Benny Lubiantara: Sistem Kontrak Migas Perlu Pembaruan
BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com - Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Benny Lubiantara menilai pembaruan sistem kontrak mendesak untuk memikat para investor.
Pernyataan itu disampaikan Benny Lubiantara dalam webinar Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery (CR), PSC Gross Split (GS), Implementasi dan Kecenderungan Model Kontrak Migas Global, Kamis (26/8). “Pembaruan sistem kontrak seperti PCS Gross Split untuk menjawab kebutuhan yang dipengaruhi perkembangan sektor energi yang semakin dinamis,” ujar Benny dalam sesi diskusi. Pembaruan sistem kontrak sebagai upaya meningkatkan nilai atraktif Indonesia di mata para investor global. "Istilah saya, now or never. Kita lihat Malaysia juga mencontoh PCS kita tapi dengan model yang lebih menggoda untuk investor," tukasnya. Benny Lubiantara mengatakan proses dalam industri hulu migas sangat panjang. Dimulai dari penandatangan kontrak atau lisensi, aktivitas G&G, pengeboran eksplorasi, penemuan, penilaian dan pengembangan, optimalisasi lapangan, produksi tahap lanjut, sampai dengan terjadi penurunan produksi dan abandonment. Dari perspektif investor, kata dia, bisnis di hulu migas akan sangat ditentukan empat hal, antara lain hasil geologi atau sub surface, regulasi, fiskal dan kemudahan akses ke pasar. "Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah kemudahan berbisnis," ujarnya. Adapun jenis kontrak hulu migas di dunia beragam. Untuk negara maju umumnya menggunakan sistem royalty dan tax atau pajak, lantaran sistem perpajakan yang sudah maju. Sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia biasanya menggunakan sistem PSC CR. Ia menyebut Indonesia adalah negara yang pertama kali memperkenalkan sistem PSC pada medio 1966 yang kemudian diduplikasi Malaysia, Vietnam, negara-negara di Timur Tengah serta Afrika. Kemudian PSC di Indonesia terus berkembang seiring perubahan regulasi dan perkembangan zaman hinggga 2017, PSC bertambah dengan adanya sistem gross split. “Bagi investor ketika ditanyakan PSC, apa yang diminati apakah CR atau GR, jawabannya adalah sistem mana yang memberikan keuntungan dalam investasinya, mana yang memberikan Internal Rate of Return (IRR) yang paling baik," ungkapnya. Sehingga di mata investor, hanya berpatokan kepada pilihan mana yang paling mendukung target investasinya. "Negara mana yang menawarkan insentif fiskal yang menarik akan lebih diminati oleh investor," katanya. Dari segi tantangan, saat ini industri hulu migas secara global mengalami tekanan yang semakin kuat. Benny mengingatkan alokasi investasi international Oil Company (IOC) semakin terbatas, sehubungan dengan perhatian mereka pada renewable energy. Kemudian tambahan biaya operasional untuk mengakomodasi proyek low carbon, serta target IRR yang semakin tinggi di masa mendatang, bersaing dengan renewable energy yang umumnya mendapatkan berbagai macam insentif. Aspek komersial akan menjadi hal yang paling berpengaruh dibandingkan ketersediaan potensi migas, terlebih adanya energi transisi. Maka saat ini adalah kesempatan untuk segera melakukan monetisasi atas potensi migas dengan memberikan paket insentif yang menarik bagi investor. Sementara Vice President SKK Migas A. Rinto Pudyantoro menegaskan bahwa sistem kontrak hulu migas di Indonesia terus mengikuti dan beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Posisi PSC CR atau PSC GS saat ini adalah dua pilihan kontrak yang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. "Kita lihat keduanya mendapat minat dari investor. Meski pilihannya juga ada pada masing-masing investor," katanya. Rinto menyebut Permen ESDM 12/2020 senapas dengan UU 22/2001 yang mengamanatkan model kerja sama dengan pola atau mekanisme boleh apa saja, yang penting mengoptimalkan kepentingan negara. "Jadi model apapun yang ditawarkan sudah dijaga kepentingan negara dan sudah dihitung konsekuansinya," ungkapnya. Di sisi lain, investor diberikan kesempatan untuk fitting dengan risiko menurut persepsi mereka sendiri, kultur perusahaan dan karakteristik perusahaan. Hal itu disebut menjadi salah satu faktor penentu untuk menarik investor, di sisi lain, dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi Negara. “Bagi kontraktor, memilih model dan pola yang paling menguntungkan secara bisnis akan dipengaruhi oleh cara pandang dan persepsi perusahaan terhadap peluang dan risiko bisnis, teknis dan non teknis. Dan ekspektasi terhadap pelaksanaan kontrak," urainya. Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus mengatakan Indonesia berupaya mewujudkan visi peningkatan produksi migas nasional di tahun 2030 yaitu 1 juta barel minyak dan 12 BSCFD gas. “Kami terbuka jika ada usulan dari rekan-rekan jurnalis mengenai topik-topik yang dibutuhkan. Peserta diharapkan dapat mengetahui rezim fiskal di Indonesia dan global, serta implementasi CR dan GR, peran dan tantangan dalam pengawasan dua skema tersebut,” urainya. *RYN/YOSCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: