Fisika Nusantara
YANG saya ”sentil” di Disway kemarin akhirnya turun gunung: Prof Dr Puruhito, ahli bedah jantung terkemuka itu.
Saya sendiri percaya: sebuah turbulensi akan menghasilkan lompatan kemajuan. Itu kalau turbulensi tersebut dikelola dengan baik.
Teori fisika mendoktrinkan itu. Saya tidak tahu siapa yang seharusnya mengelola turbulensi kasus Vaksin Nusantara ini. Dari sini kita akan bisa melihat: apakah turbulensi sekarang ini hanya akan menghasilkan kekacauan atau akan membuahkan lompatan ke depan bangsa kita. Semua tergantung si pengelola turbulensi.
Tulisan Prof Puruhito ini akan melihat dari sisi kedaruratan kedokteran, yang ternyata menjadi salah satu titik berat ajarannya di kampus:
***
Beberapa minggu ini saya membaca berbagai” komen” di medsos tentang kontroversi Vak-Nus yang ditulis oleh berbagai tokoh dan ilmuwan, sejawat dokter, dan jurnalis terkenal Dahlan Iskan yang akhirnya ”menyentil” saya untuk menanggapi masalah tersebut.
Sebetulnya saya ”enggan” memberi komen tentang vaksin itu sendiri, karena memang bukan keahlian saya, meskipun saya juga concern dengan pandemi Covid 19 serta upaya menanggulanginya yang menghabiskan dana, energi, juga ribut-ribet ilmiahnya yang ada di berbagai wahana sosial dan komunikasi yang berkembang di era modern ini.
Kemudian membaca tulisan dari Assoc Prof Sulfikar Amir, sosiolog bencana dari Nanyang Technological University yang berjudul Kewarasan Ilmiah dan Kedaruratan, saya jadi tergerak untuk menceritakan apa yang pernah terjadi di bidang yang saya tekuni, bedah jantung, yang saya pelajari sejak tahun 1969 di Jerman dan kemudian merintis pengembangannya di Surabaya.
Upaya menanggulangi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia ini memang menantang banyak pihak untuk mencari cara pengobatannya maupun cara mencegahnya, termasuk mencari berbagai obat baru atau meracik obat-obat yang ada, dan upaya membuat vaksin untuk mencegah dengan cara membuat imunitas tubuh kita.
Dalam ”kedaruratan” yang terjadi sekarang ini, maka sejumlah “terobosan” disajikan oleh banyak ilmuwan kesehatan (kedokteran, Farmasi, dan lain-lain) di seluruh dunia dengan bayangan ”darurat medis” untuk segera menghasilkan obat dan vaksin yang cespleng tadi.
Kembali pada bidang keahlian saya, bedah jantung, maka saya selalu menceritakan di kuliah saya maupun kepada para calon calon ahli bedah jantung dan mahasiswa kedokteran, juga kepada para awam di ceramah ceramah tentang bedah jantung, kejadian di tahun 1896 (!!!) di mana seorang professor Jerman, Rehn (Ludwig Rehn, 1849-1930) pada waktu itu sebagai ahli bedah umum (belum ada spesialisme waktu itu) menolong (menyelamatkan nyawa) seorang yang ditusuk dengan pisau di dadanya di suatu Taman Kota di Frankfurt (saya juga tidak dapat membayangkan suasana waktu itu bagaimana).
Korban dibawa ke IGD Rumah Sakit di mana Prof Rehn lagi jaga, dan dengan ”bondo nekatnya” (ya benar, demikian pengakuan beliau di publikasinya); …. ”dengan perasaan takut bahwa pasien tersebut tidak dapat diselamatkan dan mati”, tanpa ragu Rehn menjahit otot jantung yang terluka pisau tersebut dan berhasil menghentikan perdarahan dan menyelamatkan nyawa pasien itu (pasien hidup).
Jadi misalnya pendapat seseorang atau ”opini” berdasar suatu kejadian. Sedangkan yang level evidence-nya tertinggi, (atau tersahih) adalah level A (1a dan 1b) yaitu berdasarkan review sistematik acak homogen dari uji coba (controlled trials) atau juga uji coba individual acak terkontrol. Dalam melakukan penelitian khususnya bidang kedokteran, termasuk mencari metode pengobatan atau mencari obat baru (termasuk vaksin) juga harus tunduk pada ”aturan main” meneliti, yaitu harus didasarkan pada sejumlah kaidah ilmiah yang rinci, yang harus ditepati oleh setiap peneliti (atau grup peneliti) secara runtut dan teratur.
Di Indonesia, otoritas keabsahan penelitian kedokteran dan hasil luarannya ada di BPOM (di Amerika Serikat oleh badan yang disebut FDA). Ini yang tadi disebutkan sebagai ”kewarasan ilmiah”. Kemajuan teknologi memungkinkan pada waktu ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan data besar (Big Data) mendemokratisasikan pengetahuan medis dengan cara yang sebelumnya tidak pernah diduga.
Platform pengetahuan medis seperti pathway medical memimpin dengan menggabungkan teknologi ini dengan antarmuka pengguna yang efisien untuk meningkatkan perawatan dan memfasilitasi hasil bagi pasien yang lebih baik. Kombinasi ini membantu profesional tenaga kesehatan mendiagnosis dan merawat pasien dengan lebih efisien dibandingkan dengan metode penelitian tradisional.
Tetapi tetap hasil kajian dari suatu penelitian dan metode penelitian masih didasarkan pada EBM. Cerita kejadian untuk bedah jantung di tahun 1896 tadi tentunya pada zaman sekarang sudah tidak bisa dijadikan EBM “level A” karena kedaruratan yang memberi hasil baik tidak dapat menjadi “acuan” untuk dilakukannya secara umum kecuali dilakukan kajian penelitian ilmiah berdasarkan “aturan main” meneliti. Hal ini tentunya sangat tepat untuk bidang riset dunia kedokteran, karena menyangkut pengobatan pada manusia.
Dari uraian dan kilas sejarah tersebut, maka dalam menyikapi kontroversi yang saat ini berkembang terkait pembuatan vaksin untuk menanggulangi pandemi Covid 19 (ada “kedaruratan”) mantan Menteri Kesehatan Dr dr Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), mengatakan bahwa tidak pernah ada pandemi yang diselesaikan dengan vaksinasi.
Harus dengan pengobatan, mencari obat yang cespleng untuk mengobati Covid 19 . Upaya mencari obat atau pengobatannya harus menjadi prioritas ilmuwan kedokteran di bidang itu (yang juga tidak bisa hanya ”bonek”–bondo nekat– bermodalkan ”kenekatan”), harus berdasarkan penelitian yang mengikuti kaidah meneliti yang benar.
Senyampang dengan itu, maka upaya mencari jalan pencegahannya dengan mencari vaksin yang tepat juga dapat dilakukan. Tentunya juga dengan metode penelitian yang tunduk pada ”aturan main” meneliti. Diharapkan tentunya, diperoleh obat yang terjangkau harganya, termasuk vaksin yang juga terjangkau harganya sesuai dengan keadaan sosio-ekonomi.
Obat atau vaksin yang pada akhirnya menjadi mahal atau ”tidak ekonomis” tentunya bukan suatu temuan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah pandemi global ini. Kebanggaan akan ”produk anak bangsa” memang suatu jargon nasionalisme yang perlu dijadikan semangat meneliti para ilmuwan Indonesia, yang dapat membawa marwah bangsa Indonesia ke derajat internasional demi cerahnya masa depan Indonesia.
Secerah datangnya sinar matahari musim panas yang mulai terasa di Surabaya, secerah harapan Indonesia untuk menuju sepuluh besar negara di dunia (atau bahkan lima besar negara dengan ekonomi terkuat), tentunya juga harapan kesehatan rakyatnya yang di tahun ini mencapai lebih dari 270 juta jiwa. Seperti sehat sejahteranya rakyat di negara negara maju lainnya…layaknya menyambut ”hari Kartini” : habis gelap terbitlah terang….. Aamiin.
Surabaya, Subuh 19 April 2021,
Puruhito, ketua Majelis Penelitian Dewan Pendidikan Tinggi Ditjen Dikti, 2008-2020
***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: