Krisis Demokrasi Indonesia

Krisis Demokrasi Indonesia

Krisis Demokrasi Indonesia

OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*

Samarinda, Nomorsatukaltim.com - The Economist Intelligence Unit baru saja merilis laporan indeks demokrasi pada tahun 2020. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 167 negara di dunia. Dengan skor indeks demokrasi sebesar 6,30. Indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 ini, adalah yang terendah dalam 14 tahun terakhir. Bahkan indeks demokrasi Indonesia tersebut masih jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya: Malaysia (39), Timor Lester (44), dan Filipina (55).

Berdasarkan skor yang diraih, The Economist Intelligence Unit mengklasifikasikan peringkat negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh (full democracies), demokrasi cacat (flawed democracies), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoriter (authoritarian regimes). Indonesia yang berada di peringkat ke-64 dengan skor 6,30, dikualifikasikan sebagai rezim demokrasi cacat. Banyak kalangan yang beranggapan jika pandemi COVID-19 memberikan tekanan besar terhadap indeks demokrasi Indonesia di tahun 2020. Tapi asumsi ini terbantahkan. Sebab sejumlah negara di Asia justru mengalami peningkatan indeks demokrasi. Kendatipun di tengah pandemi. Salah satunya adalah Taiwan, yang mengalami peningkatan signifikan dari “demokrasi cacat” menjadi “demokrasi penuh”. Setelah naik 20 peringkat global dari peringkat 31 naik menjadi peringkat 11. * INDEKS DEMOKRASI Prinsipnya, indeks demokrasi sangat dipengaruhi oleh kebebasan sipil dan budaya politik yang rendah. The Economist Intelligence Unit menyebut, ukuran indeks demokrasi didasarkan pada lima kategori: proses pemilu dan pluralisme (electoral process and pluralism), fungsi pemerintahan (the functioning of government), politik partisipasi (political participation), budaya politik (political culture), dan kebebasan sipil (civil liberties). Salah satu unsur yang kerap kali dijadikan ukuran demokrasi adalah proses pemilu atau apa yang lazim disebut sebagai “demokrasi elektoral”. Freedom House, sebuah lembaga yang berbasis di Amerika Serikat (AS), memberikan penilaian bahwa demokrasi elektoral sebuah negara berjalan ke arah yang benar jika posisi kekuasaan politik diisi melalui pemilihan umum yang teratur, bebas dan adil di antara partai-partai yang bersaing, dan memungkinkan peralihan kekuasaan secara sah melalui proses pemilihan. Kriteria “demokrasi elektoral” menurut Freedom House juga termasuk penilaian terhadap: pertama, sistem politik multi partai yang kompetitif. Kedua, hak pilih dewasa universal. Ketiga, pemilhan umum yang dijalankan secara teratur adan dilakukan atas dasar surat suara rahasia, keamanan surat suara yang wajar, dan tidak adanya penipuan pemilih besar-besaran. Keempat, akses publik yang signifikan dari partai politik besar ke para pemilih melalui media dan kampanye politik umumnya terbuka. Namun demikian, “demokrasi elektoral” hanyalah salah satu basis penilaian dalam mengukur indeks demokrasi suatu negara. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana negara memberikan jaminan terhadap hak politik (political rights) serta kebebasan sipil (civil liberties). Sebab ukuran demokrasi berdasarkan hak politik dan kebebasan sipil tersebut jauh lebih tebal dibandingkan dengan ukuran berdasarkan demokrasi elektoral. Jika momentum demokrasi elektoral berjalan secara periodik dan cenderung mekanik, maka momentum kebebasan sipil terjadi setiap hari dan sangat dinamis. * KRISIS DEMOKRASI Benarkah Indonesia sedang mengalami krisis demokrasi? Apakah indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2020, yang merupakan indeks terendah dalam 14 tahun terakhir, dapat dijadikan sebagai dasar atas klaim krisis demokrasi tersebut? Lantas jika benar Indonesia sedang mengalami krisis demokrasi, apa ukurannya secara empirik? Dengan berada di peringkat 64 dan skor 6,30, The Economist Intelligence Unit mengkualifikasikan Indonesia sebagai rezim demokrasi cacat (flawed democracies). Negara-negara yang masuk dalam kategori demokrasi cacat ini pada prinsipnya memiliki sistem pemilihan atau demokrasi elektoral yang bebas dan adil, bahkan memilki mekanisme hukum (legal instrument) untuk menyelesaikan dugaan atas pelanggaran atau kecurangan dalam pemilihan. Namun, terdapat kelemahan yang signifikan dalam aspek demokrasi lainnya, termasuk masalah dalam pemerintahan, dan budaya politik yang cenderung terbelakang, serta tingkat partisipasi politik yang masih sangat rendah. Artinya, orang boleh saja membanggakan sistem dan regulasi yang menopang demokrasi elektoral Indonesia saat ini. Tetapi perilaku para aktor politik benar-benar buruk. Mulai dari praktek jual beli perahu pencalonan yang cenderung melegalkan politik uang, partai politik yang dibajak para oligarki dan berdampak pada kompetisi internal yang tidak sehat, pendekatan politik dinasti sebagai upaya melanggengkan kekuasaan, hingga politik berbiaya tinggi (high cost politic) yang memaksa para calon berselingkuh dengan pemodal. Krisis demokrasi Indonesia juga terkonfirmasi dengan pembatasan kebebasan sipil dalam menyampaikan pendapat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat telah menerima 1.900 dokumentasi dalam bentuk foto dan video terkait tindak kekerasan aparat kepolisian selama menangani aksi massa yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam kurun waktu 6-8 Oktober 2020. KontraS menyebut, ada tiga bentuk pembungkaman yang dilakukan terhadap demonstran anti omnibus law: ancaman melalui pendidikan, penghalangan aksi massa, dan serangan digital. Ini belum termasuk tindakan kriminalisasi yang dialami oleh petani, buruh, nelayan, masyarakat adat dan aktivis lingkungan lainnya. Bahkan mayoritas di antaranya dihadapkan dengan pasal-pasal karet dalam UU ITE. Situasi ini tentu sangat kontras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Bagaimana mungkin Presiden berharap masyarakat aktif menyampaikan kritik jika dibayangi dengan pasal-pasal karet UU ITE? Ibarat tikus yang hendak menampar kepala harimau, mustahil. Sebab tiada mungkin membuka ruang kritik di bawah ancaman kriminalisasi. (*Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: