Groupthink Musuh Jurnalis

Groupthink Musuh Jurnalis

Komisaris Tempo Group, Bambang Harymurti pada workshop sehari yang digelar Dewan Pers. Mengundang sejumlah pemimpin redaksi dan pimpinan media di Samarinda. (Devi Alamsyah/ Diswaykaltim)

==========

Samarinda, DiswayKaltim.com - Bambang Hariymurti (BHM), komisaris Tempo Group, mengingatkan jurnalis untuk menghindari perilaku groupthink. Khususnya dalam peliputan pemilihan umum.

Menurut Bambang, orang memiliki kecenderungan mencari nyaman berkomunikasi. Artinya, mereka akan berkelompok sesuai yang sepaham. Itu nantinya akan memunculkan bubble filter. Kelompok-kelompok yang masing-masing tidak saling bersinggungan.

Nah, bubble filter ini akan memunculkan groupthink. Berupa pemikiran kelompok. Gejalanya bisa memunculkan pemikiran yang berlebihan. Tertutup. Seragam. Perbedaan pendapat harus dibasmi.

"Ini musuh jurnalisme. Seorang jurnalis harus keluar dari groupthink ini," kata BHM pada Workshop Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019. Di Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, Kamis (3/10/2019).

Bubble filter itu sering terjadi di masyarakat. Bambang mencontohkan, hal yang paling simpel terjadi di grup medsos atau jejaring sosial. Banyak perdebatan soal politik saat Pilpres. Ujung-ujungnya yang tidak tahan akhirnya meninggalkan grup. Bahkan, dalam satu keluarga bisa tidak akur.

Perilaku tersebut, sebetulnya bisa merugikan para peserta pemilu itu sendiri. Sebab, kata Bambang, perilaku itu tidak akan menarik simpati warga di luar bubble filter. "Jadinya malah sulit menang, karena tak bisa merangkul yang di tengah," ujarnya.

BHM juga mengingatkan agar jurnalis mempertahankan cara berpikir kritis. Fakta yang diterima jangan ditelan mentah. Ada proses verifikasi.

Menjawab pertanyaan peserta workshop, terkait praktik mahar partai, BHM tegas. Menurutnya, parpol harusnya punya kepentingan mendorong calon yang bagus. Punya elektabilitas. Bukan cari duit.

"Itu pasti enggak benar. Justru ini yang harus dikritisi," ujarnya.

Hadir juga sebagai narasumber Prof Bagir Manan. Mantan ketua Dewan Pers. Ia menyampaikan agar melihat proses pemilu mulai dari awal. Sebelum pemilihan. Kemudian saat pelaksanaan dan setelah pelaksanaan.

Soal mahar parpol, Bagir Manan langsung gas. Tidak boleh. "Sampaikan, Bagir Manan, mantan ketua Dewan Pers melarang itu."

Sementara, Asep Setiawan, anggota dewan pers mengatakan, secara perusahaan, media tidak boleh ikut terlibat politik. Suksesi pasangan calon tertentu. Namun, secara personal jurnalis boleh cuti. Harus independen.

"Boleh. Kalau pemilu selesai aktif lagi. Biasanya di Jakarta banyak yang begitu," kata Asep.

Tantangan dan Peluang

Maraknya media sosial menjadi tantangan bagi jurnalis. Informasi begitu cepat. Semua orang bisa menyampaikan informasi lewat internet. Tapi juga peluang terbuka lebar.

Menurut Asep, para pegiat medsos tidak turun ke lapangan. Hanya share informasi berupa tulisan dan gambar. Faktanya kan belum tentu seperti itu. Sementara jurnalis melakukan verifikasi lapangan. Ini yang membedakan.

Semua orang bisa saja berbagi informasi di internet. Tapi untuk produk pers, hanya yang patuh pada kode etik. Dewan Pers hanya menaungi yang patuh pada kode etik.

BHM juga menyampaikan peluang bagi jurnalis. Dengan maraknya internet itu. Jurnalis harusnya bisa mendapat kepercayaan masyarakat. Informasinya benar. Faktual.

"Justru kalau hoax semakin marak, berarti jurnalisnya enggak dipercaya."

Bahaya Copy Paste

Asep Setiawan cerita begini. Soal kasus hukum yang ditangani Dewan Pers. Ada seorang wartawan yang membeli rumah. Kemudian bermasalah. Si developer rumah marah. Membawa preman. Kemudian teman-teman jurnalis lainnya memberitakan.

Si pemilik rumah akhirnya disidang. Anaknya tidak terima. Dia melaporkan ke dewan pers. Setelah ditelusuri, berita tersebut tanpa wawancara.

"Akhirnya kena semua. Media yang memberitakan itu. Makanya jangan pernah copy paste berita orang lain," imbuhnya. (dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: