalisme (kebangkitan) yang didasari oleh agama akan muncul dan mencuat lagi. Tapi ini nanti dulu. Mari kita menganalisanya dalam paradigma berbeda. Saya menggunakan dua pendekatan kelimuan yang pernah saya pelajari. Namanya dialektika dan geopolitik. Dalam dialektika meyakini bahwa seluruh perkembangan di dunia ini terjadi akibat adanya konflik. Bahwa relasi atau hubungan sosial terjadi dalam tiga frase. Tesis, anti tesis dan sintesis. Kita ambil kasusnya di abad pertengahan peradaban Islam. Ada namanya Dinasti Fathimiyah yang berdiri di semenanjung utara Afrika. Dinasti ini berdiri selama dua abad sekitar tahun 900 - 1.100 Masehi dan terpisah dari kekuasaan Bani Abbasiyah. Pusat pemerintahannya di Mesir. Menariknya, ini adalah Dinasti Syiah pertama dalam sejarah perpolitikan Islam. Ya, ini adalah Dinasti Syiah. Mereka menolak kepemimpinan Khalifah dari Abbasiyah (Sunni) yang pusat pemerintahannya di Baghdad, Irak. Singkat cerita Dinasti Fathimiyah harus runtuh di tangan Dinasti Ayyubiah oleh Khalifah Salahuddin Al Ayyubi yang nota bene Sunni. Dan akhirnya, dinasti Ayyubiah menjadi satu-satunya penguasa besar Islam pada masa itu. Walaupun ada juga dinasti kecil dari Cordoba di Spanyol yang terpisah dari Dinasti Ayyubiah ini. Tapi itu kecil dan merupakan sisa-sisa peninggalan Dinasti Muawwiyah. Dari sini kita bisa telaah, di mana tesisnya ada dua negara besar Islam berkuasa pada masa-masa itu. Anti tesisnya dua negara ini beda mazhab dan memiliki langkah politik yang berbeda. Dinasti Ayyubiah sedang sibuk berperang dengan pasukan gereja saat perang salib. Sementara Dinasti Fathimiyah sedang sibuk mengampanyekan mazhab mereka sambil mengirim misionaris Syiah ke wilayah-wilayah terdekat. Sintesisnya adalah, dua negara ini akhirnya berperang dan dimenangkan oleh satu negara (Dinasti Ayyubiah). Di era sekarang, sejarah itu berpotensi terulang. Proses dialektika kembali terjadi. Apa indikatornya? Iran dan Emirat Islam Afghanistan. Keduanya sama-sama memproklamasikan diri sebagai negara yang berkonstitusikan Islam sebagai dasar dan bentuk negaranya. Yang satu negara Islam berhaluan Syiah, yang satu negara Islam berhaluan Sunni. Sama-sama dijalankan para Mullah pula. Iran saat ini sedang sibuk berperang dingin dengan Israel dan Amerika dan kadang berperang terbuka dengan negara-negara tetangga. Sementara Emirat Islam Afghanistan lagi sibuk mengampanyekan pencitraan diri mereka dengan mengirim delegasi-delegasi ke negara-negara lain. Alhasil, saya jadi teringat dengan sejarah yang terjadi berabad-abad lamanya itu. Dimana ada dua negara Islam beda mazhab pernah sama-sama berdiri. Di periode yang sama. Dan kejadian itu kini berulang lagi. Cocoklogi? Enggak juga. Karena fenomena-fenomena seperti ini selalu terulang dalam sejarah dunia. Bagi pemikir sekaliber Marx menyebutnya sebagai dialektika historis. Bahwa sejarah selalu berulang karena adanya konflik. Hanya aktor atau pemeraannya saja yang berbeda. Tapi, konflik ini tetap harus diwaspadai. Karena secara geografis, Emirat Islam Afghanistan dengan Iran saling bersebelahan. Hanya garis tipis perbatasan negara yang menjadi demarkasi atau pembatas antar keduanya. Soal kekuatan militer juga jangan dianggap remeh. Iran bertahun-tahun mengembangkan teknologi persenjataan mereka untuk melawan agitasi dari Israel, AS dan sekutunya. Sedangkan Afghanistan sudah cukup memiliki sisa-sisa pesenjataan yang berhasil dicuri dari Amerika saat masih menduduki negara ini. Sehingga menjadi menarik ditunggu, bagaimana pengaruh kedua negara ini nantinya khususnya di dunia arab. Emirat Islam Afghanistan seharusnya paling mudah karena mereka bukanlah negara Syiah. Tapi pekerjaan paling berat tetap menanti. Mereka harus berhasil dulu meraih simpati publik. Mengampanyekan bahwa Islam versi mereka bukanlah seperti yang ditakuti publik internasional. Sekarang tesisnya sudah ketemu. Ada dua negara Islam berdiri. Anti tesisnya tinggal menunggu waktu. Apakah dua negara Islam beda mazhab ini akan kembali berkonflik seperti pendahulu-pendahulu mereka. Kita tunggu saja apa dan bagaimana sintesisnya. Tapi sebenarnya baik Iran dan Emirat Islam Afghanistan ini semestinya bisa saja bersatu. Mereka memiliki musuh besar yang sama bernama Amerika Serikat. Dan Israel tentunya, yang merupakan salah satu musuh bebuyutan terdekat di dunia arab. Tapi saya pesimistis itu terjadi. Lah, di masa lalu saja dua negara digdaya Islam pernah saling perang. Padahal saat itu sedang masa-masa perang salib. Kita berdoa saja mudah-mudahan kejadian itu tidak pernah terulang lagi.   *Penulis adalah redaktur Disway Kaltim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: