Limbah Medis Perparah Kondisi Pandemi

Limbah Medis Perparah Kondisi Pandemi

PANDEMI belum usai, limbah medis jangan sampai ikut terbengkalai. Ya, penggunaan alat medis untuk penanganan COVID-19 juga naik. Lantas, berbahayakah? Bekas suntikan berbahan dasar plastik terserak di tempat pembuangan. Isinya sampel darah hasil tes cepat. Ada juga masker. Sarung tangan. Dan peralatan perang tenaga medis lainnya. Semua terbungkus plastik. Rapat. Erat. Siap dimusnahkan. Di RSUD Ratu Aji Putri Botung (RAPB) Penajam Paser Utara (PPU), tak ada ruang untuk menampung sampah medis itu. Volumenya terus meningkat. Terutama Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Sebelum pandemi, sebulan bisa hasilkan sampah medis 1,5 ton hingga 2 ton. Saat pandemi naik. Sampai 3 ton. Bahkan lebih. Dirut RSUD Ratu Aji Putri Botung (RAPB) dr Lukasiwan menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan penambahan. "Nah, saat ini harus pakai masker. Maksimal penggunaan hanya 4 jam. Lalu baju hazmat. Digunakan sekali masuk ruangan, keluar langsung dibuang. Kalau masuk lagi, pakai yang baru lagi," katanya. Belum lagi peralatan makan pasien. Dulunya bisa digunakan berkali-kali. Dan berbahan dasar seng. Sekarang diganti disposable. Sekali pakai langsung buang. Namun perbedaan yang paling mendasar ialah ditiadakannya sampah domestik. Kemudian selama pandemi sampah yang keluar tidak lagi ada pemilahan. kering ,basah, organik dan anorganik. Semua jadi satu. Statusnya menjadi infeksius. Karena berisiku menular kepada petugas. Akhirnya beban mesin incinerator bertambah. Karena sisa makanan pasien juga dianggap B3. Untung, RSUD RAPB punya incenerator atau mesin pembakar sampah sendiri. Jadwal pembakarannya berlangsung setiap hari. Bentuknya seperti lemari berongga dengan tabung besar di atasnya. Rongga di alat ini dipasangi pipa-pipa yang bisa keluar api.  Panas dari alat ini bisa mencapai 1.200 derajat celcius. Rata-rata per hari sampah medis yang dibakar 50 kilogram. Tapi kapasitas sebenarnya ialah 3 ton. Petugas yang membakar harus menggunakan APD lengkap. Rumah sakit bekerjasama dengan pihak ketiga. "Baru abunya disimpan dulu di tempat penyimpanan. Kemudian itu diambil oleh pihak ketiga secara periodik," jelasnya. RSUD AM Parikesit Kukar jua punya sampah medis yang harus dimusnahkan. Volumenya sama-sama meningkat. Yang mengerikan, volume yang harus dimusnahkan mencapai 400-500 kilogram. Per hari. 100 kali lipat dari sampah medis di RSUD RAPB PPU. Biasanya sebelum pandemi, yang dimusnahkan sekitar 150-200 kilogram per hari. Kini, setahun belakangan meningkat hingga 400-500 kilogram/hari yang harus dimusnahkan. Begitu paparan Wakil Direktur Pelayanan RSUD AM Parikesit Kukar dr Mauritz Silalahi. Banyak faktor. Terutama jumlah pasien COVID-19 yang juga meningkat. Makin naik, sampah pasti mengekor. Ikut menggunung. Sampah yang paling banyak dihasilkan misalnya Alat Pelindung Diri (APD) level tiga. Seperti masker, google atau kacamata medis, hazmat khusus, sepatu bot, pelindung mata atau face shield, sarung tangan bedah karet steril sekali pakai, penutup kepala dan apron. Untungnya RSUD sudah punya incinerator.  Tentunya proses pembakaran ini harus mengantongi izin langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun pengelolaannya hanya sebatas pembakaran sampah medis. Selebihnya, sisa pembakaran berupa abu, dikirim ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) khusus. Biasanya bekerja sama dengan pihak ketiga. Dan lagi-lagi harus berizin. “Karena belum ada tempat pembuangan akhirnya (di Kukar)," tutup Mauritz. Selama pandemi COVID-19, tak banyak yang tahu bagaimana pengelolaan limbah medisnya. Khusus di Kutim, RSUD Kudungga memastikan semuanya dibakar di Incenerator mandiri. Direktur RSUD Kudungga, dr Anik Istiyandari mengatakan itu. Apalagi limbah medis COVID-19 termasuk limbah infeksius. “Tergolong pula kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Makanya kami pastikan penanganan berjalan serius,” ucap Anik. Ia menjelaskan, jenis limbah B3 dari penanganan COVID-19 berupa masker, sarung tangan dan baju pelindung diri. Ada juga kain kasa, tisu bekas hingga wadah bekas makan dan minum pasien. Kemudian alat dan jarum suntik, set infus, sarung tangan, baju pelindung diri dan laboratorium juga termasuk. “Karena kami memiliki incenerator sendiri, jadi langsung dimusnahkan limbahnya,” paparnya. Pembakarannya harus di atas suhu 600 derajat celsius. Untuk memastikan limbah terbakar sempurna. Limbah alat makan dan minum yang dipakai pasien COVID-19 juga ditangani khusus. Harus dikemas dalam kotak kedap udara. Sehingga tidak menularkan kepada petugas yang membersihkan saat dibuang. Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kutim, Sugiyo juga angkat bicara. Terkait dengan pengelolaan limbah medis COVID-19 dirinya sudah berkoordinasi dengan pihak RSUD Kudungga. Tetapi ia memastikan penanganan limbah medis di RSUD Kudungga sudah masuk kategori aman. Alasannya, karena sudah memiliki incenerator sendiri. Sehingga proses penanganan sudah bisa dilakukan khusus dan mandiri. Di Kubar, limbah medis COVID-19 dikumpulkan dulu. Di Rumah Sakit Umum Daerah Harapan Insan Sendawar (RSUD-HIS). Dari 18 puskemas. Setelah itu baru dimusnahkan. Demikian kata Direktur RSUD HIS, dr Akbar. Hampir semua rmah sakit punya alat incinerator sendiri. Sehingga memudahkan lakukan pemusnahan. “Limbah cair melalui IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Itu rutin dilakukan jika sampah dan limbah sudah menumpuk,” tegasnya. Semuanya harus segera dimusnahkan. Lambat sedikit, bahayanya lebih laten dari pandemi. Disinggung sejauh mana efek sampah dan limbah APD dan Alkes COVID-19, dr Akbar mengatakan sangat berpengaruh. Jika tidak dimusnahkan dengan tepat. “Kalau untuk Kubar, APD dan alkes bekas tersebut aman. Karena memang dimusnahkan dengan tepat melalui teknologi khusus,” tandas dr Akbar. Sementara itu, tetangga dekat Kubar, Mahulu, prosedurnya juga mirip. Limbah-limbah medis COVID-19 dibakar di dua rumah sakit. Yakni Rumah Sakit Pratama Gerbang Sehat Mahulu (RSP-GSM) di Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun. Serta RSP Nawacita Datah Dawai (RSP-NDD), Kecamatan Long Pahangai. “Kedua RSP itu telah memiliki mesin incinerator untuk pembakaran limbah kering,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Diskes P2KB) Mahulu,  dr Agustinus Teguh Santoso. Mungkin Kota Taman, Bontang cenderung sedikit limbah medisnya.  Cuma 10 kilogram rata-rata per hari. Sebelum pandemi. Saat pandemi naik. Jadi 88 kilogram per hari. Petugas yang memusnahkan wajib mengenakan pakaian hazmat lengkap. Setelah dikumpul lalu dimusnahkan dengan alat incinerator. Kepala Instalasi RSUD Taman Husada Bontang Sri Erna Nilawati mengungkapkan saat ini alat rumah sakit daerah baru memiliki satu unit. Tapi pengoperasiannya ribet. Sebab, izin operasional belum dikantongi. Masih ada syarat yang tak lengkap. "Untuk pengoperasian butuh Nomor Izin Berusaha (NIB) dari KLHK. Sebenarnya sudah lengkap, sisa verifikasi faktual saja karena pandemi petugas belum sempat ke sini," ujar Erna. Tak seluruh limbah medis dimusnahkan dengan alat insinerator. Hanya untuk kelompok sampah bersifat infeksius saja.  Sisa pembakaran akan jadi abu. Abu itu disimpan dalam wadah. Nantinya dikirim ke Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) di Cileugsi, Jawa Barat. Pengoperasian Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) dan alat incinerator diperiksa rutin. Per 3 bulan.  Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bontang secara berkala memeriksa paramater pencemaran udara dari alat bakar itu.  Ada 14 standar yang harus terpenuhi. Masing-masing harus lulus uji. Gagal satu tak ada toleransi. Limbah dari masyarakat memang berkurang. Tapi komposisinya berbeda. Sekarang banyak masker bekas dibuang bebas. Tanpa ada rasa penyesalan yang membekas. (rsy/bct/wal/imy/mrf/boy)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: