Bahagia Belajar, Bahagia Mengajar

Bahagia Belajar, Bahagia Mengajar

OLEH: AJI MIRNI MAWARNI*

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim—yang beberapa hari lalu mengemban amanah tambahan sebagai Mendikbud Riset dan Teknologi (Ristek)—telah mencanangkan “Merdeka Belajar” sebagai konsep pendidikan nasional sejak akhir 2019.

Namun pola itu belumlah cukup. Seluruh elemen yang berada dalam lingkaran pendidikan dan pembelajaran perlu menambah satu variabel penting: kebahagiaan. Sehingga proses belajar dan mengajar bisa dilakukan dengan bahagia. Dengan variabel kebahagiaan, para pelajar akan lebih menikmati proses membangun learning attitude di atas learning skills-nya. Dan para pengajar akan menikmati proses membangun teaching attitude di atas teaching skills-nya. Pandemi COVID-19 telah mengubah wajah dunia. Termasuk sektor pendidikan. Alih-alih merdeka belajar, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang berkepanjangan seolah menjadi “penjara digital” baru. Para siswa sibuk menatap gadget dengan tugas-tugas menumpuk. Sedangkan para guru dituntut membuat bahan ajar digital yang “harus menarik” dan tetap edukatif. Apakah Anda tahu bagaimana rumitnya membuat bahan ajar digital? Informasi dari rekan yang biasa mengolah video, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk membuat video edukasi berdurasi singkat. Prosesnya kompleks: mengumpulkan materi, menyusun materi agar easy understanding, meng-input audio, teks, dan visualiasi, hingga editing akhir. Para guru harus mengemban beban kerja berlebih karena perubahan cara kerja yang signifikan. Padahal mereka juga orang tua yang harus mendampingi anak-anaknya. Guru juga bisa mengalami penurunan motivasi karena kondisi sosial emosional, serta tak ada akses peningkatan kompetensi. Pada sisi lain, begitu banyak testimoni bahwa PJJ sangat menjemukan bagi anak, plus melelahkan bagi orang tua. Ada beragam cerita dan “derita” yang terungkap di dunia nyata dan maya. Misalnya, sang ibu hanya punya 1 ponsel namun harus aktif di beberapa grup kelas anak di waktu yang nyaris bersamaan. Dengan keterbatasan paket data, memori internal, dan “kegaptekan”. Banyak pula fenomena anak asyik nge-mall, nge-game, dan berkumpul di tengah kejenuhan PJJ. Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 menunjukkan, banyak murid mengeluhkan PJJ. Alasannya, keterbatasan kuota, peralatan tidak memadai, tak memiliki laptop/PC, tugas berat dan menumpuk dengan limit waktu sempit, hingga kurang istirahat dan kelelahan. Tantangan lebih besar muncul ketika PJJ diterapkan di daerah dengan infrastruktur IT yang terbatas. Terutama di daerah pelosok Kaltim yang minim fasilitas pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebelum pandemi pun dunia pendidikan telah memiliki banyak permasalahan. Lantas, bagaimana solusinya? Menimbang situasi terkini serta berbagai faktor, saya memandang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) perlu segera diberlakukan di Kaltim. Apalagi berbagai persiapan telah dan terus dimatangkan. Proses vaksinasi terhadap guru-guru di Kaltim terus berproses. Sejumlah sekolah percontohan PTM juga menunjukkan progres yang positif. Dinas Pendidikan Kaltim pun mengakui perangkat-perangkat sudah siap untuk PTM dan berkomitmen untuk menjaga protokol kesehatan. Semoga dengan dimulainya PTM, para siswa dan guru kembali menemukan kegembiraan dalam proses belajar dan mengajar. Meskipun masih terdapat pembatasan sesuai prokes, setidaknya PTM akan lebih memudahkan transfer of value and character dari pendidik kepada obyek didik. Juga mengurangi beban tugas para guru yang harus membuat materi PJJ. Guna membangun kebahagiaan para guru, variabel kesejahteraan juga harus diperhatikan. Terutama tenaga pendidik honorer sebagai salah satu ujung tombak pelaksanaan KBM. Bagaimana mungkin seorang pendidik—yang harus mencetak karakter kuat generasi muda—pendapatan bulanannya masih di bawah UMP/UMK? Padahal Kaltim masih kekurangan ribuan guru. Guru honorer yang memenuhi jam mengajar 24 jam per pekan semestinya besaran pendapatannya sama dengan guru ASN. Pemerintah daerah harus berkomitmen penuh soal kesejahteraan guru honorer. Kesetaraan gaji bukan persoalan bisa atau tidak. Tapi komitmen riil pemerintah daerah. Kita semua berharap guru-guru di Nusantara, khususnya Kaltim, bisa terus meningkat kesejahteraannya, seiring dengan peningkatan kompetensinya. Terutama para guru honorer SD dan SMP yang masih menjadi tanggungan pemerintah kabupaten dan kota. (*Anggota DPD RI Dapil Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: