Dzeko; Bintang Sisa Perang Balkan
Samarinda, nomorsatukaltim.com – Bohong jika penggemar olahraga sepak bola tak kenal Edin Dzeko. Ia bisa dikenali sebagai permatanya Bosnia, penyerang tangguh di awal era emas Manchester City, atau bahkan penyerang hebat ‘tim penggembira Serie A’ AS Roma. Terserah saja. Yang jelas, Dzeko adalah bintang besar. Tapi tahukah, ia bisa saja tak berakhir seperti ini jika tak bersembunyi di ruang bawah tanah ketika perang di negaranya pecah. Dzeko adalah serpihan perang Balkan. Prosesnya menjadi pesepakbola handal dicatat sejarah sebagai ‘mahakarya’, mengapa?
Di era ketika produsen ponsel pintar sudah menjual charger secara terpisah. Perang masih saja diciptakan dengan berbagai alasan. Baik untuk menciptakan kedaulatan. Atau sekadar membuat penjualan pabrik senjata tak kendur.
Sebut saja dalam sedekade teranyar, puluhan ribu nyawa tak tahu apa-apa jadi korban perang. Mereka meregang nyawa terhunus peluru dan lemparan bom.
Itu artinya, ada banyak calon bintang besar yang tak berkesempatan mencapai titiknya. Dari yang terbunuh itu, bisa saja ada si jenius penemu sepeda motor yang bisa terbang. Penemu obat biduran sekali oles sembuh. Calon presiden. Atau mungkin calon bintang sepak bola yang akan menjadi the next Messi dan Ronaldo di masa mendatang. Bisa saja.
Apa yang dialami oleh Edin Dzeko adalah representasi dari kemungkinan itu. Bintang AS Roma itu menjalani hari-hari sulit saat usianya masih 6 tahun hingga 4 tahun setelahnya.
Dzeko memang sudah keranjingan sepak bola sejak bocah. Ayahnya senang saja melihat itu. Karena sang ayah, Midhat Dzeko adalah pemain sepak bola amatir. Dan instingnya bahwa anak lelakinya akan jadi pemain besar, ia pupuk.
Sejak belia, Midhat tak pernah absen mengantar Edin berlatih sepak bola di stadion kecil di Sarajevo, Yugoslavia. Walau itu artinya, ia harus rela tak istirahat sepulang kerja demi mengantar Edin menempuh perjalanan satu jam via bus dan kereta.
Tahun 1992, segalanya jadi berbeda. Bosnia & Herzegovina ingin merdeka dari Yugoslavia. Perang pun jadi jalur tempuhnya. Perang yang berakhir pada 1995 itu menjadi hari-hari buruk bagi Edin Dzeko.
Ia harus mengungsi ke rumah kakeknya. Bukan di rumah pada umumnya. Namun di ruang bawah tanah. Di sela waktu, Edin bermain sepak bola bersama rekan bocahnya di pinggir-pinggir jalan. Orang tuanya membiarkan saja.
Tapi ketika sirene kota berbunyi, salah satu dari ayah atau ibunya akan menghambur keluar rumah. Mencari Edin, dan cepat menariknya ke ruang bawah tanah. Selalu seperti itu.
Suatu ketika, ketika perang baru awal terjadi. Midhat akan mengantar Edin ke stadion. Tapi Belma Dzeko, sang ibu, punya firasat buruk. Dia melarang dua lelakinya itu pergi. Baru pada esoknya, ketika keduanya ke stadion. Didapati tempat latihan sederhana di kota tersebut telah remuk redam. Bom telah menghancurkannya. Andai firasat Belma diabaikan, kita akan tahu apa yang terjadi setelahnya.
"Selama terjadi perang, saya mengalami masa ketika harus berhenti main bola di jalanan ketika sirene berbunyi."
"Saat berusia 6 tahun, saya memang cukup tahu atas apa yang terjadi. Namun, tak berpikir terlalu jauh juga."
"Namun, orang tua saya yang selalu khawatir. Tanpa mereka, mungkin saya tak di sini seperti sekarang."
"Segalanya telah hancur. Tak ada lagi yang tersisa, termasuk untuk lapangan sepak bola."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: