Rp 150 Juta Dulu…

Rp 150 Juta Dulu…

TANJUNG REDEB, DISWAY – Aktivitas penambang pasir sempat normal, namun sudah sepekan kembali tersendat. Meski dapat rekomendasi, ternyata ada oknum petugas penegak hukum diduga meminta uang Rp 150 juta, agar para penambang bisa beroperasi.

Pedagang pasir yang namanya enggan dikorankan mengaku, sejumlah penumpukan pasir sempat didatangi oleh oknum petugas penegak hukum sekira dua pekan lalu, sejak saat itu pula, aktivitas penambangan terhenti. Rekan-rekannya tidak berani menambang pasir. “Mereka (oknum petugas) meminta uang, informasinya senilai Rp 150 juta, jika ingin tetap beroperasi,” jelasnya. Ditegaskannya, oknum petugas itu tidak datang ketika aktivitas penambangan pasir berlangsung, melainkan datang di penumpukan pasir masing-masing penambang di wilayah Tanjung Redeb, dan sekitarnya. Sadar akan ancaman itu, pihaknya kemudian mencoba menyediakan uang yang diminta, dengan cara patungan Rp 2 juta per orang, bahkan ada yang lebih. Sayangnya, saat dikumpulkan, uang yang didapatkan hanya berkisar Rp 50 juta saja. Sementara sisanya belum mampu dikumpulkan. “Tiga hari lalu itu sudah mau diberikan, tapi ditolak (oknum petugas) karena kurang. Mereka mau menerima kalau Rp 150 juta. Sebelum minta uang, oknum itu pernah minta material juga,” terangnya. Padahal kata Dia, mereka bekerja atas sepengetahuan daerah atau mendapatkan dispensasi yang diberitkan. Di mana, keluar surat edaran bisa melakukan penambangan pasir, dengan catatan penambang sembari mengurus proses izinnya. Selain itu, pasir yang ditambang juga untuk kebutuhan material bangunan rumah, kepentingan pembangunan daerah. “Ternyata masih dipersulit juga. Mau tidak mau disetop dulu, sambil berusaha mengurus izinnya. Padahal pasirnya juga tidak dijual ke luar daerah, untuk kepentingan lokal saja,” jelasnya. Selain kembali sulitnya pasir, salah satu persoalan lainnya, yakni pekerjanya tidak bisa lagi bekerja. Padahal, upaya pengumpulan uang Rp 50 juta itu, untuk membantu pekerjanya agar tetap bisa beraktivitas. “Terpaksa mereka tidak bisa bekerja. Dari pada berurusan dengan oknum itu, dan dipenjara,” jelasnya. Diakuinya, persoalan ini sudah disampaikan ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau. Dengan harapan, persoalan yang dihadapi penambang pasir dapat segera diselesaikan. “Sudah kami adukan ke pemkab juga. Semoga saja ada solusi, agar kejadian ini tidak terulang lagi. Kegiatan tambang pasir dapat kembali normal,” terangnya. Sementara itu, pengusaha pasir lainnya, Mulyadi menyampaikan, untuk sementara konsentrasi komunitas penambang pasir di Berau yakni mengurus perizinan. Awal Maret lalu, surat dari asosiasi penambang pasir, sudah masuk ke Pemkab Berau serta ke DPRD Berau. “Diharapkan ada lampu hijau nanti. Yang jelas kami sangat berharap persoalan izin pasir, dan lainnya dapat selesai,” katanya. Terkait dampak dihentikannya kegiatan itu, membuat material pasir di Kabupaten Berau menjadi sulit. Bahkan, tidak sedikit pekerja bangunan mengeluh karena tidak lagi yang menjual pasir. Kepala Pekerja bangunan di Jalan Panjang, Tanjung Redeb, Herman membenarkan, sekarang pasir sangat sulit didapatkan. Tidak hanya mencari di penumpukan pasir yang ada di Tanjung Redeb, namun juga mencari sampai ke Kelurahan Rinding, Kecamatan Teluk Bayur. “Tidak ada juga. Makanya banyak pekerja yang libur, karena tidak ada materialnya,” terangnya. Sementara untuk membeli pasir dari wilayah Bulungan, Kaltara harganya cukup mahal. Bahkan mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. “Sangat mahal kalau harga segitu. Kalau pun ada tumpukan pasir di sekitar tanjung, itu adalah stok lama. Kalau sekarang tidak ada lagi yang jual. Semoga saja segera normal, kalau begini, pekerja bangunan akan terkendala,” pungkasnya. */ZZA/APP

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: