Mengikuti Pelayaran Tongkang Batu Bara (7): Risiko dan Biaya Sama-Sama Besar

Mengikuti Pelayaran Tongkang Batu Bara (7): Risiko dan Biaya Sama-Sama Besar

Proses menyuplai batu bara untuk bahan baku Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Embalut adalah rangkaian pekerjaan kompleks. Bukan hanya soal rintangan dan risiko besar yang dihadapi para pekerja di dalam tugboat penarik tongkang. Ongkosnya juga tidak sedikit.

Pewarta: Darul Asmawan

Nomorsatukaltim.com - DALAM setiap pelayaran tongkang batu bara, setidaknya dibutuhkan biaya-biaya yang tak sedikit. Mulai keperluan bahan bakar minyak (BBM), biaya tambat dalam menunggu antrean mengisi batu bara ke dalam tongkang. Kemudian ada biaya perawatan kapal serta keperluan logistik makanan para awak kapal.

Itu biaya yang sudah pasti. Dan wajar. Ada pula biaya yang tidak masuk perhitungan. Antara lain ongkos "kemanan" dalam pelayaran serta biaya insiden yang melibatkan warga sekitar. Atau melanggar aturan warga lokal yang memberi sanksi denda.

Biaya “keamanan” ini ditarik oleh oknum tertentu secara tidak resmi. Ketika kapal beroperasi di alur Sungai Mahakam.

****

Menurut Jumardin, setiap sekali berlayar pulang-pergi dari Tanjung Batu-Senyiur, Lisa 53 dijatah 7 ton BBM solar oleh perusahaan pemilik kapal. Itu untuk keperluan dua unit mesin penggerak dan sebuah generator listrik penerangan di dalam kapal. Tujuh ton solar itu sama dengan 7.000 kilogram. Dan satu ton 1.000 kilogram sama dengan 1.176 liter.

Sehingga keperluan total BBM dalam satu kali pelayaran, berkisar 8.200 liter solar. Jika merujuk harga solar industri untuk kategori shipping. Yang terendah umpamanya Rp 10.000 per liter. Berarti ongkos BBM dalam satu kali pelayaran pulang pergi dibutuhkan sekitar Rp 82 juta.

Sementara untuk biaya tambat dalam pelayaran, ia tidak mengetahui betul nominal itu. Sebab para pemilik lahan, biasanya mengajukan langsung tagihan kepada perusahaan pemilik kapal.

"Kami cuma melapor ke kantor (perusahaan pemilik kapal) di mana kami tambat dan berapa lama," ungkap Jumardin.

Namun dapat ditaksir angkanya sekitar Rp 100 ribu per jam. Untuk tambat di lahan belukar di sisi sungai milik warga di sekitar lokasi tersebut.

Sementara Lisa 53 dalam pelayaran enam hari ini, menghabiskan waktu sedikitnya tiga hari dua malam. Untuk tambat di tiga lokasi lahan milik warga. Dua di Sungai Senyiur. Dan satu di Sungai Mahakam, dekat Muara Kaman.

Jika berdasarkan taksiran nominal yang harus dibayar untuk tambat per jam tadi. Artinya perusahaan harus merogoh kocek lagi sekitar Rp 6 juta rupiah untuk tiga lokasi dengan tambat selama total 60 jam.

Biaya lainnya, yaitu ongkos untuk kapal assist dan pandu. Pekerjaan ini dilakukan oleh warga desa-desa di bantaran Sungai Senyiur. Melalui badan usah yang dibentuk warga. Lalu berkontrak dengan PT Bayan Resources,Tbk.

Sebab setiap tongkang yang masuk dan mengangkut batu bata di Senyiur wajib dikawal pandu alur dan sebuah kapal bantu (assist). Untuk setiap pandu alur dan kapal assist dalam satu kali pelayaran keluar-masuk Sungai Senyiur, diupah dengan kalkulasi total Rp 5 juta rupiah. Belum termasuk sewa kapal mereka Rp 10 juta per bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: